Definisi “Dzul-Wajhain” (Bermuka Dua) yang Tercela

Terdapat hadis-hadis sahih yang melarang sifat dzul-wajhain (bermuka dua). Di antaranya hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الوَجْهَيْنِ، الذي يَأْتي هَؤُلَاءِ بوَجْهٍ، وهَؤُلَاءِ بوَجْهٍ

“Seburuk-buruk manusia adalah dzul-wajhain (orang yang bermuka dua), yaitu orang yang ketika di tengah sekelompok orang, ia menampakkan suatu wajah, namun di tengah sekelompok orang lain, ia menampakkan wajah yang lain” (HR. Bukhari no. 7179, Muslim no. 2526).

Demikian juga hadis dari ‘Ammar bin Yasar Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كان لهُ وجْهانِ في الدنيا كان لهُ يومَ القيامةِ لِسانانِ من نارٍ

“Siapa yang memiliki dua wajah di dunia, ia akan memiliki dua lidah dari api di akhirat” (HR. Abu Daud no. 4873, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 892).

Demikian juga hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا ينبَغِي لذِي الوَجهينِ أنْ يكونَ أَمينًا

“Orang yang memiliki dua wajah sebaiknya tidak dipercayai” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 238, Al Albani mengatakan, “hasan shahih”).

Bilal bin Sa’ad Rahimahullah (seorang ulama tabi’in) menjelaskan maksud dzul-wajhain dalam hadis-hadis di atas dengan mengatakan,

لا تكن ذا وجهين ، وذا لسانين ,تظهر للناس ليحمدوك وقلبك فاجر

“Janganlah Engkau menjadi orang yang mempunyai dua wajah dan dua lisan. Engkau menampakkan hal-hal terpuji di depan orang-orang, padahal hatimu fajir (penuh kemaksiatan)” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Al Ikhlash wan Niyyah, no. 25).

Dengan kata lain, dzul-wajhain adalah orang-orang munafik, baik nifaq i’tiqadi ataupun nifaq ‘amali. Nifaq i’tiqadi adalah menampakkan diri sebagai mukmin, namun dalam hatinya menyembunyikan kekufuran. Nifaq ‘amali adalah menampakkan diri sebagai orang saleh, namun dalam hatinya menyembunyikan ke-fajir-an. Keduanya termasuk dzul-wajhain.

Sebagian ulama mengatakan orang yang melakukan namimah (adu domba) juga termasuk dzul-wajhain. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَجِدُ مِن شِرارِ النَّاسِ يَومَ القِيامةِ، الَّذي يأتي هؤلاء بِحَديثِ هؤلاء، وهؤلاء بِحَديثِ هؤلاء

“Engkau akan dapati seburuk-buruk manusia di hari kiamat adalah yang datang kepada sekelompok orang dengan suatu perkataan dan datang kepada sekelompok orang lainnya dengan perkataan yang lain” (HR. Ahmad no. 9171, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan,

وهو من جملة صورة النمام، وإنما كان ذو الوجهين أشر الناس لأن حاله حال المنافق إذ هو متملِّقٌ بالباطل وبالكذب من مدخل للفساد بين الناس

Dzul-wajhain mencakup juga orang yang melakukan adu domba. Dzul-wajhain menjadi orang yang terburuk karena keadaannya sama dengan orang munafik. Karena ia menyelipkan kebatilan dan kedustaan untuk merusak manusia” (Fathul Bari, 10: 475).

Adapun orang yang menampakkan sikap yang berbeda di tengah orang-orang sesuai dengan keadaannya, ini tidak termasuk dzul-wajhain yang dicela dalam hadis. Kami berikan contoh, misalnya:

– Seorang suami, ketika di luar rumah bersikap wibawa, sedangkan di tengah keluarganya ia ceria dan jenaka.

– Seorang penuntut ilmu di tengah teman-temannya ia banyak bicara, sedangkan di depan gurunya ia banyak diam.

– Seorang warga biasa bicara bahasa sehari-hari, lalu ketika ada pejabat ia berbahasa halus dan sopan.

Ini semua bukan termasuk dzul-wajhain yang dimaksud dalam hadis. Bahkan ini semua terpuji karena termasuk menempatkan sikap yang tepat pada tempatnya. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis,

أنزلوا النَّاسَ منازلَهم

“Perlakukanlah orang lain dengan perlakuan yang sesuai untuk mereka masing-masing” (HR. Abu Daud no. 4842. Hadis ini dihasankan oleh Syu’aib Al Arnauth dan didaifkan oleh Al Albani. Namun maknanya benar, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ibnu Baz Rahimahullah).

