Hukum Dipaksa Murtad dalam Kajian Islam

Dalam beberapa kasus ada saja orang yang dipaksa murtad. Lantas bagaimana hukum dipaksa murtad dalam kajian Islam? Simak penjelasan berikut ini.

Di antara perbuatan, tindakan, dan keyakinan yang harus benar-benar dijaga oleh umat Islam adalah setiap hal-hal yang bisa berakibat pada murtad, atau suatu perbuatan yang bisa menjadi penyebab keluar dari ajaran Islam.

Murtad sendiri terbagi menjadi tiga bagian, pertama, murtad fi’liyah (pekerjaan), seperti menyembah pada patung, barhala, matahari, dan makhluk yang lainnya selain Allah.

Kedua, murtad qauliyah (ucapan), seperti mengatakan pada umat Islam dengan sebutan “Kamu Kafir”, atau mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak memiliki kandungan apa-apa, dan setiap ucapan yang meremehkan pada ajaran Islam;

Ketiga, murtad I’tiqadiyah (keyakinan), seperti meragukan keberadaan Allah dan meragukan adanya hari kiamat, surga, neraka, siksa kubur dan lainnya, menghalalkan zina, minum khamr membolehkan tidak mengerjakan zakat dan yang lainnya.

Orang-orang yang melakukan salah satu dari tiga bagian di atas, ia dikategorikan sebagai orang yang murtad. Oleh karenanya, ia harus segera bertaubat dan kembali pada ajaran Islam dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika tidak, maka semua amal baik yang ia lakukan akan hilang pahalanya secara perlahan.

Namun demikian, fenomena yang sering terjadi seperti saat ini adalah banyak umat Islam yang dipaksa untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan atau dipaksa mengucapkan ucapan yang bisa menjadi penyebab murtad. Nah, apakah orang yang dipaksa seperti dalam contoh ini bisa dikategorikan sebagai orang yang keluar dari ajaran Islam? Mari kita bahas

Hukum Murtad Karena Dipaksa

Murtad karena dipaksa tidak bisa menjadi penyebab orang tersebut keluar dari ajaran Islam. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Quran, Allah swt berfirman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106).

Berdasarkan ayat ini, para ulama ahli tafsir kemudian menyimpulkan bahwa orang yang dipaksa mengerjakan perbuatan-perbuatan kafir agar menjadi murtad, baik dengan cara ucapan atau perbuatan, maka orang tersebut tidak-lah murtad. Ia tetap ada dalam ajaran Islam, karena keimanan adalah dalam hati, bukan sebatas anggota badan saja,

فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الْإِيْمَانَ هُوَ التَّصْدِيْقُ بِالْقَلْبِ

“Ini menjadi sebuah dalil, bahwa keimanan itu adalah percaya (membenarkan) dengan hati (bukan sebatas ucapan saja).” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Qidati wa asy-Syari’ati wa al-Manhaji, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XIV, halaman 239).

Dengan demikian, orang-orang Islam yang yang mengerjakan perbuatan murtad karena dipaksa hukumnya boleh-boleh saja, dan statusnya tetap sebagai orang Islam, sebagaimana penjelasan Imam al-Mawardi dalam kitabnya, ia mengatakan,

وَإِذَا أُكْرِهَ الْمُسْلِمُ عَلَى كَلِمَةِ الْكُفْرِ حُكْمُهُ لَمْ يَصِرْ بِهَا كَافِرًا، وَكَانَ عَلَى إِسْلَامِهِ بَاقِيًا

“Jika seorang muslim dipaksa untuk mengucapkan ucapan kafir, maka ia tidak lantas menjadi kafir (murtad), dan ia tetap-lah sebagai umat Islam.” (Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz XIII, halaman 950).
Demikian penjelasan seputar hukum orang-orang yang dipaksa murtad perspektif ajaran Islam. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

3 Adab Melihat Sesuatu yang Mengagumkan

DALAM Islam, bahkan ada beberapa adab melihat sesuatu yang mengagumkan.

Ya, melihat sesuatu yang mengagumkan pasti pernah dirasakan oleh setiap orang. Entah itu berupa barang maupun seseorang yang mengagumkan. Jikalau perasaan itu muncul, tentulah wajar-wajar saja. Namun, hati-hati bisa jadi dari rasa kagum itu berubah menjadi suatu hal yang negatif.

Untuk itu, dalam Islam telah diberi pengetahuan bagaimana cara kita menyikapi rasa kagum. Jika rasa kagum itu ada, maka ada adab yang harus dilakukan. Di antaranya:

1. Adab Melihat Sesuatu yang Mengagumkan: Mengucapkan, “Masya Allah Laaquwwata illaa billaah,” (Apa yang dikehendaki oleh Allah tidak ada kekuatan, kecuali kekuatan-Nya).

2. Adab Melihat Sesuatu yang Mengagumkan: Mengucapkan, “Tabaara kallaah” atau “Allahu yu baari ku ka” (Semoga Allah memberkati. Yakni Allah memberkati sekalian dan apa yang telah dianugerahkan).

3. Adab Melihat Sesuatu yang Mengagumkan: Do’a itu diucapkan ketika seseorang merasa kagum atas sesuatu karena takut kalau-kalau hal ini akan menjadikannya iri.

Itulah tiga adab yang harus dilakukan ketika mengagumi sesuatu. Jangan sampai rasa kagum itu ternodai karena ada rasa iri hati. Ikut berbahagialah dengan kebahagiaan orang lain. Jangan kita merasa sedih karena orang lain bahagia. []

Sumber: Adab Islam dalam Kehidupan Sehari-hari/Karya: Mahdy Saeed Reziq Krezem/Penerbit: Media Da’wah

ISLAMPOS

100 Ribu Lebih Jamaah Datang ke Madinah Sejak Musim Umroh Dimulai

Sejak awal musim umroh, Bandara Internasional Prince Mohammad Bin Abdulaziz di MMadinah mencatat telah menerima lebih dari 100 ribu jamaah umroh. Ratusan ribu jamaah itu datang dari berbagai negara hingga kemarin.

Menurut statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umroh, 268.529 jamaah umroh telah tiba melalui penyeberangan udara sejak awal musim umroh. Adapun jamaah yang datang dari sembilan penyeberangan darat tercatat sebanyak 29.689 jamaah. Sebanyak 5.452 jamaah umroh telah tiba di Madinah, sehingga jumlah total menjadi 101.109.

Sebanyak 22.509 orang meninggalkan Al-Madinah ke negara mereka. Dilansir dari Riyadh Daily, Senin (29/8/2022), adapun data jamaah menurut golongan kebangsaan jamaah yang tiba di Madinah, menunjukkan orang Indonesia berada di urutan teratas dengan 127.789, diikuti oleh 90.253 jamaah umroh dari Republik Pakistan, 54.287 dari India, 36.457 dari Irak, 22.224 dari Yaman, dan 12.959 dari Yordania. Beberapa jamaah umroh lainnya juga datang dari berbagai negara.

