Anak Terlahir dari Orang Tua Kafir, Apakah Uzurnya Diterima?

Lahir dari orang tua muslim adalah nikmat terbesar

Merupakan salah satu nikmat terbesar yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya adalah terlahir dari orang tua muslim sehingga secara otomatis ia pun menjadi seorang muslim. Lalu bagaimana dengan mereka yang terlahir dari orang tua non-muslim, baik itu Yahudi, Nasrani maupun agama selain Islam lainnya? Bisa jadi mungkin sebagian dari kita akan berpikir bahwa ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan Allah Ta’ala, waliyyadzubillah.

Perkataan semacam ini tidaklah benar. Tulisan pada artikel Tauhid, Fitrah Seluruh Manusia telah kita bahas bahwa semua anak yang terlahir ke dunia ini, sejatinya mereka terlahir dengan fitrahnya beragama Islam. Walaupun dia terlahir dari orang tua yang tidak memeluk agama Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

“Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah, maka bapak ibunyalah yang menjadikan dia Yahudi, atau menjadikan dia Nasrani, atau menjadikan dia Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah Engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658).

Allah Ta’ala dengan kasih sayang dan hikmah kepada semua makhluk-Nya, telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab sebagai jawaban atas argumen dan bantahan makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. An-Nisa’: 165).

Di dalam kitab Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir disebutkan, “Maksudnya adalah sebagai alasan untuk diajukan hujah, sebagaimana dalam firman-Nya,

ولو أنا أهلكناهم بعذاب من قبله لقالوا ربنا لولا ارسلت إلينا رسولا فنتبع آياتك

‘Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al-Qur’an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau’‘ (QS. Tahaa: 34).

Sehingga tidak ada alasan bagi seorang pun yang dapat diajukan kepada Allah Ta’ala setelah Dia mengutus para Rasul.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah, maka dari itu Dia mengharamkan perbuatan-perbuatan keji baik itu yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan tidak ada yang lebih menyukai pujian daripada Allah, maka dari itu Dia memuji diri-Nya. Dan tidak ada pula yang lebih suka untuk memberi alasan daripada Allah, maka dari itu Dia mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (HR. Bukhari no. 4634 dan Muslim no. 2760)

Allah itu Mahaadil

Allah Ta’ala tidak akan menyalahkan siapapun dan tidak akan menghukumnya kecuali setelah tegaknya hujah dan sampainya syariat kepadanya. Sebagaimana firman-Nya,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“Dan kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al-Isra’: 15).

Syekh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan,

“Allah adalah Dzat yang paling adil. (Allah) tidak akan mengazab seseorang sehingga hujah tegak atasnya melalui risalah. Kemudian orang itu (merespon dengan) menentangnya. Adapun orang yang tunduk dengan hujah atau belum sampai hujah Allah kepadanya, maka Allah tidak akan mengazabnya. Ayat ini dijadikan dalil bahwasanya Allah tidak akan mengazab ahlul fathrah (orang-orang yang hidup di masa transisi kenabian) dan anak-anak kaum musyrikin (yang meninggal sebelum dewasa), sampai Dia mengutus seorang rasul kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah itu suci dari segala bentuk tindak aniaya.”

Di dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. At-Taubah: 115).

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala menceritakan perihal diri-Nya Yang Mahamulia dan hukum­-Nya yang adil. Sesungguhnya Dia tidak akan menyesatkan suatu kaum, melainkan sesudah disampaikan kepada mereka risalah dari sisi-­Nya. Sehingga hujah telah ditegakkan atas mereka. Seperti yang di­sebutkan di dalam firman-Nya,

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَٰهُمْ فَٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْعَمَىٰ عَلَى ٱلْهُدَىٰ فَأَخَذَتْهُمْ صَٰعِقَةُ ٱلْعَذَابِ ٱلْهُونِ بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk. Akan tetapi, mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fushshilat: 17)

Oleh karena itu, orang yang belum sampai kepadanya dakwah Islam atau telah sampai kepadanya dakwah Islam namun belum mukallaf (siap menerima pembebanan suatu kewajiban), maka keduanya termasuk orang yang uzurnya diterima dan dimaafkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis,

“Ada empat jenis orang yang akan mengajukan banding pada hari kiamat nanti, yakni:

(1) orang tuli yang tak dapat mendengar sesuatu pun;

(2) orang dungu atau gila;

(3) orang tua renta lagi pikun; dan

(4) orang yang meninggal pada zaman fatrah.

