Bagaimana Berinteraksi Dengan Non Muslim? (2)

Beberapa masalah dalam bab muamalah dengan non Muslim

1. Kaidah dalam menerima hadiah dari non muslim

Dalam keadaan tertentu, tertuntut kita untuk menolak hadiah non muslim, sebagaimana Fatwa Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah berikut ini:

“…para ulama memberikan kaidah dalam menerima hadiah dari orang kafir. Demikian juga halnya hadiah dari ahli maksiat dan orang yang menyimpang.

Yaitu, jika hadiah tersebut tidak berpotensi membahayakan bagi si penerima, dari segi Syar’i (agama), maka boleh. Namun jika hadiah itu diberikan tujuannya agar si penerima tidak mengatakan kebenaran, atau agar tidak melakukan suatu hal yang merupakan kebenaran, maka hadiah tersebut tidak boleh diterima. Demikian juga jika hadiah itu diberikan dengan tujuan agar masyarakat bisa menerima orang-orang kafir yang dikenal tipu daya dan makarnya, maka saat itu tidak boleh menerima hadiah. Intinya, jika dengan menerima hadiah tersebut akan menimbulkan sesuatu berupa penghinaan atau setidaknya ada tuntutan untuk menentang suatu bagian dari agama kita, atau membuat kita diam tidak mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah, atau membuat kita melakukan yang diharamkan oleh Allah, maka ketika itu hadiah tersebut tidak boleh diterima”.

(Baca selengkapnya di: https://muslim.or.id/11646-fatwa-ulama-hukum-menerima-hadiah-dari-non-muslim-di-hari-raya-mereka.html)

Dan berikut ini syarat-syarat menerima hadiah dari non muslim.

Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :

“Kesimpulannya adalah, dibolehkan bagi anda menerima hadiah dari tetangga anda yang Nashrani pada hari Id mereka, dengan syarat;

  1. Hadiah tersebut bukan berupa sembelihan yang disembelih karena hari raya mereka.
  2. Hadiah tersebut tidak untuk perkara yang menyerupai mereka pada hari raya mereka, seperti lilin, telor, pelepah dan semacamnya.
  3. Hendaknya hal tersebut diiringi dengan penjelasan tentang aqidah Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman serta memutuskan hubungan kepada orang kafir) kepada anak-anak anda, agar tidak tertanam dalam hati mereka cinta terhadap hari raya mereka atau hatinya terpaut dengan orang yang memberi.
  4. Tujuan menerima hadiah adalah untuk melunakkan hatinya dan mengajaknya masuk Islam, bukan sekedar basa basi, apalagi mencintai dan berkasih sayang kepadanya. ”.

(Baca selengkapnya di: https://Islamqa.info/id/85108).

2. Kaidah dalam memberi hadiah kepada non muslim

Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :

“Dibolehkan bagi seorang muslim untuk memberi hadiah bagi orang kafir dan musyrik dengan maksud untuk melunakkah hatinya dan menarik minatnya masuk Islam, khususnya jika dia merupakan kerabat atau tetangga. Umar radhiallahu anhu memberi hadiah baju kepada saudaranya yang masih musyrik semasa di Mekah (HR. Bukhari, no. 2619).

Namun jika hadianya merupakan sesuatu yang dimanfaatkan untuk merayakan Hari Raya mereka, seperti makanan, lilin dan semacamnya, maka hal itu merupakan perkara yang sangat besar keharamannya, bahkan sebagian ulama menganggap perbuatan tersebut sebagai kekufuran.

Bahkan tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah bagi muslim lainnya karena hari raya tersebut ”.

(Baca selengkapnya di: https://Islamqa.info/id/85108).

3. Tidak boleh mencintai dan kasih sayang kepada non muslim.

Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :

“Akan tetapi berbuat baik dan bersikap adil, tidak berarti mencintai dan berkasih sayang, karena mencintai dan berkasih sayang kepada orang kafir tidak dibolehkan, begitu pula hendaknya tidak menjadikannya sebagai kawan dekat, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa ridho/puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.  (QS. Al-Mujadilah: 22)”.

(Baca selengkapnya di: https://Islamqa.info/id/85108).

4. Hukum bersikap lembut terhadap non muslim

Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Al-Utsaimin, tentang Al-Wala` wal Bara` beliau ditanya: “Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang :  (bagaimana)  hukum bergaul dan berinteraksi dengan orang kafir, dengan sikap lembut dan halus, karena menginginkan keislaman mereka?”

