Haji Politik*

HAJI adalah ibadah mahdhah (murni), yang telah ditetapkan tatacaranya dalam Islam. Hanya saja, ibadah ini berbeda dengan salat, yang tidak boleh diisi oleh apapun yang lain kecuali bacaan Alquran dan doa. Haji, meskipun ibadah, di dalamnya bisa diisi oleh aktivitas apapun, selama tidak menyalahi hukum Islam.

Karena itu, selain aspek syarat, rukun dan wajib yang tetap harus diperhatikan, maka aspek lain adalah apakah hal-hal yang dilakukan selama berhaji tersebut menyalahi hukum Islam atau tidak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam Alquran, surat al-Baqarah: 197 menyatakan: “Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan tertentu, maka siapa saja yang kepadanya diwajibkan (kewajiban haji) di bulan-bulan itu, hendaknya tidak mengeluarkan kata-kata porno, melakukan perbuatan maksiat dan berbantah-bantahan di dalam berhaji.”

Firman Allah ini dikuatkan oleh hadis Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallama, yang menyatakan:
“Siapa saja yang berhaji, kemudian dia tidak mengeluarkan kata-kata porno, melakukan perbuatan maksiat, maka dia pulang, pulang seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya.” (Hr Bukhari dan Muslim)*

Karena itu, para ulama mengaitkan haji mabrur, yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan ketiga aktivitas ini. Apakah saat berhaji seseorang mengeluarkan kata-kata porno, maksiat dan berbantah-bantahan atau tidak? Meski ketiganya bukan merupakan syarat, rukun atau wajib haji, tetapi ketiganya sangat diperhatikan oleh para ulama, karena bisa merusak haji seseorang.

Batasan Rafast, Fusuq dan Jidal
“Rafats”, dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkami Alquran, karya Imam al-Qurthubi, mengutip penjelasan Abu Ubaid, adalah ucapan apapun yang tidak ada gunanya (sia-sia). Ada juga yang mengartikan: “Ucapan porno tentang wanita, baik wanita itu ada atau tidak.” Sedangkan, “fusuq” adalah semua bentuk kemaksiatan yang dilakukan kepada Allah. Sementara “jidal” adalah berbantah-bantahan, hingga sampai pada saling-menyerang. Inilah makna dari ketiganya.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ketika seseorang yang sedang menjalankan ibadah haji tidak boleh melakukan aktivitas lain, di luar haji, seperti aktivitas politik, bisnis dan sebagainya? Jawabannya kembali kepada aktivitas yang dilakukan, apakah aktivitas tersebut melanggar hukum syara’ atau tidak? Dengan kata lain, apakah aktivitas tersebut maksiat atau tidak? Jika tidak, maka tentu boleh.

Sebagai contoh, seorang petugas haji, yang bertugas melayani jemaah haji, mereka juga berhaji, pada saat yang sama mereka bertugas melayani jemaah. Melayani jemaah yang sedang berhaji adalah aktivitas di luar haji, bisa mubah, tetapi juga bisa wajib. Namun, adanya mereka mutlak diperlukan untuk melaksanakan ibadah haji. Di dalam ada petugas perlengkapan, keamanan, kesehatan, pembimbing, manajemen dan lain-lain.

Contoh lain, berdagang saat musim haji, selama tatacaranya tidak ada yang melanggar, dan yang dijual juga bukan barang haram, begitu juga akad ijarah, selama yang diakadkan adalah jasa yang halal, maka hukum berdagang dan ijarah saat berhaji juga boleh. Ini antara dinyatakan dalam Alquran, “Liyasyhadu manafi’a lahum.” (Agar mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat bagi diri mereka). (Q.s. al-Hajj: 28).

Konotasi, “manafi’a lahum” (manfaat bagi mereka) bersifat umum, bisa dalam bentuk barang maupun jasa. Begitu juga konotasi, “Liyasyhadu” (agar mereka bisa menyaksikan), tentu bukan hanya menyaksikan, tetapi juga meliputi konotasi benar-benar bisa mendapatkannya. Itu berari, mereka bisa berdagang atau melakukan akad ijarah agar bisa mendapatkan manfaat tersebut.

Aktivitas di Luar Haji
Karena itu, aktivitas di luar ibadah haji, yang terkait dengan syarat, rukun dan wajib, selama tidak melanggar hukum syara’, maka aktivitas tersebut tetap boleh dilakukan. Berpolitik, misalnya, dalam konteks politik Islam, yaitu mengurus urusan umat dengan hukum Islam, tentu bukan merupakan aktivitas yang melanggar hukum syara. Apalagi, jika aktivitas politik itu bisa berdampak luar biasa terhadap kemaslahatan umat. Kisah Sufyan at-Tsauri yang mengkritik Khalifah Abu

Ja’far al-Manshur, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, tentang penggunaan dana haji saat berhaji adalah contoh, bagaimana ulama di masa lalu, berhaji tetapi tetap melakukan aktivitas politiknya.

