Bom Bunuh Diri di Astananyar dalam Pandangan Abu Bakar Ba’asyir

Bom Bunuh Diri di Astananyar dalam Pandangan Abu Bakar Ba’asyir

Diberitakan sebelumnya, ledakan bom bunuh diri terjadi di Polsek Astanaanyar Bandung pada Rabu (7/12/2022). Dalam kejadian tersebut, sejumlah polisi mengalami luka. Sementara satu polisi meninggal dunia usai mengalami kritis.

Pendiri Pondok Pesantren (ponpes) Al Mukmin Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar adalah keliru. “Kemarin saya dengar kan di tv, ada katanya satu orang yang ngebom di kantor polisi dia bunuh diri. Berjuang kok bunuh diri mana ada,” ujar Abu Bakar Ba’asyir.

Abu Bakar Ba’asyir menilai umat Islam kadang keliru dalam cara dakwahnya. “Jadi kadang-kadang umat Islam ini keliru. Padahal, cara pengamalan Islam itu sunan nabi itu yang harus kalau memang tidak ada, tidak dilahirkan oleh musuh Islam, ya harus aman saja,” kata Ba’asyir. “Cara dakwah dengan baik masalah diterima atau tidak itu kan tergantung dari Allah. Harus sabar memberi keterangan, tapi kok saya dengar ada bom mengebom apa itu maksudnya itu. Ini yang keliru. Cara memahami Islam keliru,” tambahnya.

Siapakah Sosok Abu Bakar Ba’asyir?

Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud atau lebih akrab disapa Ustaz Abu Bakar Ba’asyir dikenal sebagai seorang ulama berdarah Arab yang memimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ia juga adalah pendiri pesantren Al Mu’min, Solo, Jawa Tengah.

Ba’asyir lahir di Jombang, 17 Agustus 1938. Ia mengenyam pendidikan Islam di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang lulus pada 1959 dan melanjutkannya ke Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah. Perjalanan karier di bidang keagamaan diawali saat Ba’asyir menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Selain itu, ia juga menjabat sebagai sekretaris perkumpulan Pemuda Al-Irsyad, Solo.

Jiwanya sebagai seorang aktivis memang bukan main-main. Perlahan tapi pasti, Ba’asyir semakin menanjak. Ia dipercaya sebagai Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, memimpin Pondok Pesantren Al Mu’min dan menjadi Ketua Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Pada 10 Maret 1972, Ba’asyir bersama rekan sejawatnya Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdllah Baraja mendirikan pesantren Al Mu’min yang berlokasi di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pondok pesantren ini pada awalnya hanya berisi kegiatan kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Namun, belakangan pondok ini berkembang menjadi Madrasah Diniyah.

Sepak Terjang Abu Bakar Ba’asyir

Saat terjadi perpecahan politik karena permasalahan ekonomi di zaman Orde Baru, Ba’asyir memilih tinggal di Malaysia selama 17 tahun. Pilihannya tersebut didasari atas penolakan diberlakukannya asas tunggal Pancasila. Pada tahun 1983, Ba’asyir bersama Abdulla Sungkar ditangkap dengan tuduhan menghasut orang-orang untuk menolak asas Pancasila. Ba’asyir juga melarang santrinya untuk hormat kepada bendera saat upacara karena dianggap syirik. Tak hanya dituduh sebagai penghasut, Ba’asyir pun dianggap sebagai salah satu tokoh gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto) yang masih bagian dari Darul Islam (Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah). Di persidangan, Ba’asyir dan Abdullah Sungkar divonis 9 tahun penjara. Namun, mereka berdua tidak terima putusan kasasi itu dan memilih kabur ke Malaysia.

Pelarian mereka berdua dimulai dari Kota Solo lalu menyeberang ke Malaysia melalui jalur laut dari Medan. Dilansir dari agen intelegen Amerika Serikat, CIA, Ba’asyir membentuk gerakan Islam radikal bersama Jamaah Islamiyah di Malaysia. Gerakan ini masih berkaitan dengan Al-Qaeda. Pada tahun 1985 hingga 1999, Ba’asyir dan Abdullah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat muslim berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist di Malaysia dan Singapura. Kariernya pun melejit di luar negeri.

Saat dirinya diinterogasi mengenai kegiatan keagamaan yang sering dilakukannya, Ba’asyir membantah laporan dari CIA mengenai usaha pembentukan Islam Radikal di Malaysia. Tapi, meski demikian pemerintah Amerika Serikat tetap memasukan nama Ba’asyir sebagai seorang teroris karena keterlibatan jamaahnya dengan jaringan Al-Qaeda.

Saat usianya 61 tahun, Ba’asyir kembali ke tanah air. Ia pun bergabung dengan organisasi Majelis Mujahidin Indonesia dan ditunjuk sebagai ketua pada tahun 2002. Perkumpulan tersebut memiliki misi untuk menegakan syariat Islam di Indonesia. Setelah terjadi peristiwa pengeboman di Bali, Ba’asyir digadang-gadang sebagai otak dari peristiwa naas tersebut. Kejadian terorisme ini bahkan telah menyita perhatian masyarakat internasional pasalnya pengeboman ini telah menewaskan warga negara asing yang tengah berlibur di Bali.

Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo, Muljadji pun melakukan koordinasi dengan Polres dan Kodim Sukoharjo untuk memanggil Abu Bakar Ba’asyir untuk melakukan pemeriksaan. Ia pun memenuhi panggilan dari Mabes Polri. Kuasa hukum Ba’asyir, Achmad Michdan melakukan konferensi pers dan menjelaskan bahwa pemanggilan Abu Bakar Ba’asyir ke Gedung Direktorat Intelijen merupakan bentuk usaha Interpol untuk mengayomi Ba’asyir.

Sepak terjang Ba’asyir bahkan hingga masuk majalah TIME. Dalam majalah tersebut disebutkan bahwa Ba’asyir menjalin jaringan dengan terorisme internasional. Hal ini juga didasari dari pengakuan Umar Al-Faruq, seorang warga negara Yaman yang ditangkap di Bogor.

Ba’asyir tetap membantah isi artikel TIME tersebut. Dirinya bahkan meminta pemerintahan Indonesia membawa Umar Al-Faruq yang telah digiring ke Afganistan kembali ke Indonesia untuk pemeriksaan lanjutan. Ba’asyir juga bersikukuh bahwa peristiwa pengeboman di Bali itu bukanlah ulahnya melainkan ulah Amerika Serikat yang ingin menunjukan bahwa Indonesia sarang teroris. Proses hukum Abu Bakar Ba’asyir berlangsung dengan penuh polemik. Hingga ditetapkan sebagai tersangka, ia tetap tidak datang memenuhi panggilan polisi. Lalu pada 3 Maret 2005, Ba’asyir divonis hukuman 2.6 tahun penjara.

Namun, pada tahun 2010 Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaida di Aceh. Pada 16 Juni 2011, Ba’asyir ditetapkan hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Pada 2018, ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang saat itu berusia 80 tahun mengalami penurunan kesehatan. Kedua kakinya mengalami pembengkakan dan menghitam. Ia telah menjalani pemeriksaan intensif di RSCM. Menurut Guntur, pengacaranya, Ba’asyir mengidap kista di kaki kanannya. Isu pemindahan lapas tahanan dan grasi pun mencuat. Namun, tim pengacara menjelaskan bahwa Ba’asyir menolak grasi karena hingga saat ini ia tidak mernah merasa bersalah. Sedangkan, syarat utama permohonan grasi adalah dengan mengakui kesalahannya.

ISLAM KAFFAH