Demikian juga perintah para salaf untuk berbicara dengan suatu kaum sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu juga berkata,

حَدِّثُوا النَّاسَ، بما يَعْرِفُونَ أتُحِبُّونَ أنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ ورَسولُهُ

“Bicaralah kepada orang lain sesuai dengan apa yang mereka pahami. Apakah Engkau ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari no. 127).

Ini menunjukkan bahwa berbicara dengan orang-orang dengan sikap yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan pemahaman mereka, tanpa mengatakan kedustaan dan kebatilan, adalah sikap yang dibenarkan dan tidak termasuk dzul-wajhain.

Wallahu a’lam. Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/72029-definisi-dzul-wajhain-bermuka-dua-yang-tercela.html

Alasan Allah Bersumpah dengan Waktu Ashar

Dalam tradisi bangsa Arab, bersumpah adalah hal yang lumrah. Sumpah dijadikan penguat ucapan seseorang agar lawan bicaranya tidak ragu akan apa yang dikatakan.

Oleh karenanya, Allah dalam Al-Qur’an sering kali menyertakan “qasam”, sumpah baik dengan Dzat-Nya sendiri maupun dengan makhluk-Nya, karena Al-Qur’an turun pertama kali di tengah-tengah bangsa mereka. Selain juga sebagai hujjah tak terbantahkan keautentikan Al-Qur’an yang murni merupakan kalam Allah.

Salah satunya, Allah bersumpah dengan “Al-Ashr” dalam surat Al-Ashr. Surat Al-Ashr sendiri merupakan surat yang terletak pada urutan 103 dalam runtutan mushaf,  terdiri dari 3 ayat dan tergolong ke dalam surat Makkiyah. 

Di dalamnya Allah mengawali ayat dengan sumpah atas nama “Al-Ashr”, sehingga surat ini dinamakan dengan surat Al-Ashr. Sebelum kemudian setelahnya Allah menjelaskan kebanyakan manusia yang berada dalam kerugian dan mengecualikan sebagian darinya dengan orang-orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasehati dengan kebaikan dan kesabaran.

Terkait alasan Allah bersumpah dengan “Al-Ashr” tersebut, Syekh Fakhr ad-Din Ar-Razi dalam kitabnya “Mafatih Al-Ghaib” Juz XXXII hal 84 menyebutkan ada 4 kemungkinan makna dan alasan Allah bersumpah dengannya:

Pendapat pertama, maksud dari Al-Ashr ialah “Ad-Dahr” atau masa. Ahli tafsir yang berpendapat demikian berhujjah dengan beberapa hujjah yang diantaranya ialah sebagai berikut:

Pertama, riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bersumpah dengan lafadz tersebut. Beliau dalam riwayat tersebut mengatakan: Wa al-Ashr wa nawaib ad-Dahr (Demi masa dan hal-hal yang menggantikannya).

Kedua, “Ad-Dahr” atau masa mencakup atas banyak keajaiban karena di dalamnya yang berisi kebahagiaan dan kesusahan, sehat dan sakit, masa kaya dan miskin dan yang lainnya bagi makhluk. Sehingga kemudian logika tidak mungkin mampu menafikan adanya masa (waktu;read).

Ketiga, masa umur seseorang tidak ada harganya bila melihat waktu hidupnya. Semisal seseorang diberi waktu 1000 tahun kemudian ia menyia-nyiakannya. Akan tetapi di saat terakhir kemudian ia taubat.

Maka ia berkemungkinan mendapatkan maghfirah dan rahmat dari Allah. Dengan demikian, masa sesaat pada diri manusia tersebut lebih berharga daripada masa 1000 tahun sebelumnya yang ia sia-siakan.

Oleh karenanya, Allah bersumpah dengannya dan mengingatkan bahwa (waktu) baik malam dan siang (dalam pribadi setiap manusia) merupakan kesempatan yang acapkali disia-siakan oleh manusia.

Keempat, firman Allah dalam surat Al-An’am (6/12) yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): milik siapa semua yang ada di langit dan bumi?, katakanlah! Milik Allah”, merupakan isyarat untuk tempat (yang semuanya milik Allah).

Kemudian setelahnya Allah berfirman: “Dan milik Allah segala yang menetap di malam dan siang hari”, merupakan isyarat untuk waktu (yang juga milik Allah)”.  Waktu (masa) lebih utama dari pada tempat. Oleh karenanya, sumpah Allah dengan “Al-Ashr” merupakan sumpah dengan salah satu bagian milik Allah yang paling utama.

Pendapat kedua tentang alasan Allah bersumpah dengan waktu Ashar, ialah pendapat Abi Muslim yang mengatakan bahwa maksud dari “Al-Ashr” yang dijadikan sumpah oleh Allah ialah salah satu dari dua ujung waktu siang. 

Abi Muslim berpendapat demikian dengan beberapa alasan diantaranya ialah ketika Allah bersumpah dengan waktu Ashar sama halnya Allah bersumpah dengan waktu Dhuha karena di dalam keduanya terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah.

Waktu pagi diibaratkan sebagai Kiamat di mana manusia yang sebelumnya mati satu persatu keluar dari kuburnya dan kemudian ditimbang amalnya. Sedangkan waktu sore diibaratkan sebagai kekosongan dunia dengan kematian. 

Keduanya merupakan saksi yang adil, sehingga manusia yang lalai darinya dikatakan termasuk dari manusia yang merugi.

Pendapat ketiga, maksud dari “Al-Ashr” ialah waktu shalat Ashar. Pendapat ini diutarakan oleh Muqatil dengan beberapa alasan, diantaranya: Allah bersumpah dengan waktu tersebut dikarenakan keutamannya dengan dalil “wa as-Shalat al-Wustha” dalam surat Al-Baqarah/2;238, yang memiliki makna shalat Ashar dalam mushaf Hafsah, juga ada yang mengatakan maksud dari shalat dalam firman Allah surat Al-Maidah/5;106) ialah shalat Ashar juga. 

Pendapat keempat, maksud dari “Al-Ashr” ialah masa Nabi Muhammad Saw. Ahli Tafsir yang berpendapat demikian berhujjah dengan sabda Nabi Muhammad berikut:

إِنَّمَا مَثَلُكُمْ وَمَثَلُ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ مِثْلُ رَجُلٍ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا, فَقَالَ مَنْ يَعْمَلُ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى الظُّهْرِ بِقِيْرَاطٍ, فَعَمِلَتِ الْيَهُوْد, ثُمَّ قَالَ مَنْ يَعْمَل مِنَ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ بِقِيْرَاطٍ, فَعَمِلَتِ النَّصَارَى, ثُمَّ قَالَ مَنْ يَعْمَل مِنَ الْعَصْرِ إِلَى الْمَغْرِبِ بِقِرَاطَين, فَعَمِلْتُمْ أَنْتُمْ, فَغَضِبَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى, وَقَالُوْا نَحْنُ أَكْثَرُ عَمَلًا وَأَقَلُّ أَجْرًا. فَقَالَ اللهُ: هَلْ نَقَصْتُ مِنْ أَجْرِكُمْ شَيْئًا, قَالُوْا لَا, فَقَالَ: فَهَذَا فَضْلِى أُوْتِيْتُهُ مَنْ أَشَاءُ, فَكُنْتُمْ أَقَلُّ عَمَلًا وَأَكْثَرُ أَجْرًا

Perumpamaan kalian dan kaum sebelum kalian ialah sama seperti seseorang yang menyewa jasa buruh. Ia berkata: barang siapa yang bekerja dari fajar sampai dzuhur ia akan diberi satu Qirath (wadah), orang Yahudi melakukannya. Ia berkata lagi:  barang siapa yang bekerja dari Dzuhur sampai Ashar maka ia (juga) diberi satu Qirath, orang Nashrani melakukannya.

Kemudian di akhir ia berkata: barang siapa yang bekerja dari Ashar hingga Maghrib maka ia akan mendapat dua Qirath, dan kalian (umat Islam) melakukannya. Sehingga umat Yahudi dan Nashrani marah.

Mereka berkata: kami lebih banyak bekerja tapi lebih sedikit upahnya. Kemudian Allah berfirman: “Apakah Aku telah mengurangi upah kalian?”. “Tidak”, jawab mereka. “Ini adalah anugerah-Ku yang Aku beri kepada siapa saja yang Aku kehendaki, kalian (umat Islam) lebih sedikit bekerja, lebih banyak upahnya”.

Khabar tersebut menunjukkan bahwa maksud dari “Ashr” ialah zaman yang tertentu untuk Nabi Muhammad dan umatnya sehingga Allah bersumpah dengannya. Maka maksud dari Allah bersumpah dengan lafadz “Al-Ashr” ialah Allah bersumpah dengan zaman Nabi Muhammad Saw.

Demikian penjelasan alasan Allah bersumpah dengan waktu Ashar. Penjelasan ini dibarengi beberapa makna dan maksud dari sumpah Allah dengan “Al-Ashr”, disertai dengan alasannya menurut ahli tafsir.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Mengidolakan Artis?

