Bung Hatta Naik Haji, Kembang ‘Alfatihah’: Teladan yang Hilang!

Tak banyak diketahui orang, hari ini 12 Agustus atau lima hari sebelum peringatan hari ulang tahun kemerdekaan, merupakan hari ulang tahun salah satu bapak bangsa sekaligus proklamator, serta wakil presiden pertama Indonesa, Moh Hatta (Bung Hatta). Kalau beliau masih hidup kali ini adalah hari ulang tahunnya yang ke -115 (Bung Hatta lahir 12 Agustus 1902, wafat 14 Maret 1980).

Bila melintas kompleks makam beliau yang ada di bilangan Tanah Kusir, Jakarta, memang tetap seperti hari-hari biasa yang selalu tenang dan khidmad. Ingar-bingar jalan Tanah Kusir yang sepanjang waktu selalu ramai dan di siang hari hingga malam selalu macet, tak berpengaruh pada situasi area makam yang berada di tengah kompleks kuburan rakyat biasa itu.

“Bung Hatta berpesan agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bila meninggal, beliau ingin dimakamkam di kuburan biasa. Alasannya agar selalu dekat dengan rakyat,” begitu kalimat penyiar TVRI ketika menyiarkan secara langsung upacara pemakaman sang Proklamator. Kala itu, media massa baik radio maupun cetak pun ikut memberitakan wasiat Bung Hatta ini.

Dan kenangan ini melekat kuat, karena pada saat itu banyak orang tua dan dewasa yang menangis ketika menonton siaran televisi tersebut. Di layar televisi hitam putih yang pasokan daya listriknya masih memakai aki bekas truk, terlihat tayangan kerumunan masa yang berjajar di tepi jalanan, mengular dari pusat ibu kota hingga ke arah jalan pemakaman umum Tanah Kusir yang saat itu tempatnya bisa dikatakan berada di pinggiran Jakarta. Selama sepekan, pemerintah Indonesia menyatakan masa berduka dan bendera dikibarkan setengah tiang.

Nah, keharuan yang sama pun segera menyergap saat kemarin sore mendatangi permakaman itu. Dibandingkan dengan suasana pemakaman pasangan proklamatornya Bung Karno di Blitar, tak ada keriuhan yang terdengar di area makam cucu ulama besar Nagari Minangkabau, yakni Syekh Abdurrahman atau Syekh Batu Hampar, itu . Tak ada kerumunan peziarah, atau pasar suvenir yang ramai menjual aneka pernak-pernik barang kerajinan tangan yang mengesankan mengultuskannya.

Selain itu, tak ada penjagaan yang ketat. Situasi ini jangan dibandingkan dengan kompleks mausoleum Ho Chi Minh di Hanoi, Vietnam, atau makam filsuf sekaligus Bapak Bangsa Pakistan M Iqbal di Lahore. Di dua makam orang penting tersebut, penjagaan luar biasa ketat.

Di makam Iqbal yang lokasinya berada di dalam benteng kuno dan di samping Masjid Badhsahi peninggalan Kesultanan Mughal India, area makamnya dijaga selama 24 jam oleh tentara bersenjata dan berseragam lengkap. Yang akan masuk ke makam harus berbaris dan satu per satu berdoa di pinggir makam. Di atas pusara Iqbal selalu diletakkan seikat kembang. Dan di batu nisan tertulis: Makam pemikir besar maulana M Iqbal.

Namun, hal itu tak ditemui pada makam Bung Hatta yang bersisian dengan makam sang istri tercinta, Ibu Rachmi Hatta. Penjagaan terasa longgar dan pada siang hari kompleks makam selalu terbuka untuk dikunjungi.

Sedangkan, di atas nisan hanya tertulis kalimat pendek namanya, lengkap dengan gelar haji dan kesarjanaannya. Dan di bawah tulisan itu tertulis kata “proklamator dan wakil presiden Indonesia”. Di jendela kaca yang ada di bagian belakang makam hanya tergores tulisan kaligrafi bergaya kufi.