Pemangku kepentingan di Madinah mengklaim telah menyediakan semua fasilitas dan personel lapangan mereka sepanjang waktu untuk mengimbangi jamaah umroh yang menyambut. Kepresidenan Umum Urusan Masjid Nabawi juga berupaya keras dalam mengembangkan layanan yang diberikan kepada jamaah umroh dan pengunjung Masjid Nabawi.

Kerajaan Arab Saudi mengatakan tidak ada batasan jumlah maksimum Muslim di luar negeri yang ingin melakukan umroh sepanjang tahun. Kementerian Haji dan Umroh juga mengatakan Muslim di luar negeri dapat memasuki Arab Saudi dan pergi melalui bandara mana pun di Kerajaan itu, tanpa terbatas pada bandara Jeddah saja. 

IHRAM

Ahli Tauhid: Takut Syirik dan Mendakwahkan Tauhid (Bag. 2)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ahli tauhid itu takut syirik

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Imam ahli tauhid yang paling sempurna, tetapi beliau khawatir terjatuh ke dalam syirik besar

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak berdoa,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِك

Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.’”

Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan beriman kepada risalah yang engkau bawa. Apakah engkau masih mengkhawatirkan kami?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ، يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ

‘Ya, sesungguhnya hati itu di antara dua jari dari jemari Allah. Allah membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya.’” (Sahih, HR. At-Tirmidzi)

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan segala perkara yang mengeluarkan pelakunya dari agama Allah, termasuk syirik besar. Dan beliau pun mengkhawatirkan segala perkara yang mengeluarkan pelakunya dari jalan ketaatan kepada Allah.

Imam hunafa’ (tauhid), utusan Allah, Ibrahim ‘alaihis salam adalah sosok yang takut terjatuh ke dalam syirik

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ اٰمِنًا وَّاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّعْبُدَ الْاَصْنَامَ ۗ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhan-ku, jadikanlah negeri ini (Makkah) sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah patung.’” (QS. Ibrahim: 35)

Kemuliaan utusan Allah Ibrahim ‘alaihis salam

Pertama: Beliau termasuk ulul ‘azmi minar rusul (para rasul pemilik kekuatan dan ketegaran yang sangat kokoh ‘alaihimush shalatu wassalam). Jumlahnya ada 5 rasul ‘alaihimush shalatu was salam berdasarkan surah Al-Ahzaab ayat 7.

Kedua: Beliau adalah Imam hunafa` (tauhid) setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Qanith, haniif, dan jauh dari kesyirikan berdasarkan surah An-Nahl ayat 120.

Ketiga: Beliau pernah memecahkan patung langsung dengan tangannya sebagaimana dalam surah Al-Anbiyaa`ayat 58.

Keempat: Beliau adalah khaliilullah (rasul yang sangat dicintai Allah). Khalilullah itu hanya ada 2 rasul.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله اتخذني خليلاً كما اتخذ إبراهيم خليلاً

“Sesungguhnya Allah mengambilku menjadi khalil sebagaimana Dia mengambil Ibrahim sebagai khalil juga.” (HR. Muslim)

Demikian mulianya kedudukan utusan Allah Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau sosok yang sempurna tauhidnya, namun dalam surah Ibrahim ayat 35 di atas, beliau masih berdoa, “Jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah patung”. Ini menunjukkan rasa takut beliau yang sangat besar terhadap syirik. Hal ini karena:

Pertama: Berdoa bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk anak keturunannya.

Kedua: Isi doanya mohon dijauhkan dan bukan sekedar agar tidak terjatuh ke dalamnya. Ini menunjukkan takut yang amat sangat.

Ketiga: Jenis kesyirikan yang beliau mohon agar dijauhkan darinya adalah syirik besar/ syirik jali (syirik yang tampak jelas), yang barangkali banyak dari kaum muslimin sekarang tidak pernah satu kali pun terbayang berdoa dengan doa beliau ini. Syirik yang nampak saja beliau demikian takutnya, apalagi syirik yang samar!

Oleh karena itu sebagai renungan kita bersama, apabila Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja takut terjatuh ke dalam syirik, apalagi kita? Siapakah yang tingkat keimanan dan tauhidnya di bawah beliau yang layak merasa aman terhadap kesyirikan, kalau beliau saja tidak merasa aman?

Sesuatu yang paling ditakutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas diri para ahli tauhid di kalangan umat beliau (para sahabat) adalah riya’ (syirik kecil)

Dalam hadis Mahmuud ibnu Lubaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر

“Sesuatu yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah syirik kecil.”

Lalu beliau ditanya tentangnya dan menjawab,

الرياء

“Riya’ (pamer ibadah).” (HR. Ahmad dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani)

Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan para sahabatnya terjerumus ke dalam syirik kecil, padahal para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah umat yang terbaik ilmu syar’i dan amal salehnya dibandingkan dengan seluruh umat para nabi dan rasul ‘alaihimush shalatu wassalam. Hal ini berdasarkan ayat ke-110 surah Ali Imran.

Allah Ta’ala  berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ

“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

Dan berdasarkan hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-sebaik umat manusia adalah umatku (sahabat), lalu setelahnya (tabi’in), lalu setelahnya (tabi’ut tabi’in).”

Dalam hadis di atas, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mengkhawatirkan para sahabatnya terjerumus ke dalam syirik kecil, padahal demikian kuat iman dan tauhid mereka, karena mereka langsung dididik oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jika Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja sangat mengkhawatirkan syirik kecil menimpa mereka, padahal mereka kuat imannya, lebih-lebih lagi orang yang lemah imannya. Dengan demikian, wajib takut terhadap syirik kecil apalagi syirik besar.

Kesimpulan

Tidak ada satu pun ahli tauhid yang benar tauhidnya, kecuali memiliki ciri khas takut terjatuh ke dalam kesyirikan. Hal ini karena syirik adalah dosa terbesar dan sangat membahayakan keimanan serta sangat buruk akibatnya di dunia maupun di akhirat.

Tanda-tanda takut syirik

Takut terhadap kesyirikan memiliki tanda-tanda, di antaranya:

Pertama: Mempelajari syirik dan macam-macamnya secara detail, agar tahu apa itu syirik, dan kuatlah rasa takut serta benci terhadap syirik sehingga benar-benar semangat menjauhinya.

Kedua: Mempelajari tauhid dan macam-macamnya secara detail, agar tahu bagaimana men-tauhid-kan Allah Ta’ala, dan kuatlah rasa cinta serta harap kepada Allah Ta’ala, sehingga benar-benar semangat men-tauhid-kan-Nya.

Ketiga: Ahli tauhid yang benar-benar takut terhadap syirik, hatinya benar-benar berusaha terus-menerus mencari keridaan Allah dalam rangka mewujudkan ubudiyyah kepada-Nya semata, yang ibadah tersebut merupakan tujuan diciptakan dirinya.

[Bersambung]

*****

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78072-takut-syirik-dan-mendakwahkan-tauhid-bag-2.html

Keutamaan Belajar Ilmu Hadis Bagi Seorang Muslim

Ahli hadis adalah orang yang mulia. Rasulullah mengatakan bahwa seorang ahli hadis adalah penjaga agama. Maka untuk menjadi ahli hadis, penting bagi seseorang mempelajari terkait hadis. Pada tulisan kali ini mengangkat tema terkait  keutamaan belajar ilmu hadis bagi seorang Muslim.

