Bolehkah Sebar Isu?

Di tengah gempita keterbukaan informasi, berbagai kabar mudah tersebar, lalu terserap oleh ber bagai kalangan. Asal muasalnya bisa beragam. Isu-isu yang tak bertanggung jawab bisa muncul dari dunia maya, seperti celotehan di Twitter ataupun status seseorang di Facebook. Bahkan, tak jarang isutersebut ditebarkan justru oleh media massa. “Kabar burung” itu acap kali memantik kebingungan di masyarakat.

Fenomena itu menarik perhatian banyak otoritas fatwa di berbagai negara, tak terkecuali dua lembaga fatwa resmi di Timur Tengah, yaitu Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA). Menurut Dar al-Ifta Mesir, menebar isu apa pun berupa kabar bohong dan belum mendapat klarifikasi atau pernyataan resmi dari otoritas atau pihak yang berwenang maka hukumnya haram. Sekalipun, isu tersebut benar adanya. Ini karena dianggap bisa berdampak pada kekacauan.

Aksi semacam ini, dalam kajian lembaga yang pernah dipimpin oleh mantan mufti agung Mesir Syekh Ali Jumah, masuk kategori irjaf yang dilarang. Larangan itu seperti terulang di ayat 60-61 surah al- Ahzab. Irjaf memang pada dasarnya lebih dekat pada aksi yang memicu kerusuhan. Tetapi, merujuk pendapat Ibn Abbas, penjelmaan lain dari irjaf adalah menenar fitnah dan isu.

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orangorang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah), melainkan dalam waktu yang sebentar dalam keadaan terlaknat.

Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” Ketentuan haram, tak hanya berlaku ba gi si penebar isu. Tetapi, larangan yang sama juga di tujukan untuk se genap masyarakat yang menjadi objek penebaran isu. Di hadis riwayat Ibn Hibban dari Abu Hurairah, Rasululah SAW melarang seseorang menyebarkan tiap isu apa pun yang ia dengar dan terima. Terlebih, jika isu tersebut dusta semata. Hadis ini menguatkan riwayat Bukhari Muslim dari al-Mughirah bin Sy’ubah tentang kecaman atas tradisi “katanya” (qila wa qala).

Agar masyarakat terhindar dari atmosfer kontraprodukif efek dariisu, lembaga yang kini dipimpin oleh Mufti Agung Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu memberikan sejumlah tuntunan menyikapi isu-isu tak bertanggung jawab. Rangkaian tuntunan ini disarikan dari pelajaran berharga peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah RA.

Pertama, berbaik sangka kepada diri sendiri dan orang lain. Kedua, klarifikasi pada penyebar berita terkait validitas dan kebenaran kabar yang ia sebarkan. Ketiga, hindari menerima dan menyebarkan informasi tersebut. Apalagi, bila tidak memiliki pengetahuan kuat. Keempat, jangan sesekali menganggap isu-isu itu sepele.

Penegasan yang sama juga disampaikan Lembaga Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab. Seorang Muslim wajib menjauhi penerimaan dan penyebaran isu. Mengutip pernyataan Imam al-Munawi di Faidh al-Qadir, bisa saja kabar itu benar dan bohong di waktu yang sama. Maka sekadar berbagi kabar itu, ia sangat mungkin ikut menyebarluaskan berita dusta.

Aksi tercela tersebut, menurut lembaga ini, dilarang lantaran memiliki dampak buruk yang luar biasa di masyarakat. Alasannya masih sama, yaitu menebarkan kekacauan di khalayak umum. Larangan tersebut seperti tertuang di surah al- Ahzab di atas.

Di pengujung fatwa, lembaga nonpemerintah ini mengimbau sejumlah hal, yaitu selektif dan klarifikasi kabar apa pun yang beredar dan belum jelas kebenarannya.

Perintah tersebut ditegaskan surah al-Hujurat ayat 6. Sehingga, ada baiknya meminta pertimbangan pihak dan otoritas terkait. Di surah an-Nisaa’ ayat 83 dijelaskan, isu-isu tak bertanggung jawab itu bila dikembalikan kepada Allah dan Rasul-nya, selaku pemegang otoritas saat itu, maka mereka tidak akan berkesimpulan liar.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” Kedua, menutupi keburukan dan aib orang lain. Sekalipun keburukan itu fakta, seyogianya tidak dijadikan sebagai konsumsi publik dan ajang hujatan.

 

sumber: Republika Online