Orang yang tuli berkata,’Ya Tuhanku, Islam datang namun aku tak mendengar sesuatu pun tentangnya.’

Orang yang dungu berkata,’Ya Tuhanku, Islam datang, namun anak-anak kecil melempariku dengan kotoran hewan.’

Orang tua renta lagi pikun berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh Islam telah datang, namun aku tidak mengerti/paham.’

Orang yang mati di zaman fatroh berkata, ‘Ya Tuhan, Rasul-Mu tidak mendatangiku.’

Lalu diambillah perjanjian dengan mereka untuk diuji. Kemudian akan diutus seorang utusan (Rasul) kepada mereka yang memerintahkan untuk memasuki api. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya mereka masuk ke dalam api tersebut, niscaya mereka akan merasakan dingin dan selamat (dari azab).” (HR. Ahmad dan Thabrani. Ibnul Qoyim menyatakan sanadnya sahih bersambung, dan disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 1434)

Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga bersabda,

والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini, baik Yahudi dan Nasrani, mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 218)

An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Dari pemahaman hadis ini, menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak sampai kepadanya dakwah Islam, maka ia diberikan uzur dan dimaafkan”

Adapun yang sudah mendengar tentang dakwah ini, namun tidak beriman dan tidak menghiraukan dakwah ini serta lebih memilih kesyirikan dan kekufuran, maka mereka tidak dimaafkan dan tidak diberikan uzur.

Bagaimana dengan anak yang terlahir dari orang tua non-muslim?

Mereka yang terlahir dari kedua orang tua muslim, ini jelas merupakan salah satu bentuk kenikmatan dan keutamaan yang telah Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya. Akan tetapi, bukan berarti mereka yang terlahir dari rahim non-muslim secara otomatis dimaafkan dan diterima uzurnya. Apalagi telah sampai kepadanya dakwah ini dan telah tegak kepadanya hujah Islam.

Faktanya, tidak ada satu hari pun berlalu kecuali ada seseorang di belahan dunia ini yang tidak dilahirkan dari orang tua muslim, namun pada akhirnya mendapatkan hidayah dan memeluk Islam. Dan di waktu yang sama, kita mendengar ada seseorang yang terlahir muslim, namun ia malah murtad dan memeluk agama orang-orang kafir. Oleh karena itu, perkara ini muaranya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقاً حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ

“Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125).

Sehingga ketika seseorang telah balig dan telah sampai kepadanya berita tentang agama Islam serta telah tegak hujah kepadanya, namun ia memilih tidak beriman, maka ia termasuk orang kafir yang akan diazab oleh Allah Ta’ala. Adapun para ulama berbeda pendapat tentang hukum mereka yang meninggal sebelum usia balig. Ada dua pendapat yang paling kuat.

Pertama, mereka diuji di hari kiamat. Sebagaimana yang akan didapatkan 4 orang yang disebutkan dalam hadis yang telah lalu. Bila mereka patuh, mereka akan dimasukkan ke dalam surga. Namun bila mereka tidak patuh, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka.

Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها

“Siapa (di antara orang-orang tersbut) yang memasuki neraka, maka neraka akan menjadi dingin dan tidak membahayakan. Namun siapa yang enggan masuk, maka akan dilemparkan ke neraka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi, dan disahihkan Al-Albani).

Kedua, mereka semua di surga. Berdasarkan kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi diajak seseorang melakukan perjalanan dan melihat beberapa hal gaib yang Allah Ta’ala tunjukkan. Beliau salah satunya melihat ada seseorang yang dikelilingi banyak anak kecil. Kemudian beliau bertanya tentang orang itu dan dijawab,

وَالشَّيْخُ فِى أَصْلِ الشَّجَرَةِ إِبْرَاهِيمُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – وَالصِّبْيَانُ حَوْلَهُ فَأَوْلاَدُ النَّاسِ

“Orang tua di bawah pohon adalah Ibrahim. Sedangkan anak-anak kecil yang ada di sekitarnya adalah anak-anak umat manusia (yang mati sebelum balig)” (HR. Bukhari no. 1386).

Yang dimaksud “anak-anak umat manusia” mencakup anak-anak kaum muslimin dan anak-anak orang kafir yang mati sebelum balig. Mereka semua belum mendapatkan beban syariat [1]. Wallahu A’lam bisshowaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72914-anak-terlahir-dari-orang-tua-kafir-apakah-uzurnya-diterima.html