Uniknya, meski tak ada kesan kemewahan dan mengagungkan diri, setiap kali berziarah selalu ada seikat kembang yang ditaruh di atas nisan. Taburan bunga berwarna merah dan putih juga ikut terlihat di sana. Dan bila melihat kondisi kelopak bunganya yang masih segar, maka dipastikan bunga itu belum terlalu lama ditaburkan.

Tampaknya, pemilihan lokasi makam di “tempat biasa” atau bukan taman makam pahlawan memang tepat. Bung Hatta paham kalau makamnya berada di tempat khusus maka rakyat biasa akan susah menziarahinya.

Kesederhanaan itulah yang membuat batin rakyat biasa terasa mantap dan khidmat ketika memanjatkan doa, membacakan surah al-Fatihah, atau sekadar menabur bunga di atas pusaranya.

Entakkan ingatan soal sosok Bung Hatta kembali muncul ke benak publik, ketika sekitar setahunsilam  (24 Mei 2015), di salah satu talkshow televisi Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta Prof Moh Mahfud MD kembali menyitir tulisan Bung Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” yang terbit pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat.

Mahfud dalam talkshow yang menyoal “Kontroversi Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Soeharto” itu menukil tulisan tersebut yang di antaranya menyebut soal istilah “kudeta” dan “diktator” yang menjadi ancaman demokrasi saat kekuasaan negara berubah menjadi otoriter.

Mahfud mengingatkan agar sejarah dan politik tidak dilihat dalam kacamata hitam-putih.

Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya menjadi pelajaran hidup.

”Mungkin banyak yang tidak tahu ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit membubarkan DPR, Badan Konstituante, Bung Hatta menulis buku Demokrasi Kita. Di situ Bung Hatta pun mengatakan Bung Karno itu (melakuka–Red) kudeta. Artinya, kalau ada yang mengatakan Soeharto melakukan kudeta, maka sebelumnya pun sama, sebelumnya pun sama,’’ kata Mahfud yang mencoba menjelaskan asal usul hadirnya rezim otoriter di Indonesia.

Dan bila kemudian menukil tulisan Bung Hatta yang saat itu dimuat di Majalah Panji Masyarakat, maka itu memang merupakan kritikan yang keras atas situasi negara meski dilakukan dengan pilihan kalimat yang santun. Akibatnya, tak beda dengan era rezim Orde Baru, pada saat itu rezim Sukarno yang tengah berada di puncak kekuasaan menjadi gerah, Majalah Panji Masyarakat pun diberedel.

Berikut ini cuplikan dari tulisan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita yang menyebut soal “kudeta” dan “diktator” seperti yang disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam talkshow yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu:

.……. Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta–Red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja.

Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.

Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia.

Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri.

Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu…..

Akhirnya enam tahun kemudian apa yang ditulis Bung Hatta terbukti!

 

Sebagai cucu ulama besar, Hatta jelas paham mengenai apa yang dimaksud dengan istilah ‘wara’ dan ‘zuhud’ itu. Dua istilah ini sangat dikenal di dunia sufi atau tarekat serta dipakai untuk menyebut sebuah pribadi insan yang saleh secara pribadi dan soal, tidak tergila-gila gemerlap dunia, dan hidup sederhana.

Hal ini biasanya merujuk kepada kehidupan Nabi Muhammad SAW yang jauh dari suasana gemerlap. Rumah nabi di Madinah hanya berukuran 3 x 4 (seluas kamar kontrakan di Jakarta), hanya punya dua pasang pakaian, tidur dengan dipan pelepah kurma, kerap tak punya makanan atau meneruskan berpuasa setelah sebelumnya berbuka dengan tiga butir kurma dan meminum air putih, tak mengenakan perhiasan emas dan sutra (Rasul hanya memakai cincin besi dan berpakaian dari kain kasar), serta hanya memakan gandum olahan yang juga kasar.

