Cashback yang di Tawarkan Go-pay dan OVO, Haramkah?

Tren transaksi keuangan sdengan metode pembayaran elektronik saat ini semakin berkembang. Penggunaan mobile paymentsat ini banyak digunakan seperti Go-pay dan Ovo. Bagi sebagian masyarakat muslim menggunakan aplikasi tersebut ternyata menyisakan persoalan terkait dengan kehalalannya. Ada yang menggunakan tidak boleh digunakan ada juga sebagian masyarakat yang mengatakan boleh

Secara fungsi aplikasi Go-pay atau Ovo adalah aplikasi yang digunakan untuk pembayaran. Pembayaran yang selama ini menggunakan uang kertas atau logam atau yang modern seperti kartu kredit, debit atau hal lainnya. Sekarang diganti menggunakan mobile payment. Yang artinya tujuan aplikasi Go-pay atau Ovo atau aplikasi lainnya sama saja yaitu memindahkan pembayaran yang selama ini dilakukan secara manual menjadi elektronik.

Uang elektronik adalah fitur yang netral yang bergantung pada substansi dan barang yang diperjualbelikan. Jika dengan adanya fitur ini dapat mempermudah pengguna dalam memenuhi hajat-hajat primernya, maka tingkat kepentingan aplikasi seperti Go-pay dan Ovo bernilai sama. Seperti membeli barang tanpa harus menyediakan dana tunai di dompetnya dan tanpa harus datang ke merchant serta kerepotan-kerepotan lainnya. Sebagaimana kaidah “sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya.”

Kemudahan tersebut harus tetap mengacu pada fatwa DSN No. 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah dan Standar AAOIFI No. 38 tentang at-Ta’amulat al-Elektroniah. Dalam fatwanya tersebut MUI memberikan rambu-rambu agar uang elektronik tidak termasuk kategori haram. Agar kemudahan yang ditawarkan oleh Go-pay atau Ovo atau aplikasi lainnya memberikan maslahat dan terhindar dari efek negatif untuk yang menggunakannya.

Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya juga menyatakan adanya akad simpanan dalam uang elektronik ini. Fatwa tersebut dengan tegas menyatakan: “Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadiah atau akad qardh.” Akad wadiah adalah akad titipan atau simpanan dimana penerbit tidak boleh menggunakan uang tersebut. Sementara akad qardh adalah akad pinjam-meminjam/utang-piutang dimana penerbit boleh menggunakan uang tersebut.

Masyarakat yang belum mengetahui dengan jelas bagaimana akad antara pemegang saldo Go-pay dengan perusahaan gojek atau pemegang saldo Ovo dengan perusahaan grab apakah menggunakan akad simpanan (wadiah) ataukah akad pinjaman (qardh). Hanya saja secara logika dinilai mustahil jika uang Go-pay dan Ovo tidak dimanfaatkan oleh pihak penerbit. Kalaupun jelas akadnya qardh, masyarakat yang khususnya pengguna Go-pay dan Ovo juga belum mengetahui berapa persen uang mereka yang dimanfaatkan oleh pihak penerbit. Maka dari itu tidak heran kalau kemudian lahir kontroversi ditengah masyarakat.

Dalam urusan muamalah semua hal boleh dilakukan kecuali terdapat hal-hal yang diharamkan dalam transaksi muamalah tersebut. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 1

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”

Ayat diataslah yang menjadi dasar bahwa apapun yang diperjanjikan oleh manusia menjadi hukum bagi mereka yang berjanji. Selama janji tidak mengandung unsur yang dilarang. Hal ini juga dipertegas dalam kaidah “Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya.” (I’lamul muwaqi’in, 1/344). Oleh karena itu mobile payment seperti Go-pay dan Ovo adalah halal atau mubah, selama perjanjian yang ada di dalamnya tidak mengandung unsur yang dilarang. Beberapa unsur yang dilarang dalam transaksi muamalah adalah riba, maysir, gharar, risywah, zalim dan haram.

Apakah dalam Go-pay atau Ovo terdapat unsur yang dilarang oleh agama? Go-pay atau Ovo adalah akad jual beli jasa. Dalam akad ini tidak mengandung riba. Namun ada dua hal yang menyebabkan kontroversi diharamkannya aplikasi mobile payment tersebut yakni adanya bonus dan akad yang berlapis.

Diskon dan akad lainnya merupakan hal yang biasa yang merupakan kebijakan dari masing-masing penyedia, sehingga tidak menyebabkan dia haram karena diskon disini sama halnya dengan pengurangan harga pada jual beli biasa.  Diskon tersebut diperkenankan jika dana yang dana yang ditempatkan pengguna di dompet digital/uang digital:

  1. Digunakan oleh penerbit dengan diskon yang diberikan atas inisiatif penerbit (tanpa syarat).
  2. Tidak digunakan oleh penerbit uang digital. Sedangkan, jika digunakan oleh penerbit, dengan sikon yang dipersyaratkan maka menjadi riba.

Pertama sebagai gambaran, promo diskon dan cashback merupakan salah satu strategi marketing penerbit uang digital, pada saat yang sama menguntungkan pengguna uang digital dan merchant. Diantaranya keuntungan penerbit adalah cash in dan cash out atas setiap penempatan dana pengguna tersebut, fee dari merchant, dan fee atas layanan uang digital lainnya. Diskon tersebut diberikan oleh penerbit.

Kedua, apakah kaidah fikih terkait diskon? Jika diskon terjadi pada transaksi utang-piutang dan dipersyaratkan oleh pihak kreditur, itu termasuk riba. Tetapi jika tidak dipersyaratkan, menurut sebagian ulama itu tidak termasuk riba, melainkan hibah (Adh-Dharir, al-Jawaiz, Hauliyatu al-Barakah edisi V, oktober, 2003).

Ketiga, jika penerbit menggunakan dana pengguna tersebut, maka berstatus titipan. Tetapi, jika penerbit menggunakannya maka menjadi utang kepada pengguna. Jika menggunakan uang digital sebagai alat pembayaran dengan syarat diskon, maka diskon menjadi riba.jika menggunakannya tanpa syarat maka diperkenankan sebagai hibah.

Keempat, jika saat ini sudah ada uang digital dan sudah mendapat izin kesesuaiaan syariah dari otoritas, itu menjadi pilihan. Namun, jika belum tersedia dan belum ada kejelasan hukum dan fatwa dari otoritas, masing-masing perlu menakar kondisinya.

Sebenernya DSN MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang Uang Elektronik Syariah, dan dalam fatwa tersebut sudah cukup dijabarkan bagaimana uang elektronik yang sekarang banyak digunakan oleh masyarakat baik yang berbentuk chip seperti E-money ataupun yang berbasis server seperti Go-pay dan Ovo yang menerapkan prinsip syariah. Hal ini menjadi PR industri dan pihak terkait untuk menerbitkan uang digital yang telah mendapatkan kesesuaiaan syariah dan izin dari DSN MUI dan otoritas terkait untuk memastikan produk dan operasionalnya telah sesuai dengan ketentuan syariah. Agar memudahkan pengguna dalam melakukan transaksi kesehariannya tanpa harus cemas akan kehalalannya.*

Oleh: Afiifah Nurulwahidah, Mahasiswa STEI SEBI

HIDAYATULLAH