Dalam era serba digital seperti saat ini, memudahkan kita untuk mengakses internet dan mencari informasi mengenai  seseorang. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai media sosial yang bisa menjadikan orang viral dan terkenal dalam waktu yang singkat. Akibatnya, muncul dari dalam diri seseorang sosok idola dalam hidupnya baik itu artis, tokoh masyarakat, ulama, dan sebagainya. Lantas,  bolehkah mengidolakan artis dalam Islam?

Tak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dari setiap orang untuk memiliki idola. Entah itu sebagai motivasi hidup atau hanya dijadikan hiburan ketika stres melanda. 

Pada dasarnya, boleh saja bagi seseorang untuk mengidolakan sesuatu baik itu artis, tokoh masyarakat, ulama, dan lain sebagainya. Tetapi, dalam mengidolakan sesuatu selayaknya dilakukan secara wajar dan tidak dilakukan secara berlebihan. Hal ini sebagaimana dalam sabda nabi Muhammad SAW berikut, 

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ـ ﺃُﺭَاﻩُ ﺭَﻓَﻌَﻪُ ـ ﻗَﺎﻝَ احبب حبيبك هوناما، عسى ان يكون بغيضك يوماما وابغض بغيضك هوناما، عسى ان يكون حبيبك يوماما

Artinya : Cintailah kekasihmu sekedarnya, barangkali suatu ketika ia akan menjadi orang yang paling kamu benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekedarnya, barangkali suatu ketika ia akan menjadi kekasihmu. (H.R Tirmidzi, Bahaqi, dan Thabrani)

Orang-orang yang terlalu mencintai sesuatu, bisa saja dijadikan buta olehnya. Apa yang dilakukan tokoh idolanya dijadikan panutan baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruknya. Tentunya perbuatan mengidolakan semacam ini yang dilarang dalam Islam.

Imam Ghazali mengingatkan seseorang yang mengidolakan artis untuk meneladani sifat baik artis tersebut, serta mengecam sisi buruknya. Hal ini sebagaimana dalam penjelasan beliau dalam kitab Ihya Ulumiddin, jilid II, halaman,184;

وان اجتمع في شخص خير وشر وجب ان يحب لأجل ذلك الخير ويبغض لأجل ذلك الشر

Artinya: “Apabila berkumpul suatu kebaikan dan keburukan pada diri seseorang, maka wajib menyukainya karena sisi kebaikannya, dan wajib membencinya dari sisi buruknya.” 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam mengidolakan sesuatu selayaknya dilakukan sewajarnya dan tidak dilakukan secara berlebihan. Hendaknya bagi seseorang yang mengidolakan artis untuk meneladani sifat baik artis tersebut dan menjauhi sifat buruknya.

Demikianlah penjelasan mengenai hukum mengidolakan artis. Semoga bermanfaat.  Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Pria Muslim Inggris Pilih Berjalan Kaki Menuju Makkah untuk Haji

Seorang pria Muslim asal Inggris, Adam Muhammed, berangkat untuk ziarah haji ke Makkah dengan berjalan kaki. Awal pekan ini ia telah sampai di Silivri, barat laut Turki.

Perjalanan tersebut ia beri nama ‘Peace Journey’. Beberapa pengemudi di jalan menunjukkan dukungan terhadap dirinya, yang kini ditemani anjing liar sejak bertemu di wilayah Serbia. 

Dilansir di Daily Sabah, Sabtu (29/1), warga negara Inggris keturunan Irak ini berangkat dari Inggris pada Agustus 2021. Perjalanan tersebut ia mulai dengan tujuan untuk memerangi semua kejahatan. Di ruas jalan raya D-100 Silivri, beberapa pengendara menunjukkan dukungan dengan mendorong gerobak PKL beroda tiga miliknya. 

Ditemani oleh temannya yang berbulu, Muhammed memiliki target mencapai Arab Saudi sebelum periode haji, dengan melewati Suriah dan kemudian Yordania 35 hari setelah melewati Turki. Muhammed disebut akan melakukan perjalanan ke Suriah melalui Istanbul, Izmit, Yalova, Bursa, Eskişehir, Burdur, Antalya, Mersin dan Hatay. 

“Saya adalah seorang keturunan Irak yang telah tinggal di Inggris selama 25 tahun. Saya memulai perjalanan saya pada 1 Agustus tahun lalu. Saya berharap saya akan tiba tepat waktu untuk ziarah berikutnya,” ujar dia. 

Ia menyebut ada suara kuat di dalam dirinya yang mengatakan jika ia bisa pergi ke Makkah dengan berjalan kaki jauh dari rumah. Ia merasa tidak bisa mengabaikan suara yang membara di dalam dirinya, seperti gunung berapi. 

