Allah Selalu Memberiku yang Terbaik

Allah Selalu Memberiku yang Terbaik

Sebagian orang berpendapat, anak yang berpindah-pindah sekolah di masa pendidikan dasar atau menengah akan mengalami kesulitan dalam  pendidikan selanjutnya.

Setidaknya itulah asumsi orang-orang di sekitarku melihat “sepak terjang” pendidikanku selama ini.

Sekolah Dasar (SD) kujalani di empat sekolah berbeda.  Sekolah Menengah Pertama (SMP) dua kali pindah sekolah. Pun jenjang selanjutnya, Sekolah Menengah Atas (SMA) itu kutamatkan melewati tiga tempat.

Uniknya, semua kujalani tanpa kendala yang berarti. Alasan pindahpun berbeda-beda. Mulai dari ikut orangtua yang pindah tugas dan tempat tinggal hingga kemauan orangtua yang memintaku pindah sekolah.

Namun di balik itu, satu hal yang kuyakini, semua perpindahan itu adalah jawaban dari Allah untuk doa-doaku selama ini yang hanya memohon yang terbaik di sisi-Nya.

Dalam kondisi apapun, aku hanya berusaha meyakini, bahwa itulah yang terbaik menurut Allah yang diberikan kepadaku.

Meski di satu sisi tantangan dan cobaan itu selalu ada membersamai perjalananku menuntut ilmu. Di Pare, Kediri misalnya.

Sungguh tak mudah bagiku berinteraksi dengan lingkungan “luar”. Sedang bertahun-tahun aku hanya menghabiskan waktu di dalam pondok pesantren.

Seorang santri yang terbiasa dengan perintah dan larangan dengan pergaulan yang dibatasi, tiba-tiba menetap di sebuah lingkungan yang bisa dikata “bebas” dari segala aturan sistem yang mengikat.

Belum lagi mengelola waktu sendiri tanpa perlu diatur oleh aturan asrama. Kondisi tersebut bisa dibilang bertambah rumit dengan adanya orang-orang yang masih saja mempersoalkan pakaian dan hijab yang kukenakan selama ini.

Bersama kesulitan ada kemudahan. Demikian prinsip agama mengajarkan.  Di sanalah, di Kampung Inggris tersebut aku mendapat sejumlah pelajaran hidup yang tak ada secara teori di buku-buku pelajaran.

Menuntut ilmu di lingkungan yang bisa memacu segala potensi diri adalah satu hal yang selalu kumimpikan.

Meski sejatinya hal itu berpulang kepada orang itu sendiri. Apakah ia bersungguh-sungguh belajar atau tidak. Ibarat mutiara yang terpendam, ia akan terus memancarkan kemilau meski ditaruh di lingkungan manapun.

Tapi setidaknya keinginan itu pernah terpatri dalam diri. Untuk merasakan sensasi belajar yang penuh keseriusan, kompetisi tinggi, dan optimalisasi waktu secara baik di dalam dan luar kelas.

Memasuki jenjang perguruan tinggi, status mahasiswa tak membuatku lupa untuk terus berdoa memohon yang terbaik kepada Allah.

Entah kenapa, sambil menjalani kuliah di sebuah sekolah tinggi Islam di kota Balikpapan, Kalimantan Timur, doaku tak henti untuk memberi yang terbaik padaku.

Meski aku sendiri tak tahu pasti apa bentuk yang terbaik itu. Sebab aku hanya meyakini, yang kujalani itulah yang terbaik yang diberikan oleh Allah.

Kini seiring waktu, rupanya takdir berpindah tempat belajar itu kembali menghinggapi nasibku.

Kembali aku ditakdirkan pindah. Dari Balikpapan menuju ibukota Jakarta, tepatnya menuntut ilmu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) Jakarta.

Sebelumnya aku dan bersama beberapa kawanku dinyatakan lulus seleksi program Diploma Pendidikan selama setahun di LIPIA.

Kini, aku rasanya jadi malu dan tak “berani” meminta lagi. Bisa dikata, nyaris setiap yang kumimpikan dikabulkan oleh Allah.

Sedang di saat yang sama, akupun sangat menyadari, betapa aku masih sangat lalai terhadap kewajiban dan amanah yang dititipkan padaku.

Dalam hening malam, aku hanya bisa merinding. Merapal ayat-ayat suci Allah usai sujudku kepada-Nya.

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman [55]: 13).*/Musyarrafah, mahasiswi LIPIA Jakarta

HIDAYATULLAH