Syahdan, Mei 2019 silam. Indonesia gempar. Pasalnya, sejak masuk awal Ramadhan dua tahun lalu, muncul pesan berantai di media sosial. Pesannya membuat bulu kuduk merinding. “Kiamat akan terjadi pada malam Jumat atau hari Jumat pertengahan bulan Ramadan 2019,” begitu isinya.

Isu ini berhembus kencang. Tak terbendung. Bagaimana tidak? Para dai dan penceramah agama, ikut pula meniupkan isu ini. Jadilah laman media sosial menjadi lapak tsunami informasi “Kiamat” di pertengahan bulan Ramadhan.

Tak sedikit masyarakat awam yang mempercayai isu ini. Tak terhitung orang yang resah akibat isu ini. Orang tua khawatir akan kematiannya. Anak muda, cemas akan masa depannya. Remaja kalang kabut. Dan perempuan, takut akan huru-hara yang akan menimpa.

Lantas apa yang menyebabkan masyarakat percaya akan isu kiamat di pertengahan bulan Ramadhan 2019 lalu? Jawabannya singkat  dan jelas; “dalam broadcast di media sosial mencantumakan sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Nabi Abdullah bin Mas‘ud tentang hari kiamat”.

Hadis inilah yang membuat masyarakat Indonesia percaya isu ini. Di tambah lagi dengan penjelasan yang didengungkan oleh para dai dan penceramah agama. Jadilah isu ini kian tak terbendung. Dan ujung-ujungnya membuat ketegangan di tengah masyarakat.

Adapun bunyi hadis tersebut sebagai berikut;

«إِذَا كَانَتْ صَيْحَةٌ فِي رَمَضَانَ فَإِنَّهُ يَكُونُ مَعْمَعَةٌ فِي شَوَّالٍ، وَتَمْيِيزُ الْقَبَائِلِ فِي ذِيِ الْقَعْدَةِ، وَتُسْفَكُ الدِّمَاءُ فِي ذِيِ الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمِ، وَمَا الْمُحَرَّمُ» ، يَقُولُهَا ثَلَاثًا، «هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ، يُقْتَلُ النَّاسُ فِيهَا هَرْجًا هَرْجًا» قَالَ: قُلْنَا: وَمَا الصَّيْحَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: ” هَدَّةٌ فِي النِّصْفِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ جُمُعَةٍ

Artinya: Bila terdengar suara dahsyat terjadi pada bulan Ramadan, maka akan terjadi suatu huru-hara pada bulan Syawal, semua suku akan saling berselisih pada bulan Zulqa’dah, pertumpahan darah terjadi pada bulan Zulhijah dan Muharam, dan apa itu Muharam? “Pada bulan itu banyak manusia yang terbunuh.” Rasulullah sampai mengulangnya tiga kali. Para sahabat pun bertanya, “Suara dahsyat apa itu, Rasul?” Rasulullah menjawab, “Suara keras yang terjadi pada pertengahan bulan Ramadan, yaitu tepatnya malam Jumat.

Padahal bila orang yang mengerti akan ilmu hadis ia akan segera paham dan menganalisa hadis tersebut. Ustadz Ibn Haris dalam Telaah Hadis Kiamat Terjadi pada Malam Jumat Pertengahan Ramadan, menyebutkan  dalam hadis ini terdapat perawi yang bermasalah. Perawi itu bernama Ibnu Lahi’ah. Pelbagai dokumentasi kitab-kitabnya habis terbakar, dan membuatnya banyak kehilangan dokumentasi riwayat-riwayat hadis.

Lebih dari itu, dalam ilmu hadis, Ibnu Lahia’ah dikategorikan sebagai orang yang tidak dhabit (kuat ingatan). Itu menjadi masalah dalam ilmu hadis. Selain itu, terdapat tiga nama rawi yang bermasalah dalam sanad hadis ini. Ini menjadikan hadis ini tak dapat menjadi pegangan yang kuat.

Ahli hadis penjaga agama yang adil

Seyogianya, ilmu hadis adalah ilmu yang penting. Pun belajar hadis suatu keniscayaan bagi seorang muslim. Pasalnya, Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang belajar Ilmu hadis. Kemuliaan akan senantiasa terpancar dari manusia yang mendalami dan belajar ilmu hadis.

Itulah sekilas faedah belajar ilmu hadis. Dalam buku Keutamaan Belajar Ilmu Hadis, karya Al Khatib al Baqdadi—yang diterjemahkan oleh M. Khoirul Huda dan Rudi Fachruddin—, kemudian diterbitkan oleh eBi Publishing memuat sebuah pesan dari baginda Nabi yang memuat keistimewaan belajar hadis.

Nabi bersabda;

نضر الله عبدا سمع مقالتي فوعاها , ثم اداها الى من لم يسمعها فرب حامل فقه لا فقه له , و رب حامل فقه الى من هو افقه منه.

Artinya: Allah akan mengangkat derajat seorang hamba yang telah mendengar sabda ku  lalu dia menjaganya, lalu menyampaikannya pada orang yang belum mendengarnya. Bisa jadi orang membawa hadis ia tidak paham tentangnya, bisa jadi orang yang membawa hadis menyampaikan kepada orang yang lebih paham. (Keutamaan Belajar Ilmu Hadis, hlm, 7).

Di samping itu, buku setebal 108 halaman ini juga memuat keutamaan lain orang yang belajar hadis. Al Khatib Al Bagdadi memberikan julukan bagi orang yang belajar hadis dan paham hadis sebagai “penjaga agama yang adil”.  Begitu tertulis, (lihat hlm, 14).

Julukan dirasa tepat. Tak berlebihan. Pasalnya, para ahli hadis dan orang yang belajar hadis akan paham dan mengerti status dan kategori hadis. Ia akan paham asbabul wurud hadis. Status hadis; hasan, shahih, dhaif, dan maudu’. Ia juga akan paham jenis hadis ini; gharib, mursal, marfu’, atau mutawatir.

Jadi orang yang belajar hadis berfungsi sebagai penjaga agama. Ia menunjuki manusia terkait sebuah hadis. Ia akan paham kontekstualisasi hadis tersebut. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh baginda Nabi;

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين و انتحال المبطلين و تأويل الجاهلين

Artinya: ilmu ini akan selalu diemban oleh orang tertentu pada setiap generasi, mereka yang akan menyingkirkan tahrif (manipulasi) dari para pendusta, penolakan para pembangkan hadis, dan tafsir menyimpang orang-orang yang jahil.

Saking pentingnya belajar ilmu hadis, ada seorang penguasa Islam yang sangat perhatian terhadap studi hadis. Tak main-main, sang penguasa juga memberikan beasiswa untuk para pelajar yang ingin belajar hadis. Dana itu ia ambil dari baitul mal kaum muslimin.

Penguasa itu bernama khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia seorang khalifah Islam yang tertarik pada ilmu hadis. Ia juga pernah menulis sebuah surat kepada penguasa Homs yang isinya memerintahkan alokasi anggaran kepada para ulama— dan pelajar yang berminat— agar mereka fokus belajar ilmu hadis. (hlm, 49)

Pada sisi lain, Gubernur Mesir Amar bin Ash juga memiliki perhatian besar terhadap ilmu hadis. Ia bahkan menyeru pada generasi muda untuk belajar hadis. Pasalnya, orang yang belajar hadis akan menjadi suluh agama dan umat.

Tips agar anak tertarik belajar hadis

Dalam buku Keutamaan Belajar Ilmu Hadis, al Bagdadi juga merilis tips agar seorang anak tertarik untuk belajar ilmu hadis. Ibrahim bin Adham, mengisahkan pengalamannya belajar  ilmu hadis dalam buku ini. Ahli sufi dan hadis ini mengisahkan bahwa pada usia din, sang ayah sudah giat membentuk dirinya untuk jadi ahli hadis.

Pelbagai usaha telah ditempuh sang ayah agar sang anak mau belajar ilmu hadis. Salah satunya adalah memberikan satu dirham pada setiap hadis yang ia peroleh dan hafalkan. Di samping itu, sang ayah juga mengajak bertemu dengan ulama ahli hadis. Langkah ini dimaksudkan agar sang anak tertarik untuk mendalami ilmu hadis.

Demikian sekilas terkait tentang kandungan buku isi Keutamaan Belajar Ilmu Hadis. Buku ini layak ini untuk dibaca oleh orang yang ingin mendalami hadis. Di samping ini, buku ini bukan saja berisi tips belajar hadis, dalam buku ini juga terdapat pelbagai kisah para ulama yang belajar hadis.

Tak cukup sampai di sini, buku ini juga menyuguhkan pelbagai persoalan dalam literatur hadis. Yang cukup menambah ilmu pengetahuan pembaca tentang hadis. Pendek kata, buku ini sangat direkomendasi bagi Anda yang ingin belajar terkait hadis Nabi.

Dan bagi Anda yang berminat untuk memiliki buku ini, dapat dipesan di link berikut Keutamaan Belajar Ilmu Hadis: Terjemah Kitab Syaraf Ashabil Hadits. Selain konten dan isi buku ini yang begitu menarik, terjemahannya pun terbilang cukup bagus. Para penterjemah sukses mengalihbahasakan buku ini dengan bahasa yang Indonesia yang baku dan baik sekali. Selamat membaca. []

Judul : Keutamaan Belajar Ilmu Hadis
Penulis : Al Khatib al Bagdadi
Penerbit : Ebi Publishing
Cetakan II : Juni 2021
Tebal : 108
ISBN : 978-623-6621-04-02

BINCANG SYARIAH

4 Pentingnya Hadis dalam Islam

SAHABAT Muslim, selain mempelajari Alquran, muslim pun harus mengenal hadis. Tahukah mengapa hadis sangat penting dalam Islam? Apa pentingnya hadis dalam Islam?

Syekh Ahmad Kutty mengungkapkan, hadis merupakan bagian integral dari Al- Qur’an, karena mereka saling terkait satu sama lain. Tidak mungkin memahami Al-Qur’an tanpa mengacu pada Hadits. Al-Qur’an adalah pesan, dan Hadis adalah penjelasan dari pesan oleh Rasul sendiri.

Menurut Syekh Ahmad Kutty di laman Islam Online, berikut beberapa hal tentang pentingnya hadis dalam Islam:

1 Pentingnya Hadis dalam Islam: Menjelaskan, dan menghilangkan ambiguitas tentang Al-Qur’an

Al-Qur’an menjelaskan dengan sangat jelas bahwa fungsi Rasul bukan hanya sebagai pengantar yang hanya menyampaikan wahyu dari Allah kepada kita. Sebaliknya, dia telah dipercayakan dengan tugas yang paling penting untuk menjelaskan dan mengilustrasikan hal yang sama. Ini adalah poin yang disebutkan dalam sejumlah ayat dalam Al-Qur’an:

“Dan Kami turunkan kepadamu peringatan agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, dan semoga mereka dapat merenungkan.” (QS An-Nahl: 44)

“Dan Kami telah menurunkan Kitab Suci kepadamu hanya agar kamu menjelaskan kepada mereka bahwa mereka berselisih, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS An-Nahl: 64)

Oleh karena itu, Hadis menjelaskan, memperjelas, dan menghilangkan ambiguitas tentang Al-Qur’an. Maka, jika kita menolak Hadis, kita mungkin tidak akan pernah bisa memahami seluruh makna Al-Qur’an.

2 Pentingnya Hadis dalam Islam: Menjelaskan konsep Islam secara praktikal

Sebagian besar Islam akan tetap menjadi konsep abstrak belaka tanpa Hadis. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana berdoa, berpuasa, membayar zakat, atau berhaji tanpa ilustrasi yang ditemukan dalam Hadis, karena ibadah-ibadah ini tetap merupakan keharusan abstrak dalam Al-Qur’an.

Pentingnya Hadis dalam Islam: Sebagai hikmah

Al-Qur’an memberitahu kita bahwa Nabi ﷺ telah mengajarkan tidak hanya Kitab tetapi juga kebijaksanaan (Lihat QS: 96:2; QS 33:34; QS 4:113, dll). Imam Syafi`i menyatakan, hikmah yang disebutkan di sini adalah Sunnah Nabi ﷺ; jadi jika kita menolak Hadis, kita akan menolak Al-Qur’an itu sendiri.

3 Pentingnya Hadis dalam Islam: Memutuskan perkaraatau perselisihan

Al-Qur’an memberitahu kita untuk mematuhi Rasul dan mematuhi keputusannya:

“Tetapi tidak, demi Tuhan, mereka tidak dapat memiliki Iman (nyata), sampai mereka menjadikan Engkau hakim dalam semua perselisihan di antara mereka, dan tidak menemukan dalam jiwa mereka tidak ada perlawanan terhadap keputusan-keputusan-Mu, tetapi terimalah mereka dengan keyakinan penuh.” (QS An-Nisaa’: 65)

“Maka putuskanlah di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, tetapi waspadalah terhadap mereka agar mereka tidak menyesatkan kamu dari sebagian dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa Kehendak Allah adalah menghukum mereka karena sebagian dosa mereka. Lihat! banyak dari umat manusia yang berhati jahat.” (QS Al-Ma’idah: 48)

Di mana kita menemukan keputusan seperti itu kecuali dalam Hadits?

4 Pentingnya Hadis dalam Islam: Meneladani Nabi Muhammad ﷺ

Al-Qur’an memerintahkan orang beriman untuk meniru teladan Rasulullah dan menganggapnya sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan keridhaan Allah. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menghormati moral dan perilakunya dan menirunya dalam kehidupan kita. Kita tidak akan pernah bisa melakukannya tanpa mempelajari Hadis.

Hal ini paling mencerahkan dalam hal ini untuk belajar bahwa ketika `Aisyah diminta untuk menggambarkan karakter Nabi ﷺ, jawaban definitifnya adalah, “Karakternya adalah Al-Qur’an.”

Dengan kata lain, ia mempersonifikasikan cita-cita dan nilai-nilai terbaik Al-Qur’an.

Bagaimana mungkin kita kemudian mengabaikan Hadis, yang hanya dapat membawa kita pada cara yang tepat di mana Nabi ﷺ mencontohkan cita-cita Al-Qur’an.

Setelah mengatakan ini, bagaimanapun, kita tidak boleh jatuh ke dalam godaan untuk mengambil semua yang ditemukan dalam karya-karya Hadis sebagai otentik atau asli. Hadis setiap saat harus dievaluasi dengan aturan validasi yang mapan seperti yang ditetapkan oleh para ulama besar. Kriteria tegas tersebut meliputi hal-hal berikut:

Jika sebuah hadits tertentu bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an atau akal sehat yang disepakati, maka hadits tersebut harus ditolak (karena, jelas, itu tidak shahih). []

SUMBER: ISLAM ONLINE (ISLAMPOS)

Atasi Kemelut Hidup dengan Istighfar

Dunia ini makin padat kemelut. Setiap hari begitu banyak musibah berdatangan. Berita kelaparan dan kebanjiran sudah sering kita dengar. Kasus jatuhnya pesawat terbang, tanah longsor, resapan air laut, kerusuhan dan kenakalan remaja, wabah penyakit aneh, sampai kepada peristiwa kekeringan dan terbakarnya ribuan hektar tanah di Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu lalu.

Kita sering melihat masalah ini sebagai masalah yang parsial, putus kaitannya dengan Tuhan. Seperti sama sekali tidak kaitannya dengan teguran Tuhan.

Kalaupun ada bolehlah sekadar informasi bibir, Allah sedang menguji kita, ungkapnya, tanpa kita berani mengorek sedikit juga kekeliruan dan kesalahan kronis yang bisa mendatangkan musibah itu sendiri. Kita selalu diantar pada tinjauan materi, tanpa ada penggalian mungkin penyebab kasus yang bersifat immateri, transendental.

Jangan jauhkan Tuhan

Aneh. Padahal, kita juga tidak mau dikatakan sebagai orang yang tidak bertuhan. Tapi ketika masalah itu datang, koreksi kalau-kalau di balik itu ada unsur kemarahan Tuhan sama sekali tidak dipersoalkan.

Selalu yang disodorkan adalah dari itu ke itu juga. Jatuhnya pesawat, misalnya, akibat kelalaian pilot, human error, kesalahan teknis, cuaca buruk, dsb. Padahal tidak menutup kemungkinan ada sesuatu yang mestinya diperhatikan di institusi yang bersangkutan.

Boleh jadi ada aturan-aturan Allah yang dilanggar dan makin banyak terjadi pelanggaran di sana. Sudah banyak tindakan maksiat yang semestinya segera dibenahi dan ditinggalkan. Bukankah fasilitas pesawat juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana pelayanan seharusnya terhadap para jemaah haji, misalnya?

Betapa tidak mengerikannya ketika melakukan perjalanan yang begitu riskan, disodorkan di hadapan mata kita lenggak-lenggok para gadis. Seolah-olah kita disuruh melupakan semua kemungkinan-kemungkinan terburuk dengan hadirnya senyum manis mereka yang menarik dengan segala keramah-tamahannya yang dibuat-buat itu? Adakah salah bila sebelum pesawat take off ada kesempatan barang sejenak pengumuman untuk berdoa bersama, yang dipandu oleh Sang Pilot? Apa pula salahnya memakai jasa para santri atau kiai, sebelum pesawat memulai penerbangan, dan ketika mendarat dengan selamat? Mengapa harus berat dan malu untuk sebuah perjalanan yang selamat dan menenteramkan seperti itu?

Teguran yang Tuhan berikan merupakan lampu peringatan supaya segera dilakukan koreksi, muhasabah, dan evaluasi. Bukan sekadar evaluasi teknis kedirgantaraan, tapi juga menyangkut sisi pelayanan dan pemenuhan hak-hak penumpang, termasuk di dalamnya peringatan untuk selalu dekat dengan Tuhan.

Jangan pisahkan Tuhan dari mereka dengan alasan sibuk sekalipun. Bukankah Dia yang menggerakkan angin, mengatur gravitasi, dan mengendalikan instrumen konsentrasi Sang Pilot?

Doa kaum dhuafa

Demikian pula dengan kemarau yang panjang dan terbakarnya hutan. Berapa seringnya kita mendengar informasi yang mendirikan bulu roma? Ketika sebagian orang begitu sulit mencari sepetak tanah untuk tempat tinggal anggota keluarganya, masih ada segelintir orang yang dengan enak-enak mengukur tanah ribuan hektar untuk dimilikinya seorang diri.

Bahkan mereka dengan congkaknya ingin terus memperlebar dan memperluas lahan untuk kerajaan bisnisnya? Tidak menutup kemungkinan, semua fenomena yang terjadi di hadapan mata kita hari ini merupakan bentuk ijabah doa kaum dhuafa yang tertindas.

Secara materi mereka tidak mempunyai kekuatan tindakan untuk melawan. Akan tetapi ketika mereka mengangkat kedua tangannya seraya membisikkan untaian doa, para malaikat mengaminkannya sebagai catatan hitam yang akan dijawab pada masanya:

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan Kami ke surga-Mu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah dunia ini. Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami.” (HR Tirmidzi dan Hakim).

Selain itu masih ada lagi hadist Rasulullah yang yang menjelaskan keberpihakan Allah kepada kelompok dhuafa ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

ثَلَاثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ : وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

“Ada tiga golongan manusia yang do’anya tidak akan ditolak : Orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang dizhalimi, Allah akan mengangkat doanya sampai di atas awan dan dibukakan pintu-pintu langit untuknya, dan Allah berfirman : Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu meskipun tidak serta merta.” (HR. Tirmidzi).

Kembali kepada Allah

Kembali kepada Allah merupakan jawaban yang paling tepat. Kepada mereka yang sering nyeplos membuat statemen yang melewati batas kewajaran, harus ditutup dengan istighfar.

Ungkapan yang sering kelewat yang sebenarnya hanya hak Allah hanyalah cermin kerenggangan dan keangkuhan terhadap Yang Maha Penguasa. Kendati hal itu sering terjadi di luar kesadaran manusiawinya.

Bukankah di sekililing kita begitu banyak kata-kata :yang bisa menodai akidah? Ketika di jalan, di kantor, di kantin, saat bergurau kala nongkrong, dimana saja sering lepas kendali dengan ucapan kasar dan kotor.

Padahal sekalipun terhadap udara yang memenuhi ruangan, kita masih dianjurkan untuk memohon kebaikan-kebaikannya. Seperti termaktub dalam sabda Nabi ﷺ

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ

Artinya: “Ya Allah, sungguh aku mohon kepadaMu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada padanya, dan kebaikan pada tujuan angin ini dihembuskan. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang ada padanya, dan keburukan tujuan angin ini dihembuskan.” (HR: Muslim)

Sewajarnya kita memang tidak perlu membesar-besarkan apa yang menjadi karya manusia. Sebaliknya tidak menganggap kecil sesuatu yang dari Sang Maha Akbar. Nyamuk, kuman, angin dan asap, bukankah semuanya hanya kecil saja? Tapi ternyata mereka bisa mendatangkan kesulitan dan kematian.*

HIDAYATULLAH

Tinggalkan Ghibah dan Semua Keburukan, Mari tetap Berada dalam Kebaikan

Tinggalkan ghibah, menggunjing, mencela, dan menghina, termasuk jenis hujatan, makian dan fitnah di dunia maya

MENINGGALKAN keburukan itu jauh lebih utama daripada memburu kebaikan. seorang hamba tidak harus melakukan semua kebaikan, lakukanlah kebaikan semampunya. Tetapi sebailknya, seorang hamba justru diwajibkan untuk meninggalkan keburukan dengan total. Tinggalkanlah semua keburukan.