Tak hanya itu, ia juga menyebut sangat mengagumi Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Ia mengatakan ingin bertemu dengannya ketika datang ke Istanbul, serta berharap ia akan menyediakan waktu untuknya. 

Muhammed menambahkan ia bersiap untuk perjalanan kaki ini selama dua bulan dan sejauh ini sebuah organisasi Inggris membantunya. 

Muhammed bukanlah orang pertama yang berjalan kaki ke Makkah dari Inggris. Seorang pria Inggris bernama Farid Feyadi juga melakukan perjalanan serupa dari London pada 2020, dengan tujuan menghilangkan prasangka kesalahpahaman di media Barat tentang Islam. 

Perjalanan pria yang berbakti ini telah menarik perhatian luas di Turki. Seorang warga lokal bernama Metin Ulukoç menyebut ia melihat cerita tentang Muhammed di internet dan kemudian memutuskan untuk menemani upayanya. 

Warga negara Turki lainnya bernama Mehmet Dikme juga menawarkan dukungan kepada Muhammed dalam perjalanannya di antara kota Tekirdağ dan Istanbul. 

Sumber: dailysabah  

IHRAM

Fatwa: Bagaimana Menjawab Pengingkar Azab Kubur

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Bagaimana kita menjawab orang yang mengingkari azab kubur dan berdalih (beralasan) bahwa kalau kita membongkar makam, akan didapati kondisi makam yang tidak berubah, tidak menjadi lebih sempit, dan tidak pula menjadi lebih luas?

Jawaban:

Kita jawab terhadap orang yang mengingkari azab kubur dengan dalih bahwa seandainya kita membongkar makam, maka kita dapati kondisi makam tidak berubah, tidak menjadi lebih sempit, dan tidak pula menjadi lebih luas, dengan beberapa jawaban berikut ini:

Pertama, azab kubur adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman tentang keluarga Fir’aun,

النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوّاً وَعَشِيّاً وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ

Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang. Dan pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Ghafir: 46)

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَلَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي أَسْمَعُ مِنْهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ فَقَالَ تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ قَالُوا نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

Andai kalian tidak berlarian, niscaya aku berdoa kepada Allah agar memperdengarkan azab kubur pada kalian seperti yang aku dengar.” Setelah itu, beliau menghadapkan wajah ke arah kami (para sahabat) lalu bersabda, “Berlindunglah diri kepada Allah dari azab neraka.” Mereka (para sahabat) berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari azab neraka.” Beliau bersabda, “Berlindunglah diri kepada Allah dari azab kubur.” Mereka berkata, “Kami berlindung diri kepada Allah dari azab kubur.” (HR. Muslim no. 2867)

Demikian pula, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan kondisi orang mukmin,

يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ

Dia (hamba mukmin itu) akan dilapangkan di dalam kuburnya.” (HR. Bukhari no. 1374 dan Muslim no. 2870)

Dan juga dalil-dalil lain (yang menunjukkan adanya azab kubur, pent.). Oleh karena itu, kita tidak boleh menentang dalil-dalil tersebut dengan sangkaan-sangkaan yang lemah, bahkan yang menjadi kewajiban kita adalah membenarkan dan taat.

Kedua, pada asalnya, azab kubur itu ditujukan kepada ruh, dan bukan merupakan perkara yang bisa dirasakan (diindera) oleh badan [1]. Seandainya azab kubur itu bisa diindera oleh badan, maka tidak perlu ada iman terhadap perkara yang gaib. Keimanan terhadap perkara yang gaib menjadi tidak berfaedah. Akan tetapi, azab kubur termasuk perkara gaib. Dan kondisi (alam) barzakh itu tidak bisa dianalogikan dengan alam dunia.

Ketiga, azab dan nikmat kubur, demikian pula lapang dan sempitnya alam kubur, hanyalah dirasakan oleh si mayit, bukan yang lain (orang yang masih hidup, pent.). Manusia terkadang bermimpi, padahal dia dalam kondisi tidur (berbaring) di kasurnya, bahwa dia berdiri, pergi, atau pulang, memukul, atau dipukul, atau bermimpi dia berada di tempat yang sempit atau yang sangat lapang (luas). Sedangkan orang di sekitarnya tidak melihat dan tidak pula merasakannya.

Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban kita terhadap semisal perkara ini adalah mengatakan, “Kami mendengar, kami taat, kami beriman, dan kami membenarkan.”

***

@Rumah Kasongan, 25 Jumadil akhirah 1443/ 28 Januari 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dengan kata lain, dampak (akibat) dari azab kubur itu tidak bisa dilihat pada badan si mayit.

[2] Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 129-130, pertanyaan no. 54.

Sumber: https://muslim.or.id/72074-bagaimana-menjawab-pengingkar-azab-kubur.html

Faktor Internal Perusak Iman (Bag. 2)

Berikut akan dilanjutkan pembahasan mengenai faktor-faktor internal yang bisa merusak iman seseorang:

Faktor Keempat:  Lupa

Faktor internal yang keempat adalah [النسيان] yang artinya lupa. Jika seorang hamba lupa megenai apa yang diperintahkan kepadanya, maka imannya pun akan menjadi lemah. Lupa ada dua bentuk:

(1). Lupa yang tidak akan diampuni, yaitu lupa yang disebabkan karena sengaja. Contoh bentuk ini adalah apa yang Allah firmankan,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.“ (QS. Al-Hasyr: 19).

Inilah yang akan merusak iman, yaitu sengaja melupakan Allah dan berpaling dari-Nya.

(2). Lupa yang dimaafkan, yaitu lupa yang tidak disengaja. Contoh bentuk ini adalah seperti firman Allah,

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah : 286)

Diterangkan dalam sebuah hadis bahwa Allah berfirman sebagai jawaban ayat ini,

قد فعلت

Sudah Aku lakukan (kabulkan). “ (HR. Muslim)

Faktor Kelima: Perbuatan Maksiat dan Dosa

Sebagaimana iman akan bertambah dengan ketaatan, maka iman pun akan berkurang dengan maksiat. Maksiat beragam bentuknya. Nabi telah menjelaskan secara global maupun terperinci, dan telah menjelaskan ada dosa besar dan dosa kecil dengan penjelasan yang gamblang. Oleh karena itu, setiap hamba harus mengetahui dampak maksiat serta dampak bahaya dan kerusakannya sehingga dia bisa menghindarinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)

Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar-ran” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.“ (HR. Tirmidzi)

Faktor Keenam: Nafsu yang Mengajak Kepada Keburukan

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.“ (QS. Yusuf: 53)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dalam khotbah beliau dari keburukan nafsu yang ada pada jiwa. Beliau bersabda,

الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kami dan kejelekan amal perbuatan kami.

Di awal khotbah beliau berlindung dari keburukan nafsu dan amal yang jelek.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah megajarkan doa kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu agar membacanya setiap pagi dan sore serta sebelum tidur. Nabi bersabda, “Ucapkanlah,

اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ

Ya Allah, Yang Mahamengetahui yang gaib dan yang nyata, Pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah, kecuali Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku, setan, dan bala tentaranya, serta  godaan untuk berbuat syirik pada Allah.

Nabi memerintahkan di pagi dan sore serta ketika hendak tidur untuk berlindung dari keburukan nafsu. Karena nafsu yang ada pada jiwa memerintahkan untuk melakukan kejelekan, kerusakan, dan perbuatan maksiat, mengajak kepada perkara yang membinasakan, serta akan  mencari hal-hal yang jelek. Nafsu manusia secara naluri akan berjalan dalam hal-hal  yang menyelisihi dan menyimpang.

Demikianlah enam faktor-faktor internal yang berasal dari dalam diri manusia yang merupakan perkara-perkara yang bisa merusak iman. Semoga Allah menjaga diri kita dan menjauhkan kita dari segala hal yang bisa merusak iman kita. [Selesai]

Penulis: Adika Mianoki

Artikel: www.muslim.or.id

Referensi : Tajdiidul Iman  karya Syekh Prof. Dr. Abdurrozzaq bin Abdil Mushin Al-Badr hafidzahullah

Sumber: https://muslim.or.id/72066-faktor-internal-perusak-iman-bag-2.html

Amal Terbaik

Zikir juga membantu menenangkan kondisi kejiwaan orang yang mengamalkannya.

Diriwayatkan dari Abu Darda’ RA bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Maukah aku beri tahu kalian tentang amal terbaik, paling suci menurut Tuhan kalian, paling tinggi di antara amal kalian, lebih baik dari menginfakkan emas atau perak, dan lebih baik dari momen kalian bertemu musuh kemudian kalian memukul leher mereka dan mereka memukul leher kalian (saling membunuh)?” Mereka menjawab, “Iya, wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Zikir (mengingat) Allah.” (HR Tirmidzi dan Imam Ahmad).

Hadis ini menegaskan betapa tingginya kedudukan zikir di sisi Allah, sehingga menjadikannya sebagai ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar, bahkan bisa disandingkan dengan ibadah-ibadah lain yang membutuhkan pengorbanan besar pula. Hal ini tidak lepas dari betapa besar nilai zikir di sisi Allah. Sebab, dengan zikir seseorang bisa selalu merasa membersamai dan dibersamai oleh Allah.

