Dunia itu Berputar

KALIMAT “dunia itu berputar” sering sekali kita dengar sebagai ungkapan untuk menggambarkan perubahan nasib atau jalan hidup seseorang. Mungkin saja, ungkapan ini juga berangkat dari QS Ali Imron ayat 140: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”

Hari ini kita bisa belajar banyak dari keluarga super sederhana di lereng sebuah bukit yang jauh dari kota. Ada gubuk kecil yang ditempati sepasang suami istri yang lebaran kali ini mendadak ramai dan menjadi perbincangan banyak orang. Tenang, jangan terlalu cepat menganggap biasa karena memang musim mudik. Ada yang tidak biasa dan layak menjadi perenungan.

Yang tidak biasa adalah kedatangan tiga orang anaknya yang sukses dengan segala keserhanaannya. Anak pertamanya tinggal di Inggris telah menyelesaikan S3-nya di universitas ternama. Anak keduanya tengah menyelesaikan S2-nya di universitas ternama Amerika. Anak ketiganya seorang hafidz yang sedang kuliah di Mesir. Luar biasa, bukan? Tiga-tiganya datang dengan cerita yang berbeda tapi kesimpulannya sama: “Semua ini adalah karunia Allah yang diberikan kepada kami melalui keringat dan air mata Bapak dan Ibu kami.”

Bapaknya adalah seorang petani yang tak pernah ke mana-mana. Paling jauhnya tempat berkunjung adalah ke kota kabupaten yang berjarak sekitar 10 km dari rumahnya. Baru bulan yang akan datang, tepatnya bulan Juli, Bapak dan Ibunya akan pergi jauh berhaji ke tanah suci berkah pertanian garapan mereka. Apa yang dilakukan kedua orang tua ini kok bisa memiliki anak-anak yang sukses? Itu yang saya tanyakan kepada mereka.

Jawaban mereka adalah pelajaran bagi kita semua: Pertama, bagi kami, kebahagian adalah jika anak-anak kami istiqamah shalat dan mengaji. Kami minta anak kami merutinkan itu sembari berdoa untuk kesuksesan hidup mereka; kedua, satu-satunya yang menenangkan kami yang tak punya modal harta adalah karena kami memiliki Allah Yang Makakuasa, maka kepadaNyalah kami sandarkan segala harapan; ketiga, karena memang tidak punya apa-apa maka kami mengajari anak kami agar tidak pernah merasa memiliki apa-apa karena memang semuanya adalah milik Allah. Maka kami minta anak kami agar tak sombong walau kini sudah sukses dan kuliah di luar negeri semua.

Saya kagum kepada kedua orang tua yang hebat ini. Rumahnya masih tetap rumah kuno, khas rumah Madura jaman lampau. Langgar kecil masih tetap berdiri di ujung halaman, khas tradisi rumah berhalaman panjang di Madura. Ketiga anak mereka masih tetap berbahasa daerah dengan kami walau sangat lancar bahasa Arab, Inggris dan Perancisnya.

“Bahasa Madura lebih mewakili jiwa kami,” kata mereka sambil menunduk dan tersenyum malu-malu. Salut pada kalian dan orang tua kalian Nak. Kapan-kapan datanglah ke pondok kami untuk bercerita segala ilmu yang diperoleh dalam pelancongan di luar negeri. Salam, AIM, orang tua yang ingin sukses menjadi orang tua. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi