fakta atau hoax

Fakta Harus Dijelaskan dengan Diksi yang Tepat

 Beberapa laki-laki Muslim dewasa masih takut shalat lima waktu ke masjid meskipun Covid-19 telah setahun lebih mewabah di negeri kita. Kepada orang-orang seperti ini, seseorang kerap mengatakan, “Rupanya masih berat kaki mereka melangkah ke masjid.”

Perkataan ini sebetulnya tak ada yang salah! Faktanya, mereka memang berat melangkah ke masjid karena khawatir terjangkiti Covid.

Namun, jika ungkapan ini didengar oleh mereka yang tetap memilih shalat di rumah ketimbang di masjid, boleh jadi mereka akan tersinggung. “Saya tidak ke masjid bukan karena merasa berat. Buktinya, sebelum ada Covid, setiap hari saya shalat ke masjid. Saya tidak ke masjid karena khawatir terjangkiti Covid,” begitu kira-kira protes mereka.

Lalu kita akan menjelaskan kepada mereka maksud perkataan kita. “Justru karena Covid itulah maka kalian berat melangkahkan ke masjid. Kalau Covid tidak ada, langkah kalian akan ringan. Jadi tak ada yang salah dengan perkataan tadi.”

Mereka tetap tak terima. Bagi mereka, ungkapan tersebut berkonotasi negatif. Mereka merasa tidak seperti itu. Mereka tak mau disebut orang-orang yang berat melangkahkan kaki ke masjid, meskipun faktanya mereka memang tak lagi pergi ke masjid sejak wabah Covid merebak.

Apa yang salah dengan kejadian ini?

Beberapa fakta memang tak bisa dijelaskan dengan sembarang kata-kata. Pilihan kata-kata dalam menjelaskan fakta bisa dimaknai bermacam-macam oleh pembaca. Bahkan, dari pilihan kata itulah pembaca bisa menebak apakah si penulis suka dengan objek yang dituturkan atau tidak.

Penggunaan kata “wafat” dan “mati” saja sudah menimbulkan kesan yang berbeda, padahal artinya sama. Itu baru satu kata. Apalagi bila gabungan dari beberapa kata seperti ungkapan di awal tulisan tadi.  Ungkapan tersebut akan berbeda kesannya bila kita pakai kalimat seperti ini: “Mereka tak bisa pergi ke masjid”. Padahal, fakta yang dijelaskannya sama.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah menunjukkan contoh yang amat baik dalam memilih kata. Setiap kata dalam Al-Qur’an memiliki makna yang khas dan tepat. Tak mungkin keliru dan tak bisa juga diganti dengan kata yang lain.

Dalam Surat  al-Mujadillah [58] ayat 1, misalnya, Allah Ta’ala berfirman;

قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا وَتَشْتَكِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌۢ بَصِيرٌ

Arti ayat tersebut adalah, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Bila kita perhatikan ayat tersebut ada dua kata yang mirip. Pada awal ayat terdapat kata “qod” yang berarti “sungguh”. Lalu pada akhir kalimat ada kata “inna” yang berarti “sesungguhnya”.

Meskipun kedua kata ini mirip, namun tak bisa dipertukarkan. Akan  ada pergeseran makna bila keduanya dipertukarkan. Ada penekanan untuk masing-masing makna.

Bahkan bila kita gali lebih dalam tentang mengapa Allah Ta’ala menggunakan kata “Sungguh” di awal kalimat, padahal manusia tahu bahwa Allah Ta’ala Maha Benar dan tak akan keliru?  Inilah pelajaran tentang akhlak berkomunikasi yang luar biasa.

Mari kita belajar akhlak berkomunikasi dengan diksi yang tepat! *

HIDAYATULLAH