Pribadi Pemaaf

Energi kemarahan ibarat api yang bisa menyulut api permusuhan. Tak hanya itu, kemarahan yang bersumber dari perdebatan juga dapat merusak jalinan silaturahim.

Tak jarang, setelah seseorang mengekspresikan kemarahan, maka kesadaran pun datang. Dan, banyak yang menyesali kemarahan setelah tahu bahwa dampak dari kemarahan begitu fatal.

Marah bukanlah sikap yang dapat menyelesaikan masalah. Bahkan bisa jadi, amarah justru akan membuat permasalahan bertambah rumit.

Menjadi pribadi yang mudah menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain sangat tidak mudah. Namun, justru hal itu merupakan buah dari keimanan dan ketaqwaan yang sangat dicintai Allah SWT.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS ali Imran: 133-134).

Alquran secara tegas dan terang-terangan menjalin kriteria calon penghuni surga dengan mensyaratkan umat Islam untuk menahan amarah dan memaafkan. Ini merupakan penegas bahwa menahan amarah hanya dapat dilakukan apabila ada kesiapan hati untuk memaafkan.

Demikian juga sebaliknya, seseorang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain akan menjadi penyebab dirinya tak mudah melampiaskan amarah. Pribadi yang menahan amarah dan memaafkan telah dijanjikan surga. Mereka tak hanya disukai oleh Allah SWT dan sesama manusia, namun juga malaikat-Nya.

Dalam sebuah kisah bersama Abu Bakar RA, Rasulullah SAW memberikan nasihat elegan dan pesan yang istimewa agar seseorang yang dicaci atau disakiti hatinya tak perlu membalas dengan perbuatan (kotor) yang sama. Bersikap diam, tenang, dan tidak membalas keburukan jauh lebih suci dibanding mengumbar kemarahan.

Suatu ketika, Abu Bakar duduk bersama Rasulullah SAW dan mendapat cacian dalam waktu yang lama. Setelah sekian lama mencaci dan tidak kunjung berhenti, Abu Bakar pun membalas caciannya. Rasulullah SAW marah, lalu berdiri.

Abu Bakar menyusulnya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, dia mencaciku, padahal engkau duduk (bersamaku). Ketika aku membalas beberapa caciannya, engkau malah marah dan meninggalkanku.”

”Mendengar pertanyaan sahabatnya, Rasulullah SAW memberikan nasihat bahwa ketika Abu Bakar diam, maka ada malaikat yang telah membalaskan cacian untuknya. Sebaliknya, ketika cacian itu dibalas, maka datanglah setan.”

Kisah ini memberikan inspirasi berharga. Betapa menahan amarahakan mendatangkan kebaikan. Beriringan dengan itu, sikap memaafkan pun harus dibangun. Memang sulit. Tetapi, bukankah kita mendamba ampunan-Nya?

Semoga kita termasuk dalam kategori hamba yang mendapatkan ampunan dari Tuhan dan dijanjikan surga. Semoga puasa di bulan Ramadhan kali ini menjadi ajang penempaan diri untuk lebih pandai dalam menahan amarah dan memaafkan. Pada muaranya, ibadah kita akan disambut dengan ampunan dan ridha-Nya. Semoga.

 

Oleh: Nurul Lathiffah

sumber: Republika Online