Bung Tomo

Bung Tomo Wafat di Arafah

Pada zaman revolusi, ada tiga putra Indonesia di depan nama mereka dipanggil Bung. Mereka itu Ir Sukarno dan Drs Moh Hatta, Proklamator Kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Akrab rakyat memanggil mereka Bung Karno dan Bung Hatta. Sedangkan terakhir Bung Tomo, nama lengkapnya Sutomo. Putra Surabaya ini, umur 25 tahun, menjadi pendorong, pembangkit, penyemangat, dan penggerak perjuangan.

Namanya berhubungan erat dengan pertempuran heroik di Surabaya 10 November 1945. Karena itu, 10 November di Indonesia diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Bung Tomo, 12 Oktober 1945, membentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Pembentukan BPRI mendapat restu petinggi militer Jawa Timur, Moestopo, namanya.

Menurutnya, pemuda itu mempunyai bakat dalam agitasi dan propaganda. Karena itu, ia memberi pemancar radio kepadanya. Meski pemancar bekas, tapi masih sangat layak untuk digunakan. Apalagi bila sebelumnya lebih dulu direparasi oleh ahlinya. Berikutnya, Bung Tomo membentuk Radio Pemberontakan.

Ketika Radio Pemberontakan siarannya mulai mengudara, daya pancarnya masih sebatas kota Surabaya. Namun, setelah pemancar radio itu diperbaiki oleh ahlinya, daya jangkaunya menjadi bertambah meluas.

Sepekan setelah itu, RRI Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta merelay orasi Bung Tomo. Pidato Bung Tomo tiap sore jam 17.30 merupakan momen penting yang ditunggu. Pendengarnya pun terus bertambah.

Bung Tomo dalam pidato atau orasinya senantiasa memulai dan mengakhirinya dengan membaca takbir. Allahu Akbar! Ia seorang orator dan agitator yang piawai.

Dalam orasinya, ia senantiasa memberi dan meningkatkan semangat juang. Ia terus membakar semangat rakyat yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Agar semangat revolusi rakyat tidak melemah atau mengendor. Jangan berucap menyerah kalah. Teruslah gelorakan semangat perlawanan rakyat menghadapi penjajah.

Pada 20 Mei 1950, Bung Tomo banting stir beralih ke politik. Ia mendirikan Partai Rakyat Indonesia.

Di zaman Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, ia duduk dalam Kabinet menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran dan Menteri Sosial adinterim. Kabinet yang hanya berumur tujuh bulan (Agustus 1955 – Maret 1956) berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama di Indonesia secara langsung, bebas, adil, dan rahasia.

Setelah Pemilu, ia terpilih menjadi anggota DPR dan Konstituante. Ia berkarakter kritis, baik di zaman Presiden Sukarno maupun Presiden Suharto. Di zaman Orde Baru, ia dijebloskan dalam tahanan di Nirbaya, Jakarta selama setahun.

Bung Tomo bersama istrinya, Sulistina asli Malang, dan dua putrinya pada 1981, menunaikan ibadah haji. Dari Tanah Air berangkat ke Tanah Suci September 1981.

Pada 3 Oktober 1981, ulang tahun kelahirannya ke-61, Bung Tomo sakit tak sadarkan diri. Terus dibawa ke Rumah Sakit Kerajaan Arab Saudi. Menurut pemeriksaan dokter, ia terkena komplikasi hidrasi dan stroke. Dua hari, ia tak sadarkan diri. Hari ketiga, ia siuman.

Dua hari berikutnya adalah hari wukuf di Arafah yang mesti ditunaikan bagi siapa pun yang berhaji dan tidak bisa diwakilkan. Maka ia pun pada 9 Dzulhijjah melakukan wukuf di Arafah. Meski berangkatnya ke Arafah, karena sakit, ditandu.

Selagi wukuf di Arafah itulah, Allah memanggilnya pulang ke rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Suci. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Atas ikhtiar keluarga almarhum, diwakili Bambang Sulistomo (putra kedua), pemindahan kerangka jenazah Bung Tomo dari Tanah Suci ke Tanah Air terselesaikan sudah. Fatwa MUI dan bantuan diplomasi dari Dep Luar Negeri memudahkan urusan pemindahan.

Keberangkatan Bambang Sulistomo bersama dua dokter ahli forensik dari Jakarta ke Mekkah berhasil. Para petugas yang menguburkan waktu itu pun bisa ditemukan.

Dalam mengidentifikasi jenazah Bung Tomo tidak mengalami kesulitan dan ditemukan. Dengan pesawat Hercules TNI, jenazahnya diterbangkan ke Tanah Air. Keluarga sepakat, jenazahnya dimakamkan di Ngagel Rejo, Jl Bung Tomo, Surabaya. Akhirnya, meski terlambat, Pemerintah menetapkan Bung Tomo (Sutomo), pada tahun 2008, sebagai pahlawan nasional.

Oleh: M Muchlas Abror

Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2018

Link artikel asli

IHRAM