Ketika ada orang yang berhaji, kemudian melakukan aktivitas politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Sufyan at-Tsauri, tetapi dalam bentuk lain, seperti, “Tolak Pemimpin Kafir”, atau “Tolak Ahok Pemimpin Kafir”, atau mendoakan agar orang Kafir kalah, misalnya, adalah aktivitas politik yang tidak menyalahi hukum Islam. Justru sebaliknya. Bahkan, dengan aktivitas ini, akhirnya banyak orang melek, dan tahu hukum keharaman memilih orang Kafir.

Tetapi, jika sebaliknya, di Ka’bah menenteng poster berbunyi: “Kami Muslim, Dukung Ahok” jelas haram. Bahkan, dia telah melakukan dosa besar, yang dilipatgandakan dosanya. Karena mendukung orang Kafir menjadi pemimpin adalah haram. Ketika keharaman ini dilakukan di tanah haram, bahkan Masjidil Haram, maka keharaman seperti ini, menurut Imam Syafii, akan dilipatgandakan sanksinya.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa menolak pemimpin Kafir boleh, sedangkan mendukung pemimpin Kafir tidak boleh? Jawabannya, karena menolak pemimpin Kafir sudah jelas tindakan nahi munkar, yang hukumnya wajib. Sedangkan mendukung pemimpin Kafir merupakan amar munkar, mengajak orang lain melakukan kemunkaran, karena hukumnya jelas haram. Sebab, tidak ada satu pun ulama yang berbeda pendapat dalam memahami dalil tentang keharaman pemimpin Kafir.

Kalaulah hari ini ada yang membolehkan mengangkat orang Kafir menjadi pemimpin kaum Muslim, maka itu bukan ulama. Anehnya, mereka terus-menerus mengampanyekan kebolehan mengangkat pemimpin Kafir, di media, berbagai pengajian, bahkan pesantren dan masjid, yang nota bene adalah rumah Allah. Mereka ini benar-benar sudah tidak mempunyai rasa malu sedikit pun kepada manusia, apalagi malu kepada Allah.
Celakanya, pada saat yang sama, orang lain yang melakukan sebaliknya, menentang mereka dengan dasar Islam, dianggap telah mempolitisasi agama.

Sekularisasi Haji
Maka, ketika Islam tidak melarang orang berhaji melakukan aktivitas di luar haji, tetapi banyak orang Islam yang merasa risih, bahkan alergi ketika berhaji melakukan hal lain, selain ibadah saja. Kondisi seperti ini bisa disebabkan faktor sekularisasi haji, seolah haji ini ibadah, yang harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari urusan lain, di luar haji. Di sisi lain, kondisi seperti ini juga boleh jadi disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang ibadah. Ibadah, seolah hanya diartikan, sebagai ibadah mahdhah.

Padahal, konotasi ibadah dalam Islam sangat luas. Ibn Taimiyyah, misalnya, menjelaskan ibadah ini dengan gamblang, dan sangat luas: “Ibadah adalah sebutan yang bersifat menyeluruh untuk apa saja yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan.”

Itulah konotasi ibadah. Dengan demikian, ibadah bisa meliputi ibadah mahdhah, atau ibadah khusus, dan ibadah ‘ammah (umum). Ibadah mahdah adalah ibadah yang telah ditetapkan syarat, rukun dan wajibnya secara detail. Sedangkan ibadah umum tidak, kecuali hukum syara’ yang bersifat umum. Selama aktivitas tersebut tidak melanggar hukum syara’, atau sebaliknya selama aktivitas tersebut tetap dalam koridor melaksanakan hukum syara’, maka selama itu pula aktivitas tersebut bisa dihukumi sebagai ibadah, dalam konotasi umum.

Jadi, selama aktivitas tersebut tidak melanggar ketentuan hukum syara apapun, maka aktivitas tersebut boleh dilakukan saat berhaji. Tidak perlu risih, atau merasa tidak enak. Karena semuanya itu dibolehkan, bahkan ada yang diwajibkan oleh Islam. Jika tidak dilakukan, maka kita pun berdosa. Meski kita sedang berhaji. Contohnya adalah amar makruf dan nahi munkar itu.

Begitulah seharusnya kita memahami haji dengan benar, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain. Baik politik, ekonomi, pendidikan, maupun akhlak dan ibadah yang lain. Wallahu a’lam. []

KH Hafidz Abdurrahman, Ketua Mahad Syaraful Haramain
Mina, 13 Dzulhijjah 1437, 15 September 2016

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324808/haji-politik#sthash.e7MFSHnD.dpuf