Hidayah Itu Milik Allah, Nabi Pun Tak Punya Kuasa Atasnya

Hidayah Itu Milik Allah, Nabi Pun Tak Punya Kuasa Atasnya

PERNAKAH engkau merasa gregetan dengan orang-orang yang sudah diberitahu tapi masih juga ngeyel? Apalagi bila orang tersebut adalah murid atau santri, sedang Anda seorang guru atau ustadz.

“Sudah diajari berkali-kali, tetap nggak mau nurut. Akhirnya tangan kita melayang (memukul),” jelas KH Dr Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat berbincang-bincang dengan penulis di Pesantren al-Nahdlah, Bojongsari, Depok, Jawa Barat (Ahad, 13/2/2022) tentang pentingnya sabar dalam berdakwah.

Tindakan seperti ini, kata Ni’am, keliru. Sebab, dakwah itu butuh proses. “Dakwah itu butuh waktu. Tidak bisa simsalabim,” jelas alumnus Universitas al-Azhar, Kairo, ini lagi.

Bahkan, kita tidak dituntut hasil dari dakwah. Kita dituntut proses. Kita tidak diberi kewenangan untuk membuka hati orang lain. Hatta Nabi ﷺ sendiri, tidak punya kewenangan membuka hati orang lain.

“Tugas kita hanya menyampaikan saja. Kalau diikuti ya alhamdulillah. Kalau tidak, kita bersabar,” kata mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini lagi.

Kisah tentang Nabi Muhammad ﷺ  dan pamannya Abu Thalib patut kita ambil pelajaran tentang bagaimana manusia tak kuasa membuka hati seseorang. Rasulullah ﷺ  tak berhasil membuka hati paman yang beliau cintai ini agar mau memeluk Islam hingga sang paman menghembuskan nafas terakhirnya.

Padahal, Abu Thalib sangat dekat dengan Nabi ﷺ . Beliaulah pelindung dakwah Nabi ﷺ  sepeninggal kakeknya, Abdul Muthalib. Nabi ﷺ  amat menyayang pamannya. Begitu pun sang paman, amant mencintai Nabi ﷺ . Namun, menurut Shahih Bukhari dan Muslim, hingga ajal menjemput, Abu Thalib masih dalam keadaan kafir.

Abu Thalib meninggal dunia pada tahun kesepuluh dari kenabian, tepatnya beberapa waktu setelah pemboikotan berakhir. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ  mendatangi Abu Thalib ketika pamannya itu sedang menghadapi sakaratul maut. Namun, ketika tiba di kediaman Abu Thalib, Nabi ﷺ  mendapati Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah telah berada di sisi Abu Thalib.

Nabi ﷺ  segera berkata kepada pamannya. “Wahai pamanku, ucapkanlah tidak ada Tuhan selain Allah sebagai kalimat yang akan aku persaksikan untukmu di sisi Allah kelak.”

Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah, ketika mendengar seruan Nabi ﷺ , tak mau kalah membujuk Abu Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau telah membenci agama Abdul Muthalib (ayahnya Abu Thalib)?”

Nabi ﷺ  terus mengulang-ulang permintaannya dan berusaha menuntun Abu Thalib agar menyebutkan kalimat syahadat. Namun, seberapa kuat usaha Nabi ﷺ , pada akhirnya Allah Ta’ala jua yang berkehendak. Sang paman tetap tak menuruti permintaan keponakan yang sangat ia sayangi. Saat ajal menjemput, Abu Thalib berkata kepada keluarganya bahwa ia memilih agama Abdul Muthalib.

Tentang kejadian ini, Allah Ta’ala menjelaskan dalam al-Qur’an surat al-Qashash [28] ayat 56, “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH