Amanah Menjadi Pemimpin

Menyadari betapa berat amanah kepemimpinan, maka idealnya setiap keluarga Muslim berlomba-lomba menyiapkan pemimpin, yakni dengan mendidik anak-anak kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah.

DALAM Islam, menjadi pemimpin berarti mengemban amanah, jelas amanah di sini bukan perkara mudah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ amat teliti di dalam mendistribusikan amanah kepemimpinan ini. Sebab, menjadi pemimpin tak cukup hanya bekal ilmu tapi juga sangat butuh integritas, kekuatan mental, dan tentu saja, kesiapan berhadapan dengan resiko.

Tidak heran kala di masa Nabi Muhammad ﷺ orang tidak bernafsu menjadi pemimpin atau pejabat, salah-salah bisa sengsara di dunia juga di akhirat.

Pernah suatu waktu Abu Dzar menemui Nabi ﷺ dan menyampaikan hajatnya atas sebuah kepemimpinan. Nabi ﷺ memberikan jawaban tegas.

Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi ﷺ berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).

Kata “amanah” berasal dari kata “amuna” artinya tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Segala sesuatu yang dipercayakan kepada mansuia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah SWT.

Tidak heran jika di dalam sejarah kepemimpinan para sahabat Nabi ﷺ Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab tidak saja tegas dan adil, tetapi sangat sungguh-sungguh menegakkan keadilan dan menjaga diri dari kemewahan.

Pernah suatu waktu, kala umat Islam berhasil menaklukkan Kerajaan Persia dan kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah dari istana Raja Kisra, Umat bin Khathab justru menangis. Ia sama sekali tidak bangga.

Ternyata itu karena Umar sangat khawatir harta benda itu akan memalingkan cintanya kepada Allah. Bahkan, capaian kemenangan demi kemenangan itu bagi Umar sama sekali bukan prestasi, sebab baginya, kalau Allah berkehendak, itu bisa saja terjadi di masa Nabi ﷺ dan Abu Bakar. Namung mengapa semua kemenangan itu justru terjadi di masanya. Demikianlah pemimpin sejati.

Umar juga rela di malam gulita memilih berjalan, memanggul sekarung gandum untuk membantu seorang ibu yang tidak punya makanan sedangkan anak-anaknya menangis karena lapar. Saat hendak dibantu oleh ajudannya, Aslam, Umar menolak. “Apakah kamu akan memikul bebanku di akhirat?”

Di sini dapat kita pahami dengan mudah bahwa pemimpin yang baik, amanah, dan pasti membela rakyat hanyalah pemimpin yang ingat akan akhirat. Sebaliknya, pemimpin yang tidak punya ilmu dan tidak punya visi akhirat, sudah jelas dia akan menjadi “mainan” banyak kepentingan. Sebab memang tidak mungkin amanah. Dan, tidak bisa amanah berarti adalah mudah diperalat oleh beragam kepentingan.

Oleh karena itu Nabi ﷺ memperingatkan Abu Dzar bahwa jika seseorang gagal amanah di dalam memimpin, maka ia akan mengalami kehinaan di dunia lebih-lebih di akhirat. Ini karena menjadi pemimpin berarti mendapatkan kepercayaan mengurus banyak kebutuhan manusia. Jika tidak amanah, maka sama dengan seorang pedagang yang selalu tidak jujur dalam setiap transaskinya, siapa yang mau membeli dagagannya.

Menyiapkan Pemimpin

Menyadari betapa berat amanah kepemimpinan, maka idealnya setiap keluarga Muslim berlomba-lomba menyiapkan pemimpin, yakni dengan mendidik anak-anak kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah kemudian komitmen di dalam mengamalkannya. Jika tidak, berarti keberadaan pemimpin akan terus bergilir dari orang yang buruk kualitasnya, mulai dari iman, integritas, hingga keilmuan. Jika itu terus terjadi, maka kiamat akan terjadi.

Pernah suatu waktu, Rasulullah ﷺ sedang mengisi kajian dan menjelaskan perihal Hari Kiamat. Seorang Badui bertanya, “Kapan kiamat itu terjadi.”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.”

Rupanya, Badui ini tidak langsung memahami, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”

Beliau ﷺ menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.”

Menariknya DR. Mahir Ahmad dalam memberikan makna terhadap hadits tersebut sangat luas. Dalam bukunya Ensiklopedi Akhir Zaman ia menuliskan dengan sangat terang.

“Pemahaman dari amanah bukan hanya terbatas pada seseorang yang memberikan amanah kepada saya sampai waktu tertentu, lalu ketika ia kembali, maka saya berikan amanah tersebut kepadanya. Tapi amanah itu berarti segala sesuatu. Harta yang ada di tangan kita adalah amanah, tubuh kita ialah amanah, ilmu kita adalah amanah, kepemimpinan ialah amanah, kekuasaan ialah amanah, istri dan anak-anak ialah amanah, rezeki ialah amanah dan keimanan juga amanah.”

Dalam kata yang lain, sejatinya setiap jiwa adalah pemimpin. Dikatakan demikian karena ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan. Jika ini disadari, maka tidak ada cara terbaik selain berlomba-lomba menjadi pribadi yang amanah. Dengan begitu, insya Allah kita telah berupaya menyiapkan pemimpin amanah di masa depan. Dalam konteks keluarga, berikanlah keteladanan, pembelajaran, dan bimbingan untuk anak-anak kita agar kelak mereka siap menjadi pemimpin yang amanah, baik skala rumah tangga, lebih-lebih skala negara bahkan dunia. Allahu a’lam.*

HIDAYATULLAH