Beliau menjawab:

Tidak diragukan bahwa seorang muslim wajib membenci musuh-musuh Allah dan berlepas diri dari mereka, karena ini adalah jalan yang ditempuh oleh para Rasul dan pengikut mereka.

Allah Ta’ala berfirman :

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada (Nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kalian dari daripada apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (agama) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Allah Ta’ala juga berfirman :

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ

“(22)Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan Wahyu dan pertolongan yang datang dari-Nya” (QS. Al-Mujaadilah: 22).

Berdasarkan hal ini, maka bagi seorang muslim, tidak boleh terdapat dalam hatinya rasa cinta dan kasih sayang terhadap musuh-musuh Allah yang -kenyataannya- mereka adalah musuh-musuh bagi seorang muslim (pula).

Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ                     

“(1) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian (bersegera) menyampaikan kepada mereka rasa kasih sayang (kalian), padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian” (QS. Al-Mumtahanah: 1).

Adapun seorang muslim yang berinteraksi dengan mereka, dengan sikap lembut dan halus karena menginginkan keislaman dan keimanan mereka, maka hal ini diperbolehkan.

Sebab, sikap ini termasuk jenis perlakuan halus (ta`liif) terhadap mereka agar mereka mau masuk Islam.

Akan tetapi, jika ia putus asa terhadap mereka, maka sikapilah mereka dengan sikap yang layak bagi mereka (sesuai dengan perbuatannya, pent.).

Dan hal ini telah disebutkan secara terperinci dalam kitab-kitab ulama, terlebih lagi kitab “Ahkam Ahlidz Dzimmah” karya Ibnul Qoyyim rahimahullah.

5. Hukum ikut serta bersama dengan non muslim di dalam merayakan hari raya mereka

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang: (bagaimana) hukum kaum muslimin ikut serta bersama dengan non muslim di dalam (merayakan) hari raya mereka?

Beliau menjawab:

“ (Hukum) ikut serta bersama dengan non muslim di dalam (merayakan) hari raya mereka adalah haram, karena mengandung tindakan menolong (mereka) dalam dosa dan pelanggaran, padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maaidah: 2).

Dan karena hari raya-hari raya (non muslim ini),

  1. Jika terkait dengan keagamaannya, maka keikutsertaan kaum muslimin di dalamnya mengandung konsekwensi pengakuan kaum muslimin terhadap ajaran agama (non muslim) ini dan ridho terhadap kekafiran mereka.
  2. Dan jika hari raya-hari raya tersebut terkait dengan perkara di luar keagamaannya (hanya adat non muslim, pent.), maka seandainya hari raya-hari raya tersebut (diselenggarakan) di tengah-tengah kaum muslimin saja, hal itu tidak (boleh) dilakukan (karena hari raya non muslim, pent.), maka bagaimana mungkin (boleh dirayakan), sedangkan hari raya-hari raya tersebut (diselenggarakan) di tengah-tengah orang-orang kafir?

Oleh karena itu, ulama menyatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh untuk ikut serta bersama dengan non muslimin di dalam (merayakan) hari raya mereka, karena hal itu berarti mengakui dan ridho terhadap agama batil tersebut dan juga berarti menolong (mereka) dalam dosa dan pelanggaran…..”.

6. Hukum profesi yang mengharuskan bekerja bersama dengan orang kafir

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum seorang (muslim) bekerja bersama dengan orang kafir, apakah nasehat Anda?

Beliau menjawab:

Kami nasehatkan kepada saudara (penanya) ini, yang ia bekerja bersama dengan orang-orang kafir, agar mencari pekerjaan yang tidak terdapat di dalamnya musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) diantara orang-orang yang beragama selain Islam.

Jika memang hal ini mudah (dilakukan), maka (pekerjaan) inilah yang selayaknya (dicari).

Namun, jika tidak mudah (dilakukannya), maka tidak mengapa  (seorang muslim bekerja bersama dengan orang-orang kafir), karena ia (bertanggungjawab & sibuk dengan) pekerjaannya sendiri, sedangkan mereka (bertanggungjawab & sibuk dengan) pekerjaan mereka sendiri (pula), namun dengan syarat tidak boleh ada dalam hatinya kasih sayang, cinta dan loyalitas (wala`) kepada mereka serta berpegangteguh dengan Syari’at (Islam) dalam aturan mengucapkan dan membalas salam kepada mereka dan yang semisalnya. Demikian pula, tidak boleh mengantarkan dan menghadiri jenazah mereka serta tidak boleh pula menghadiri (perayaan) hari raya mereka dan tidak boleh mengucapkan selamat hari raya (kepada mereka).

