Bijak dalam Utang Piutang

Bijak dalam Utang Piutang

Bagi yang menunda pembayaran atau tak melunasi utang padahal mampu, dalam Islam dianggap pelaku kriminal, ada sanksi atasnya

TIDAK salah memang opini bahwa utang pemutus silaturahim paling tajam. Karena tak jarang berawal dari utang timbul permusuhan yang berakhir di meja hijau atau melayangnya nyawa.

Mengapa terjadi demikian? Ada perihal yang terlupakan oleh pelaku utang piutang. Yaitu sabda Rasulullah ﷺ al ‘ilmu qobla qaul wa ‘amal (ilmu sebelum perkataan dan perbuatan). Ya minimnya ilmu terkait utang piutang menyebabkan pelaku salah langkah dalam menjalaninya. 

Istilah utang dalam bahasa Arab adalah al-dain (jama’nya al-duyun). Maknanya :

ما كان في الذمة ما ثبت من المال في الذمة بعقد أو استهالك أو استقراض

Artinya : Apa-apa yang telah tetap dari harta dalam tanggungan karena adanya  akad, perusakan atau peminjaman.

Utang karena akad maksudnya pembayaran uang atau penyerahan barang tak tunai dalam suatu akad (jual beli, ijarah, nikah).

Misalnya dalam akad jual beli, pembeli membayar tempo atau angsuran pada penjual. Dalam akad jual beli salam (pesan) dan istishna (pesan buat), penjual belum menyerahkan barang saat pembeli sudah membayar lunas.

Dalam akad ijarah seperti sewa menyewa, penyewa belum membayar uang sewaannya. Dalam akad nikah, suami belum membayar tunai mahar istrinya. 

Dalam perusakan barang ada utang karenanya harus diganti. Dalilnya saat Rasulullah ﷺ menginap di rumah Sayyida Aisyah, istri lain memberikan makanan berwadah piring. Sayyidah Aisyah cemburu dan membanting piringnya sehingga pecah. Lalu Rasulullah bersabda :

إِنَاءٌ بِإِنَاءٍ

Artinya:  “Piring dengan piring.” (HR.Bukhari)

Utang pinjaman (istiqradh) maksudnya sesuatu yang diberikan pada orang lain dengan dikembalikan semisal (jenis dan jumlahnya). Contohnya pinjam emas 5 gram, harus dikembalikan emas 5 gram. Tak boleh dikembalikan  dalam bentuk uang seharga emas 5 gram atau  dikembalikan dengan emas tapi massanya berbeda.

Adab Utang Piutang

Agar menuai pahala dan mempererat persaudaraan, dalam utang piutang perlu memperhatikan adab berikut :

Pertama, niat shahih dalam akad.

Bagi pengutang berutang dengan alasan syar’i. Seperti untuk pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papa, kesehatan, pendidikan) atau hal produktif (modal usaha).

Penggunaan uang/harta dari utang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sehingga muslim harus menjauhkan diri dari berutang untuk gaya hidup, gengsi atau foya-foya. 

Bagi pemilik piutang, berniat menolong saudaranya dalam kesulitan (ta’awun). Dilihat dari standar dunia, piutang memang ‘mengurangi’ harta.

Tapi Allah berjanji menolong hamba yang menolong saudaranya. Sehingga tak ada yang diharapkan dari piutang selain pahala dan ridha Allah. Rasulullah ﷺ bersabda :

مَن نَفَّسَ عن مؤمنٍ كُرْبَةً من كُرَبِ الدُّنيا نَفَّسَ اللهُ عنه كُرْبَةً من كُرَبِ يومِ القِيَامَة، ومن يَسَّرَ على مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخرةِ

“Siapa yang melapangkan seorang mukmin dari kesusahan dunia, niscaya Allah melapangkan baginya kesusahan pada hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang dilanda kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat.” (HR.Muslim).

Kedua, memenuhi akad.

Bagi pengutang, berniat melunasi dan tak menunda pembayaran utang. Termasuk kezaliman bagi yang menunda pembayaran utang padahal mampu.

Bahkan dicap pencuri di sisi Allah bagi sengaja tak melunasi utang. Di akhirat utang tersebut menjadi penyesalan dan kerugian karena dibayar dengan amal kebaikannya. Rasulullah ﷺ bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya.” (HR Bukhari:).

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”  (HR. Ibnu Majah).

Bagi pemilik piutang, dianjurkan memberi tenggang waktu untuk pengutang yang kesulitan membayar hingga lapang. Dianjurkan juga mensedekahkan utang tersebut.

Memang berat, tapi ada janji dan balasan baik dari Allah bagi yang menghilangkan beban saudaranya. Allah SWT berfirman :

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 280).

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ

“Barangsiapa memberi keringanan pada orang yang berutang padanya atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapatkan naungan Arsy di hari kiamat.” (HR.Muslim).

Ketiga, tertib akad

Sering terjadi seiring berlalunya waktu antara pengutang dan pemilik piutang lupa kuantitas utang. Untuk mengatasinya, Islam mengajarkan bagi pengutang mencatat utangnya walaupun kecil dan menghadirkan dua saksi laki-laki saat akad.

Dalilnya firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 282.

Bagi pemilik piutang berhak menagih pengutang sesuai dengan waktu kesepakatan pembayaran secara ma’ruf. Bersabar jika tanggapan pengutang tak baik.

Berhak mengingatkan pengutang yang lalai membayar sebagai bentuk nahi munkar tanpa intimidasi dan tekanan. Rasulullah ﷺ bersabda :

خُذْ حَقَّكَ فِى عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ

“Ambillah hakmu dengan cara yang baik pada orang yang mau menunaikannya ataupun enggan menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah).

Keempat, paham konsekuensi akad.

Bagi yang menunda pembayaran atau tak melunasi utang padahal mampu, dalam Islam dianggap pelaku kriminal. Islam menerapkan sanksi tegas atas perbuatan tersebut. Di antaranya;

  • Yaitu hukuman ta’zir sesuai dengan keputusan qadhi (hakim) bukan dari pemberi piutang.
  • Seperti mengambil/menyita hartanya secara paksa dan menjualnya untuk bayar  utang;
  • Mengambil pendapatannya secara paksa sejumlah utang dengan menyisakan kebutuhan pokoknya;
  • Penjara; pukulan yang tak membahayakan dirinya dan tak berlebihan.

Sanksi tersebut bertujuan untuk menjamin kembalinya hak pemilik piutang dan hilangnya kedzaliman, tanpa menimbulkan mudharat bagi pengutang.

Bagi pemilik piutang tak mengambil manfaat dari utang baik berupa tambahan (ziyadah), hadiah, jasa atau lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

إذا أقرض فلا يأخذ هدية

“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari).

Para ulama telah bersepakat haramnya manfaat dari utang karena riba. Ibnu Hajar Asqalani dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah menyatakan :

كُلُّ قَرْضِ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka ia adalah riba.”

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan :

كُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيْهِ أَنْ يَزِيْدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلاَفٍ

Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu adalah haram tanpa ada perbedaan pendapat. Wallahu a’lam bish-shawabi.*/ Desti Ritdamaya

HIDAYATULLAH