Selain itu, zikir juga membantu menenangkan kondisi kejiwaan orang yang mengamalkannya. Allah berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS al Ra’du [43]: 28).

Orang yang mengingat Allah akan menjadi tenang batinnya karena yang ia ingat adalah Dzat Yang Maha Segalanya. Ketika orang yang mengingat Allah butuh sandaran, Allah merupakan sandaran yang paling kuat.

Ketika orang yang mengingat-Nya membutuhkan sesuatu, maka Allah merupakan Dzat Yang Maha Pemurah, ketika orang yang mengingat Allah butuh perlindungan, maka Allah merupakan Dzat Yang Mahakuat. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali daya dan kekuatan Allah Yang Mahaagung.

Khasiat lain dari zikir adalah bisa mengusir setan dari diri kita. Ketika hati seseorang diisi dengan zikir kepada Allah, setan tidak akan berani dan tidak akan betah tinggal di dalamnya. Sehingga, ia pun tidak akan mudah digoda oleh setan, apalagi sampai mengikuti langkah-langkahnya.

Sejalan dengan itu, bacaan zikir pun bisa menghapus dosa, meskipun dosa itu sangat banyak. Rasulullan bersabda, “Barang siapa membaca subhanallah wa bihamdihi sebanyak seratus kali dalam satu hari, maka seluruh dosanya akan dihapus, walau sebanyak buih di lautan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Oleh karena tinggi dan banyaknya nilai (pahala) zikir di sisi Allah, maka sudah sepantasnya jika zikir menjadi kebiasaan kita dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, ibadah zikir ini bisa kita lakukan kapan saja, di mana saja dan dalam kondisi apa saja.

Allah berfirman, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Di samping juga, zikir merupakan tameng (penghalang) antara seseorang dengan keburukan (azab). Semakin sering seseorang berzikir, akan makin tebal dinding pemisah antara keduanya. Sehingga, hanya keselamatan dan kebaikanlah yang menjadi kebiasaan sehari-harinya.

Wallahu a’lam.

OLEH ABDUL SYUKKUR

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Jika Sedang Makan Tidak Wajib Menjawab Salam?

Di media sosial, pernah ada seorang ustadz yang menjelaskan bahwa jika kita sedang makan dan ada orang lain yang mengucapkan salam, maka kita tidak wajib menjawab salam tersebut. Ini karena makan termasuk perbuatan yang menyebabkan menjawab salam menjadi gugur. Namun benarkah jika kita sedang makan, maka kita tidak wajib menjawab salam?

Menurut para ulama, terdapat kondisi tertentu yang tidak dianjurkan mengucapkan salam pada orang lain. Di antaranya mengucapkan salam pada orang yang sedang sibuk shalat, adzan, buang hajat, sedang berdoa, juga mengucapkan salam pada orang yang sedang mengunyah makanan atau sedang sibuk makan.

Mengucapkan salam pada mereka yang sedang sibuk shalat, dan lainnya, termasuk sedang sibuk makan, hukumnya adalah makruh.

Meskipun demikian, jika orang yang sedang sibuk makan, sedang sibuk membaca Al-Quran, dan lainnya, mendapatkan salam dari orang lain, maka para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menjawab salam tersebut. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, menjawab salam tersebut hukumnya sunnah, sementara sebagian ulama Hanafiyah yang lain mengatakan wajib. 

Sementara menurut ulama Syafi’iyah, menjawab salam itu hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, jika kita sedang sibuk makan kemudian ada orang lain mengucapkan salam, maka menurut sebagian ulama Hanafiyah kita sunnah menjawab salam tersebut.

Pada sisi lain, menurut ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah yang lain, kita tetap wajib menjawab salam tersebut.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

ومع كراهة السلام على من كان مشتغلاً بالأذان أو الإقامة أو الدعاء أو تلاوة القرآن أو التلبية، أو أثناء درس التعليم وخطبة الجمعة فقد اختلف الفقهاء في الرد عليه:  فذهب السادة الأحناف إلى عدم وجوب الرد، وقال بعضهم بوجوبه، والقاعدة عندهم: كل محل لا يُشرع فيه السلام لا يجب رده أما الشافعية فذهبوا إلى وجوب الرد عليه، كما قال الإمام الرملي رحمه الله: ولو سلم داخل على مستمع الخطبة والخطيب يخطب وجب عليه الرد وإن كان السلام مكروهاً

Meskipun makruh mengucapkan salam pada orang yang sedang sibuk adzan, iqamah, berdoa, membaca Al-Quran, bertalbiah, sedang belajar, sedang khutbah Jumat, namun para ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum menjawab salam tersebut.