7. Hukum mendatangkan karyawan non muslim

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam kitab yang sama (fatwa no.399) ditanya tentang hukum mendatangkan para karyawan non muslim dan hukum menyajikan makanan untuk mereka?

Beliau -semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan- menjawab:

Kaum muslimin lebih baik dari orang-orang kafir, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

“(221) Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian” (QS. Al-Baqarah: 221).

Namun, tidak mengapa mendatangkan karyawan non muslim, jika memang dibutuhkan.

Adapun (hukum seorang muslim) menyajikan makanan untuk mereka,

  1. Jika dalam posisi melayani (sebagai pembantu rumah tangga, pent.), seperti ia melayani mereka di rumah-rumah mereka dan yang semisalnya, maka tidak selayaknya (hal itu dilakukan), bahkan para ulama Ahli Fiqih menyatakan makruhnya hal itu.
  2. Namun, jika bukan dalam posisi melayani, seperti Anda menyajikan makanan untuk mereka (sebagai tamu, pent.) di rumah Anda, maka boleh, karena memang ada kebutuhan untuk (melakukan) hal itu.
8. Bolehkah seorang muslim memanggil non muslim “Saudaraku!” atau “Temanku!

Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum ucapan “Saudaraku!” kepada non muslim? Demikian pula (hukum) panggilan “Teman dan kawan” (kepada non muslim)? Dan hukum tertawa ke orang-orang kafir dengan maksud untuk mendapatkan kasih sayang (mereka)?

Beliau menjawab:

Adapun (hukum) ucapan “Wahai, Saudaraku!”  kepada non muslim adalah haram. Ucapan ini tidak boleh diucapkan kecuali jika non muslim tersebut (benar-benar) saudaranya, baik (persaudaraan) disebabkan oleh nasab (keturunan) maupun persusuan.

Karena jika bukan saudara senasab dan bukan pula saudara sepersusuan, maka tinggal satu kemungkinan, (yaitu) saudara seagama. Sedangkan orang kafir bukanlah saudara seagama (seiman) bagi seorang muslim.

Dan ingatlah ucapan Nabiyyullah Ta’ala Nuh:

رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ

Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (QS. Huud: 45-46).

Adapun ucapan “teman dan kawan”  atau yang semisal keduanya,

  • Jika kata tersebut adalah (sekedar) ucapan sambil lalu, dengan maksud sekedar panggilan bagi orang yang tak diketahui namanya di antara mereka (non muslim), maka ini diperbolehkan.
  • Namun jika maksudnya adalah untuk berkasih-sayang dan mengakrabi mereka (non muslim), maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujaadilah: 22).

Maka (kesimpulannya):

Setiap kata-kata halus yang dimaksudkan untuk saling menyayangi, maka seorang mukmin tidak boleh menggunakannya ketika berbicara dengan non muslim, siapapun non muslim tersebut.

Demikian pula masalah tertawa ke mereka dengan maksud saling berkasih-sayang antara kita dengan mereka, maka tidak boleh, sebagaimana diketahui dari ayat yang mulia tersebut di atas.

9. Bolehkah seorang muslim menampakkan wajah ceria dan tertawa kepada non muslim?

Berikut ini penyusun akan ringkaskan fatwa dari Markaz Fatwa di website Islamweb.net, “Tidak mengapa (menampakkan) wajah ceria, tawa dan canda dengannya (non muslim) tanpa menampakkan ridha terhadap agama/kekufurannya. Hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana bolehnya berbicara dan berinteraksi dengannya. Imam Al-Bukhari telah membuat sebuah bab dalam shahihnya, beliau berkata:

 باب الانبساط إلى الناس

Bab: “Bersikap manis kepada manusia”.

Perkataan “An-Naas” disini mencakup orang muslim dan orang kafir”. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya bahwa seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliapun bersabda:

ائذنوا له، فبئس ابن العشيرة أو بئس أخو العشيرة

“Izinkanlah ia, ia adalah seburuk-buruk anak dalam keluarga atau seburuk-buruk saudara dalam keluarga “.