Artinya, jika seseorang ingin mendapat anugerah Allah Azza wa Jalla sebagai hamba yang dicintai-Nya, maka dia harus terbebas dari sifat dan perilaku buruk dari dirinya. Siapa yang sanggup meninggalkan keburukan, ia pasti berada di dalam kebaikan, namun tak setiap pelaku kebaikan berada di dalam kebaikan. Kebaikan bisa bercampur dengan keburukan, sementara keburukan seluruhnya buruk.

Salah satu keburukan yang harus ditinggalkan adalah keburukan yang bersumber dari lidah dan mulut. Tinggalkan dusta, memfitnah, mencela, menghina, mencibir, berkata kasar, namimah dan ghibah.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

“Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata, Aku bertanya, wahai Rasulullâh, apakah sebab keselamatan? Beliau menjawab, kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu.” (HR: Tirmidzi).

Makna hadits ini adalah seorang muslim yang menginginkan keselamatan harus menjaga lidahnya dari berbicara yang membawa kepada kecelakaan. Sesungguhnya diam dari perkataan yang buruk merupakan keselamatan, dan keselamatan itu tidak ada bandingannya.

Rasulullah ﷺmemberikan jaminan bagi kita yang menjaga lidahnya dengan baik. Rasulullah ﷺbersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya.”  (HR. Bukhari).

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, seyogyanya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas ada mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahatnya, maka menurut sunnah adalah menahan diri darinya (tidak mengucapkannya), karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh.

Dan dalam kebiasaan manusia ini banyak sekali atau mendominasi, padahal keselamatan itu tiada bandingannya. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi Muhammad ﷺ, Beliau bersabda;

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”

Dari Kitab Tazkiyatun Nafs, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat, termasuk yang wajib dihindari dan ditinggalkan sejauh-jauhnya adalah ghibah (menggunjing, mencela, menghina). Di antara jenis ghibah adalah al-Hamz dan al-Lamz.

Keduanya adalah cara mencela manusia dan menyakiti mereka sebagaimana yang terdapat dalam ghibah. Akan tetapi al-Hamz merupakan celaan yang sangat keras dan kasar, sedangkan al-Lamz tidak terlalu tampak kekerasaannya. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”  (QS. At-Taubah: 58).

Firman Allah Azza wa Jalla yang lainnya,

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.”  (QS. Al-Humazah : 1)

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dalam ayat ini diterangkan bahwa mencela ada dua macam. Yaitu mencela dengan perbuatan (al-Hamz) dan mencela melalui perkataan (al-Lamz).

Hujatan yang sering dilancarkan dalam komentar di dunia maya termasuk dalam golongan al-Lamz yang meski tidak menyakiti secara fisik tapi perkataan tersebut memberikan bekas yang menyakitkan dalam hati.

Teguran yang disampaikan dalam firman Allah Azza wa Jalla di atas sebagai peringatan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sangat tercela dan melampaui batas. Sebab orang yang mencela dan mengumpat biasanya melakukan perbuatan melampaui batas dengan menghamburkan fitnah kepada siapa pun di manapun dan kapan pun.

Nabi Muhammad ﷺbersabda dari Muhammad bin Sa’d dari Sa’ad,

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.”  (HR Ibnu Majah)

Maknanya adalah dalam Islam, perbuatan menghujat orang lain sangat tidak diperbolehkan. Allah Azza wa Jalla juga menetapkan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS. Al Hujuraat: 11)

Imam At Thabari menyatakan bahwa larangan ini mencakup seluruh bentuk celaan dan cacian. Tidak boleh seorang mukmin mencela mukmin yang lain karena kemiskinannya, kerana perbuatan dosa yang telah dilakukannya, juga sebab yang lainnya.

Sikap mencela orang lain itu berpuncak dari rasa sombong dan ujub terhadap dirinya sendiri yang merasakan dirinya lebih baik. Belum tentu yang meremehkan lebih baik dari pada yang diremehkan.

Karena, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik di sisi Allah dari mereka yang mengolok-olok. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik”. (QS. Al-Hujurat: 11)

Berdasarkan ayat tersebut, menurut Ibnu Katsir meremehkan dan mengolok-olok orang lain termasuk ciri-ciri sifat sombong. Sebab dengan melakukan itu berarti kita telah merendahkan orang lain dan merasa lebih baik darinya.

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa meninggalkan semua keburukan agar berada dalam kebaikan untuk meraih ridha-Nya. Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawab.*/Bagya Agung Prabowo, dosen tetap Fakultas Hukum UII

HIDAYATULLAH

وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

Tata Cara Sholat Tahiyatul Masjid Lengkap Sesuai Sunnah Rasulullah

Sholat Tahiyatul Masjid adalah shalat sebanyak dua rakaat yang sunnah dilakukan saat seseorang masuk ke dalam masjid. Sholat ini dilakukan saat seseorang belum duduk di dalam masjid, sehingga apabila sudah duduk, maka kesunnahan sholat Tahiyatul Masjid sudah tidak berlaku lagi.

Sholat ini dinamakan dengan Tahiyatul Masjid karena sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap masjid. Tahiyat dalam bahasa Arab bermakna ‘penghormatan atau pemuliaan’.

Waktu Sholat Tahiyatul Masjid

Sementara itu, waktu sholat Tahiyatul Masjid tidak terbatas. Artinya, setiap kali kita mengunjungi masjid, dan belum duduk, maka kita disunahkan melakukannya. Sholat sunah Tahiyatul Masjid itu tidak dianjurkan dilakukan berjamaah.

Akan tetapi, terdapat 3 waktu yang dilarang untuk melakukan sholat tahiyatul masjid.

Selain itu, ulama juga memberi solusi apabila kita tidak sempat melakukan sholat Tahiyatul Masjid, dengan menggantinya dengan zikir berikut ini.

Cara Sholat Tahiyatul Masjid

Niat Sholat Tahiyatul Masjid

اُصَلِّى سُنَّةً تَحِيَّة الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Usholli sunnata tahiyyatil masjidi rok’ataini lillaahi ta’aalaa

Aku berniat sholat untuk menghormati masjid sebanyak dua rakaat karena Allah ta’ala.

Takbiratul Ihram

Di sini dianjurkan mengangkat tangan sambil mengucapkan Allahu akbar.

Bersedekap dan Membaca Doa Iftitah

Setelah takbir, sedekapkanlah kedua tangan di bagian perut dan atas pusar sambil membaca doa iftitah berikut.

اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا. اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَ لِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .

Allohu akbar kabiro wal hamdu lillahi katsiro, wa subhanallohi bukrotaw wa ashila inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharos samawati wal ardho hanifam muslimaw wa ma ana minal musyrikin. Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi robbil ‘alamin. La syarika lahu wa bidzalika umirtu wa ana minal muslimin.

Membaca Surah Alfatihah

Setelah membaca doa iftitah, bacalah surah Alfatihah hingga selesai sebagai berikut.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ (3مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Bismillahir rohmanir Rohim (1) alhamdu lillahi robbil ‘alamin (2) arrohmanir rohim (3) maliki yaumid din (4) iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (5) ihdinas shirotol mustaqim (6) shirotol ladzina an’amta ‘alaihim ghoiril maghdubi ‘alaihim wa lad dhollin (7)

Membaca Satu Surah atau Sebagian Ayat Al-Qur’an

Setelah membaca Alfatihah, dilanjutkan membaca surah pendek atau sebagian ayat dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya, kita tidak diwajibkan membaca surah apapun. Akan tetapi, ulama menyebutkan bahwa saat sholat tahiyatul masjid, kita dianjurkan membaca surah berikut ini.

Ruku’

Selesai membaca surah, lalu kedua tangan diangkat setinggi telinga dan membaca allahu akbar. Kemudian badan dibungkukkan, kedua tangan memegang lutut sambil ditekan. Usahakan antara punggung dan kepala supaya sejajar dan rata. Setelah sempurna, kemudian membaca doa ruku’ ini sebanyak tiga kali:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Subhana rabbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (3x)

I’tidal

Setelah selesai ruku’, kemudian bangkit tegak dengan mengangkat kedua tangan setinggi telinga sambil membaca zikir i’tidal berikut:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهْ

Sami‘allahu li man hamidah

Bacaan I’tidal

Setelah berdiri tegak saat I’tidal, dianjurkan membaca doa berikut:

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Robbana lakal hamdu mil’us samawati wa milul ardhi wa mil’u ma syi’ta min syain ba’du

Sujud Pertama

Selesai i’tidal lalu sujud dengan cara meletakkan dahi pada sajadah. Ketika turun dari berdiri I’tidal ke sujud dianjurkan sambil membaca allahu akbar, dan saat sudah sujud dianjurkan membaca doa berikut:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلىَ وَبِحَمْدِهْ

Subhana rabbiyal a’la wa bi hamdih (3x)

Duduk di Antara Dua Sujud

Setelah sujud lalu bangunlah sambil membaca allahu akbar untuk duduk, dan saat duduk dianjurkan membaca doa berikut:

رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّي

Robbighfirli warhamni wajburni warfa’ni warzuqni wahdini wa’afini wa’fu ‘anni

Sujud Kedua

Setelah selesai melakukan duduk di antara dua sujud, lakukanlah sujud sambil membava allahu akbar, dan saat sudah sujud membaca:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهْ

Subhana rabbiyal a’la wa bi hamdih (3x)

Rakaat Kedua

Berdiri untuk melakukan rakaat kedua sambil membaca Allahu akbar. Ulangi tahap membaca surah Alfatihah hingga sujud kedua.

Tahiyat Akhir

Setelah sujud kedua pada rakaat kedua, duduklah dengan kaki bersilang sambil membaca allahu akbar. Usahakan pantat menempel di alas sholat, dan kaki kiri dimasukkan ke bawa kaki kanan, jari-jari kaki kanan tetap menekan ke kiri alas sholat. Adapaun doa yang dibaca saat Tahiyat Akhir adalah sebagai berikut:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ  أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ  الَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Attahiyyatul mubarokatush sholawatut toyyibatu lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihin.

Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala muhammadin wa ‘ala ali muhammadin kama shollaita ‘ala ibrohima wa ‘ala ali Ibrohim, wa barik ‘ala muhammadin wa ‘ala ali muhammadin kama barokta ‘ala ibrohima wa ‘ala ali ibrohim innaka hamidum majid.

Allohumma inni a’udzu bika min ‘adzabi jahannama, wa min ‘adzabin nar, wa min  fitnatil mahya wal mamat, wa min syarri fitnatil masihid dajjal. Allahummagh firli ma qoddamtu wa ma akh-khortu, wa ma asrortu wa ma a’lantu, wa maa asyroftu wa ma anta a’lamu bihi minni, antal muqoddimu wa antal mu’akh-khiru, la ilaha illa anta.

Pada saat sampai membaca Asyhadu alla ilaha illallah, disunahkan jari telunjuk diangkat hingga lurus seperti angka satu.

Salam

Selesai membaca tahiyat akhir, kemudian salam dengan menengok ke kanan dan ke kiri sambil membaca:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ

Assalamu’alaikum wa rohmatulloh

Doa Setelah Sholat Tahiyatul Masjid

Pada dasarnya tidak ada anjuran membaca doa tertentu setelah melakukan sholat Tahiyatul Masjid. Namun, doa ini dapat dibaca setelah melakukan Tahiyatul Masjid.

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ، اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَيْوَابَ رَحْمَتِكَ وَانْصُرْ عَلَيَّ حِكْمَتَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Subhanalloh wal hamdulillah wa la ilaha illalloh wallohu akbar, allohummaftahli abwaba rahmatika wanshur ‘alayya hikmataka ya arhamar rohimin. Atau Anda bisa juga membaca doa saat berada di dalam masjid ini.

BINCANG SYARIAH

Rukun Shalat 4 Imam Mazhab

TAK jarang antara muslim yang satu dengan yang lain saling berdebat, menyalahkan atau menganggap pendapatnya yang paling benar tentang tata cara shalatnya. Tentu saja ini berhubungan erat dengan rukun shalat itu sendiri.

Padahal pelaksanaan Shalat tersebut adalah wilayah fikih yang di dalamnya terdapat khilafiyah atau perbedaan pendapat. Semua bersumber dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.

Maka dari sahabat sebagai generasi awal setelah kenabian maka dinukil oleh para tabi’in kemudian tabiut tabi’in. Maka masa tabiut tabi’in inilah imam mazhab sebagai rujukan tentang fikih di dunia Islam menukil langsung dari sahabat bagaimana keseharian Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Termasuk tata cara Shalat .

Empat Mazhab mempunyai penukilan berbeda tentang ini. Karena para imam mempunyai guru yang berbeda, baik madrasah, wilayah dan lain sebagainya.

Maka kita dapat simpulkan rukun Shalat keempat Mazhab.

1 Rukun Shalat: Niat

Hanafi dan Hambali: mendahulukan niat atas takbiratul ihram

Maliki dan Syafii: niat bersamaan dengan takbiratul ihram

Ulama sepakat niat di dalam hati sudah cukup.

2 Rukun Shalat: Takbiratul ihram

Para imam sepakat takbiratul ihram dilafalkan. Dengan ucapan Allahu akbar.

Bolehkah selain ucapan takbir?
Menurut Hanafi boleh dengan kalimat pengagungan. Allahul ‘azhim/ Allah sj sah. Bahkan dengan bahasa selain arab dianggap sah.
Selebihnya berpendapat tidak sah.