Menurut ulama Hanafiyah tidak wajib menjawabnya, sementara menurut sebagian ulama Hanafiyah yang lain wajib menjawabnya. Ini sesuai kaidah mereka; Setiap kondisi yang tidak dianjurkan mengucapkan salam, maka tidak wajib menjawab salam tersebut.

Sementara ulama Syafi’iyah berpendapat mengenai kewajiban menjawab salam tersebut. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ramli; Jika seseorang mengucapkan salam pada orang yang sedang mendengarkan khutbah pada saat khatib menyampaikan khutbah, maka wajib menjawab salam tersebut meskipun mengucapkan salam dalam keadaan tersebut adalah makruh. 

BINCANG SYARIAH

Saudi: Tidak Ada Perpanjangan Visa Umrah Jamaah Luar Negeri

Pihak berwenang Saudi telah memutuskan tidak akan memperpanjang visa umrah yang dikeluarkan untuk Muslim di luar negeri. Mereka mengatakan izin tersebut berlaku untuk tinggal 30 hari di Kerajaan.

Kementerian Haji dan Umrah menyebut, visa Umrah memungkinkan pemegangnya bebas berpindah antara kota suci Makkah dan Madinah, serta semua kota lainnya di Saudi selama masa berlakunya masih bekerja. 

Dilansir di Gulf News, Sabtu (29/1), peziarah luar negeri diharuskan mendaftarkan vaksinasi Covid-19 mereka di platform Qoddum sebelum tiba di kerajaan. Pendaftaran juga harus dilakukan melalui aplikasi ponsel pintar “Tawakkalna” dan “Eatmarna” setelah kedatangan. 

Setelah memperbarui status kesehatan di Tawakkalna, para peziarah diizinkan untuk memesan izin melalui kedua aplikasi, untuk melakukan ritual umrah di Masjidil Haram di Makkah dan kunjungan ke Masjid Nabawi di Madinah. 

Arab Saudi baru-baru ini membatasi pengulangan umrah dengan jeda 10 hari untuk Muslim di luar negeri, karena Kerajaan tersebut sedang mengalami lonjakan infeksi Covid-19. Muslim dari luar negeri, yang datang ke Arab Saudi untuk melakukan umrah, harus berusia 12 tahun ke atas.

Mereka juga diwajibkan menunjukkan status imunisasi di aplikasi kesehatan Tawakkalna. 

Berdasarkan interval 10 hari untuk mengulangi umrah, umat Islam di luar negeri dapat melakukan ritual paling banyak tiga kali selama 30 hari mereka tinggal. 

Awal bulan ini, kementerian mengaitkan keputusannya membatasi pengulangan umrah dengan tindakan pencegahan terhadap Covid-19, yang baru-baru ini diterapkan kembali di dua masjid suci di Makkah dan Madinah. 

Pada Oktober 2020, Arab Saudi memulai kembali umrah setelah sekitar tujuh bulan ditangguhkan karena pandemi global. 

Bulan lalu, Arab Saudi menerapkan kembali pemakaian masker dan menjaga jarak sosial di dalam maupun luar ruangan, di tengah peningkatan infeksi Covid-19. 

IHRAM

Para Tahanan Palestina Kedinginan, Israel Tak Peduli

Tahanan-tahanan Palestina di penjara-penjara Israel menderita kedinginan karena kurangnya pemanas serta larangan masuknya sumbangan pakaian musim dingin oleh otoritas, kata badan resmi Palestina pada Kamis (27/1).

“Semua tahanan menderita kekurangan pakaian dan selimut serta kurangnya alat pemanas yang dapat melindungi mereka dari cuaca dingin,” kata Komisi Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan Palestina yang dikelola Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Anadolu Agency.

Pernyataan itu menambahkan, otoritas Israel juga menghalangi dan membatasi masuknya pakaian dan selimut cuaca dingin ke para tahanan.

Komisi itu menambahkan, tindakan tidak manusiawi Israel adalah bagian dari upaya sistematis untuk mengikis tekad dan ketahanan para tahanan Palestina.

Pernyataan itu menuntut agar kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional campur tangan untuk membantu para tahanan Palestina.

Hingga Desember lalu, LSM Palestina memperkirakan ada sekitar 4.600 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, dengan sedikitnya 600 sakit serta 160 remaja dan 34 tahanan wanita. (T/RE1/RI-1)

Artikel ini telah tayang di Minanews.net dengan judul Para Tahanan Palestina Kedinginan, Israel Tak Peduli, Klik link berikut untuk baca selengkapnya: https://minanews.net/para-tahanan-palestina-kedinginan-israel-tak-peduli

Kantor Berita MINA – Damai di Palestina, Damai di Dunia