Akhlak Nabi Terhadap Non Muslim

JIKA ada ajaran yang manivestasi seluruh konsepnya telah diteladankan, itulah Islam. Dengan kata lain, menjadi Muslim tidak perlu repot-repot kesana-kemari, cukup lihat sosok Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam dari berbagai sisi kehidupannya, maka sungguh Islam telah ditegakkan.

Pernah suatu waktu seseorang bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu Anha perihal bagaimana Nabi dalam kesehariannya, Aisyah pun menjawab: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlak beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah Al-Qur’an”
Kemudian Aisyah Radhiyallahu ‘anha membacakan ayat.

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS: Al-Qalam [73]: 4).

Pada ayat lainnya, Allah juga menjelaskan perihal akhlak Nabi.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahnat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Dengan demikian teranglah bagi umat Islam bahwa untuk menjadi Muslim yang benar, akhlak Nabi mesti menjadi panduan dalam berperilaku sehari-hari. Lantas bagaimanakah akhlak Nabi terhadap non Muslim?

Pertama, menolong non Muslim yang lemah

Adalah termasuk kisah yang amat masyhur, bahwa Nabi adalah yang paling perhatian terhadap kondisi pengemis tua dari bangsa Yahudi yang menetap di salah satu sudut pasar di Madinah.

Setiap hari, Nabi datang menyuapi pengemis tersebut, yang selain faktor usia, ia juga sudah tidak bisa melihat (tunanetra). Dan, setiap Nabi datang menyuapi, pengemis Yahudi itu selalu menyebut-nyebut Muhammad sebagai orang yang jahat, mesti dijauhi dan sebagainya.

Hingga pada akhirnya, Yahudi tua itu terkejut, ketika tangan yang biasa menyuapinya selama ini berbeda pada suatu hari. Ya, tangan itu adalah tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang senantiasa ingin mengikuti Nabi dalam segala hal.

Saat itulah, Yahudi mendapatkan berita bahwa tangan yang selama ini menyuapinya telah tiada, dan tangan itu adalah tangan Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.

Kedua, tidak membalas kejahilannya

Ketika masih di Makkah, setiap hendak ke Ka’bah, dalam perjalannanya, Nabi selalu mendapat perlakuan jahil (buruk) dari seorang Yahudi yang itu dilakukan hampir setiap kali Nabi melintas.

Terhadap perlakuan buruk itu, Nabi tidak membalas, beliau tetap tidak menghiraukannya. Hingga tiba suatu hari, dimana mestinya beliau mendapat perlakuan buruk (diludahi seorang Yahudi) ternyata saat itu tidak. Bukannya senang, Nabi pun mencari tahu kemana gerangan si Yahudi.

Setelah mendapat kabar bahwa Yahudi sakit, Nabi pun menjenguknya. Dan, luar biasa kaget si Yahudi, bahwa Nabi Muhammad, orang yang selama ini diperlakukan buruk, justru menjadi yang pertama menjenguknya kala ia sakit.

Ketiga, memberikan perlindungan dan pemahaman Islam jika meminta

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi untuk memberikan perlindungan kepada orang kafir yang meminta perlindungan kepada beliau.

وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS: At-Taubah [9]: 6).
Memaparkan ayat tersebut Ibn Katsir menulis bahwa ayat tersebut menjadi acuan Nabi dalam memperlakukan orang kafir atau musyrik yang ingin mendapatkan perlindungan, entah statusnya sebagai orang yang ingin bertanya ataupun sebagai utusan dari orang-orang kafir.

Hal itulah yang dilakukan serombongan kafir Quraisy yang terdiri dari ‘Urwah bin Mas’ud, Mukriz bin Hafsh, Suhail bin ‘Amr dan lain-lain. Satu persatu dari orang-orang musyrik itu menghadap Nabi memaparkan permasalahannya, sehingga mereka mengetahui bagaimana kaum Muslimin mengagungkan Nabi.

“Sebuah pemandangan mengagumkan yang tidak mereka jumpai pada diri raja-raja di masa itu. Mereka pulang kepada kaumnya dengan membawa berita tersebut. Peristiwa ini dan peristiwa semisalnya merupakan faktor terbesar masuknya sebagian besar mereka ke dalam agama Islam,” tulis Ibn Katsir.

Dan, seperti terdorongnya orang kafir masuk Islam tersebut, begitulah yang terjadi pada kategori pertama dan kedua dalam bahasan akhlak Nabi terhadap orang kafir. Akhlak Nabi adalah dakwah sejati, yang penerapannya bisa menggugah hati mendapat hidayah Ilahi.

Nabi bersabda, “Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari Kiamat melebihi akhlak baik. Sesungguhnya, Allah membenci perkataan keji lagi jorok.” (HR. Tirmidzi).

Dengan demikian, tenang dan santunlah kepada siapapun, termasuk kepada orang kafir. Kecuali orang kafir yang sudah mengancam jiwa dan bermaksud buruk terhadap agama kita, maka bersikap tegas terhadapnya adalah respon yang paling tepat untuk diberikan. Wallahu a’lam.*

 

sumber: Hidayatullah