AK jarang antara muslim yang satu dengan yang lain saling berdebat, menyalahkan atau menganggap pendapatnya yang paling benar tentang tata cara shalatnya. Tentu saja ini berhubungan erat dengan rukun shalat itu sendiri.

Padahal pelaksanaan Shalat tersebut adalah wilayah fikih yang di dalamnya terdapat khilafiyah atau perbedaan pendapat. Semua bersumber dari Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.

Maka dari sahabat sebagai generasi awal setelah kenabian maka dinukil oleh para tabi’in kemudian tabiut tabi’in. Maka masa tabiut tabi’in inilah imam mazhab sebagai rujukan tentang fikih di dunia Islam menukil langsung dari sahabat bagaimana keseharian Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Termasuk tata cara Shalat .

Empat Mazhab mempunyai penukilan berbeda tentang ini. Karena para imam mempunyai guru yang berbeda, baik madrasah, wilayah dan lain sebagainya.

3 Rukun Shalat:  Mengangkat tangan

Ijma imam mazhab sepakat hukumnya sunnah.
Namun berbeda tentang batasannya.
Hanafi: sejajar telinga
Maliki dan syafi: sejajar bahu.
Hambali: 3 pendapat. Dua diantaranya seperti pendapat ke-3 imam yang lain. Dan boleh memilih.

4 Rukun Shalat: Berdiri

Sepakat hukumnya fardhu.

Rukun Shalat: Bersedekap

Ulama sepakat meletakkan Tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Namun ada riwayat paling masyhur tangan dijulurkan lurus ke bawah.

Tempat meletakkan tangan
Hanafi: dibawa pusar
Maliki dan syafii: di bawah dada di atas pusar.
Hambali punya 2 pendapat. Tapi yang paling masyhur spt pendapat imam hanafi

5 Rukun Shalat: Iftitah

3 imam mazhab sepakat doa iftitah hukumnya sunnah kecuali maliki lgsg membaca alfatihah

Rukun Shalat: Isti’adzah

Hanafi: diucapkan pada rakaat pertama.
Syafii: tiap rakaat
Maliki: tidak perlu membaca

6 Rukun Shalat: Membaca alfatihah

Semua imam sepakat alfatihah hukumnya wajib

Syafii dan hambali: wajib tiap rakaat
Hanafi: wajib hanya 2 rakaat pertama
Maliki ada 2 pendapat:
1. Seperti hambali dan syafii
2. Jika tertinggal baca alfatihah selain subuh maka harus sujud sahwi, kalau pd Shalat subuh..maka diulang

7 Rukun Shalat: Membaca basmalah

Syafii dan hambali: basmalah bagian alfatihah yang wajib dibaca bersama alfatihah.
Hanafi dan maliki: basmalah tidak termasuk alfatihah, jd tdk wajib dibaca.

Dibaca keras atau pelan?
Syafii: dibaca keras
Hanafi dan hambali: dibaca perlahan
Maliki: hal yang disukai tidak dibaca

Yang tidak bisa baca alfatihah

Maliki: hendaknya ia berdiri selama bacaan alfatihah/ tidak boleh melihat mushaf pd Shalat fardhu
Hanafi: hendaknya ia berdiri selama bacaan alfatihah / boleh menggunakan bahasa selain arab tapi tidak boleh melihat mushaf
Syafii: hendaknya ia membaca tasbih/ tidak boleh dengan bahasa lain tapi boleh melihat mushaf
Hambali: 2 pendapat . Boleh melihat mushaf dan yang lain mengatakan hanya boleh melihat mushaf pada Shalat sunnah.

8 Rukun Shalat: Membaca aamiin

Hanafi: bacanya tidak dikeraskan
Maliki: dikeraskan oleh makmum, imam boleh dikeraskan boleh tidak
Syafii: dikeraskan oleh imam dan makmum (qoul qadim)
Hambali: dikeraskan oleh imam dan makmum

9 Rukun Shalat: Surat lain setelah alfatihah

Imam sepakat hukumnya sunnah dibaca pada 2 rakaat pertama

10 Rukun Shalat: Mengeraskan bacaan surat

Imam sepakat bacaan dikeraskan pada Shalat jahriyah. Hukumnya sunnah.

Dalam Shalat sendirian (munfarid). Pd Shalat jahriyah:
Maliki dan syafi: sunnah
Hambali: tidak disunnahkan
Hanafi: boleh memilih

11 Rukun Shalat: Ruku dan sujud

Imam sepakat hukumnya fardhu.
Mereka berbeda pendapat ttg tumakninah

Hanafi: tidak wajib (sunnah)
Syafii, maliki dan hambali: fardhu.

Tasbih dalam rukuk dan sujud

Hambali: wajib satu kali
Selebihnya berpendapat sunnah

Membaca 3 kali: sunnah (semua imam)

12 Rukun Shalat: i’tidal

Syafii, maliki dan hambali: wajib
Hanafi: tidak wajib

Membaca sami’: syafii: hukumnya sunnah
Maliki, hambali dan hanafi: imam tidak boleh membaca lebih dari سمع الله لمن حمده
Dan makmum tak boleh membaca lebih dari ربنا لك الحمد
Maliki: munfarid boleh membaca lbh dari itu.

13 Rukun Shalat: Duduk diantara dua sujud

Hanafi: sunnah
Selebihnya: wajib

Imam syafii: duduk istirahah (sebelum berdiri dari sujud ) hukumnya sunnah.

Menurut 3 imam :Bangun dari sujud hendaknya menekan telapak tangan ke lantai.
Imam hanafi: tidak boleh

14 Rukun Shalat: Tasyahud

Hambali: tasyahud awal : wajib
Selebihnya: sunnah

Syafii: Duduk iftirasy (tasyahud awal) dan tawarruk (tasyahud akhir) hukumnya sunnah.

Maliki: disunnahkan duduk tawarruk di kedua tasyshud

Hanafi: disunnahkan duduk iftirasy dikedua tasyahud .

Menurut imam hanafi dan maliki Membaca shalawat dalam tasyahud akhir hukumnya sunnah

Syafii dan Hambali: wajib

15 Rukun Shalat: Salam

Hanafi syafii dan hambali: salam yang disyariatkan adalah 2 kali
Maliki: 1 kali

Maliki dan syafii: salam pertama wajib bagi imam dan munfarid
Hambali ke dua salam wajib

Ketiga imam sepakat Salam kedua: sunnah
Maliki: bagi makmum disunnahkan 3 kali salam. (Yakni juga Ke depan)

16 Rukun Shalat: Qunut

Syafii dan maliki: sunah dalam Shalat subuh
Hanafi: tidak disunnahkan
Hambali: hanya disunnahkan untuk kepala negara.

Imam yang membaca qunut
Hambali: hendaknyamengikuti
Hanafi: tidak boleh mengikuti

Syafii: dengan mengangkat tangan dan dibaca setelah rukuk

Maliki: tidak mengangkat tangan dan dibaca sebelum rukuk

Tiga imam mazhab Ketika hendak bersujud disunahkan meletakkan kedua lutut sebelum telapak tangan
Maliki: telapak tangan dulu. []

Kitab Fikih 4 Mazhab
Syeikh al-‘Allamah M. Abdurrahman Ad-dimasqiy

ISLAMPOS