Namun, ketika ia masuk, beliaupun bermanis kata. Akupun bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan perkataanmu tadi, kemudian engkau bermanis kata kepadanya?” Beliau menjawab,

أي عائشة إن شر الناس منزلة عند الله من تركه أو وَدَعَه الناس اتقاء فحشه

“Wahai ‘Aisyah sesungguhnya manusia paling buruk kedudukannya  menurut Allah ialah orang yang dijauhi atau ditinggalkan oleh orang-orang karena mereka menghindari kekejiannya.”

Al-Bukhari berkata, “Pernah disebutkan dari Abud Dardaa` bahwa beliau berkata:

إنا لنكشر في وجوه أقوام ونضحك إليهم وإن قلوبنا تلعنهم

“Sesungguhnya kami tersenyum dan tertawa di hadapan sebagian orang, sedangkan hati kami melaknat mereka!

Syaikh Sulaiman bin Abdillah Al-Majid rahimahullah pernah ditanya tentang seorang muslim yang bercanda dengan orang-orang kafir, lalu beliaupun menjawab:

“Jika canda dan sikap tidak canggungmu kepada mereka, bukan karena cinta kepada kekafiran mereka dan bukan karena cinta kepada pribadi mereka secara mutlak, namun karena (ingin) mendakwahi mereka atau untuk basa-basi dalam berkomunikasi, maka sikap ini tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang tercela dalam aqidah Bara` (benci) terhadap orang-orang kafir”

[Diringkas dari : fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=183507]

10. Bolehkah seorang muslim mengucapkan “Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!” kepada non muslim?

Markaz Fatwa Islamweb.net, ketika ditanya bolehkah memulai mengucapkan “Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!” kepada nashara (orang-orang kristen), menjawab:

“Adapun memulai mengucapkan ucapan selain “Assalaamu’alaikum” kepada mereka, seperti ucapan “Selamat Pagi!”, “Selamat Datang!” dan ucapan yang semisalnya kepada mereka (nashara), maka hukum yang nampak (bagi kami) adalah boleh. Hal ini dikarenakan:

  1. Hadits-hadits (yang ada dalam masalah ini) hanyalah terkait dengan larangan memulai mengucapkan ucapan “Assalaamu’alaikum” kepada mereka dan tidak terkait dengan ucapan selamat yang lainnya.
  2. Di dalam (memulai) ucapan “Assalaamu’alaikum” (kepada mereka) terkandung bentuk pemuliaan dan penghormatan yang spesifik bagi mereka, yang tidak terdapat di dalam ucapan-ucapan selamat yang lainnya. Ibnul Qoyyim telah menyebutkan makna-makna agung yang terdapat dalam ucapan “Assalaamu’alaikum, seperti di dalamnya terdapat salah satu nama Allah Ta’ala dan syi’ar bagi kaum muslimin yang tersebar diantara mereka dan do’a keselamatan.

Kemudian beliau berkata,

فحقيق بتحية هذه شأنها أن تصان عن بذلها لغير أهل الإسلام، وألا يُحيَّا بها أعداء القدوس السلام.

Maka kalimat tahiyyah yang seperti ini keistimewaannya  (“Assalaamu’alaikum, pent.), sangatlah layak untuk dijaga dari diucapkan kepada non muslim dan (layak pula) musuh-musuh Al-Qudduus As-Salaam (musuh Allah, pent.) tidak dimuliakan dengan ucapan tahiyyah (yang istimewa) tersebut ”.

Namun, sikap yang lebih utama adalah meninggalkan memulai mengucapkan ucapan selamat (tahiyyah) kepada mereka, bagaimanapun juga bentuk ucapan tahiyyah tersebut, kecuali

  1. Jika di dalam memulai mengucapkan ucapan selamat (selain ucapan “Assalaamu’alaikum”, pent.) kepada mereka tersebut, terdapat maslahat syar’i, seperti untuk melunakkan hati mereka agar menerima Islam,
  2. Atau menjaga (diri) dari kejahatan mereka, dan maslahat-maslahat Syar’i yang semisalnya.

Karena sikap yang lebih utama tersebut, lebih kuat untuk memutuskan sebab-sebab yang menghantarkan kepada kasih sayang dan kecintaan (kita) kepada mereka.

[Sumber: fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=32758]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27110-bagaimana-berinteraksi-dengan-non-muslim-2.html