Nah, dalam kehidupan nyata, kebiasaan pengikut tarekat seperti itu dijadikan acuan oleh Bung Hatta. Hingga wafat, tak ada skandal yang pernah dia lakukan. Tak ada uang negara yang dipakai tanpa hak. Bahkan, saking hati-hatinya, Hatta kerap harus menabung bila ingin membeli sesuatu, seperti misalnya keinginannya membeli sepatu Bally yang saat itu merupakan sepatu favorit dan berharga mahal.

Bila mengunjungi rumahnya yang berada di Jl Diponegoro (di seberang kantor DPP PPP atau di samping kediaman Kedubes Palestina) tak ada hal yang mewah yang akan dilihat. Dekorasi rumahnya sederhana. Yang ada hanya perabot biasa dan lemari berisi buku. Halamannya pun sempit dan tak ada taman atau pendopo yang luas atau bangunan garasi yang bisa dimuati banyak mobil.

Bahkan, beberapa tahun silam ada kehebohan yang muncul. Sang menantu Bung Hatta, Prof DR Sri Edi Swasono, sempat menyatakan ada tangan jahil yang menukar lukisan pemandangan yang ada di dinding “rumah tua” itu.

Menurut Edi, ada orang yang diam-diam menukar lukisan pemandangan karya pelukis kondang Basuki Abdullah. Indikasinya, setelah diperhatikan dengan saksama tiba-tiba terasa ukuran lukisan tersebut mengecil. Maka ia pun mencurigai ada pihak yang jahil pada karya lukis itu.

Kesederhanaan ini pun kemudian bersesuaian dengan cerita mengenai sikap Bung Hatta yang memilih pergi haji dengan cara membayar sendiri ongkosnya dari royalti penjualan buku karangannya.

Padahal, saat itu status Hatta adalah wakil presiden. Bahkan, Presiden Sukarno pun sudah menyediakan pesawat khusus serta membeberkan semua fasilitas kendaraan yang diperlukan Bung Hatta untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Namun, tawaran Presiden Sukarno pun dia tolak.

Menurut dia, urusan naik haji bukanlah urusan seorang pejabat negara dengan Allah, melainkan itu urusan seorang insan manusia biasa yang pergi ke Tanah Suci.

Maka, bila dirinya menunaikan ibadah haji ke Makkah, itu merupakan kepergian ibadah sebagai seorang Mohammad Hatta pribadi, bukan sebagai seorang wakil presiden.

Alhasil, apakah masih ada pejabat negara seperti itu sekarang? Jangankan bisa sedikit meniru sosok kesederhanaan hidup Nabi Muhammad SAW, mampu mengikuti jejak perilaku Bung Hatta saja kini merupakan hal yang langka.

Dalam soal urusan naik haji, misalnya, sudah dimafhumi bila banyak cerita yang beredar bahwa pejabat negara acap kali meminta jatah kursi kuota haji ke menteri agama. Di forum pengadilan kasus korupsi haji di KPK, misalnya, soal bagi-bagi kursi haji untuk pejabat negara di periode pemerintahan sebelumnya sudah banyak yang menyebut.

Selain itu, juga bukan rahasia lagi bahwa begitu banyak pejabat negara masa kini yang hidupnya bergelimang dalam kemewahan, kaya raya layaknya “raja-raja kecil” di abad pertengahan Eropa. Rumahnya seperti istana, mobilnya berjibun, dana deposito serta uang yang tersimpan di rekening banknya menumpuk bahkan kerap disebut meluber sampai ke luar negeri.

Apakah zaman sudah berubah dan apakah akan datang Hatta-Hatta baru di negeri tercinta ini? Jawabnya: ya entahlah!

Namun, yang pasti, almarhum Bung Hatta telah membuktikan bahwa sosok orang saleh bukan hanya ada di dalam cerita komik. Dia benar-benar ada di kehidupan yang nyata.

 

IHRAM/REPUBLIKA

 

—————————————————————-
Download-lah Aplikasi CEK PORSI HAJI dari Smartphone Android Anda agar Anda juga bisa menerima artikel keislaman ( termasuk bisa cek Porsi Haji dan Status Visa Umrah Anda) setiap hari!
—————————————————————-