Hukum Upah bagi Pengumpul Donasi

Hukum Upah bagi Pengumpul Donasi

Gambaran kasus

Permasalahan dalam kasus ini dapat digambarkan sebagai berikut, yaitu: memberikan nisbah kepada pengumpul donasi dari total donasi yang dikumpulkannya sebagai bentuk kompensasi atas aktivitasnya tersebut, baik kompensasi itu diberikan dalam bentuk gaji (raatib) atau upah (mukaafa’ah).

Tinjauan fikih terhadap akad

Terdapat 3 tinjauan terhadap akad yang berlangsung antara lembaga sosial dan pekerja yang ditugaskan mengumpulkan donasi.

Tinjauan pertama

Tinjauan pertama memandang bahwa akad yang terjadi antara yayasan dan pengumpul donasi merupakan syirkah mudharabah. Alasannya, pengumpul donasi melakukan pekerjaan terlebih dahulu (yaitu mengumpulkan donasi), kemudian lembaga sosial memberikan kompensasi berupa nisbah dari hasil pekerjaannya tersebut.

Namun, tinjauan bahwa akad antara keduanya merupakan syirkah mudharabah dapat dikritisi dari dua sisi, yaitu:

Pertama: Lembaga sosial tidak mengeluarkan modal, tapi donaturlah yang menyediakannya. Di mana antara donatur dan pengumpul donasi tidak memiliki kesepakatan pembagian nisbah. Sehingga tidak tepat jika menyatakan bahwa akad yang terjadi antara lembaga sosial dan pengumpul donasi adalah akad mudharabah.

Kedua: Pengumpul donasi bukanlah mudharib yang berperan mengelola dan mengembangkan modal. Oleh karena itu, ia tidak berhak memperoleh upah.

Tinjauan kedua

Tinjauan kedua memandang bahwa akad yang terjadi antara yayasan dan pengumpul donasi adalah akad ijarah. Pengumpul donasi melakukan aktivitas pengumpulan donasi sebagai kompensasi atas upah yang diterima dari lembaga sosial.

Kritik terhadap tinjauan ini adalah aktivitas pekerjaan yang dilakukan pengumpul donasi tidak diketahui secara spesifik sehingga tidaklah sah transaksi tersebut dilakukan.

Tinjauan ketiga

Tinjauan ketiga memandang bahwa akad yang terjadi antara yayasan dan pengumpul donasi adalah akad ju’alah, karena pekerjaan pengumpul donasi merupakan aktivitas yang berfokus pada hasil pekerjaan dan bukan jenis pekerjaan itu. Dan sebagaimana dinyatakan oleh ahli fikih, dalam akad ju’alah aktivitas pekerjaan yang diketahui secara spesifik bukanlah syarat. As-Suyuthi rahimahullah menjelaskan sisi perbedaan antara ijarah dan ju’alah dalam pernyataannya,

افترقا في أمرين: أحدهما: تعيين العامل في الإجارة دون الجعالة، والآخر: العلم بمقدار العمل معتبر في الإجارة دون الجعالة.

Akad ijarah dan ju’alah berbeda dalam dua hal. Pertama: dalam akad ijarah pekerja ditentukan, tapi tidak  demikian dalam akad ju’alah. Kedua: ukuran pekerjaan harus diketahui dalam akad ijarah, tapi tidak demikian dalam akad ju’alah.[1]

Berdasarkan uraian di atas, bentuk akad yang lebih sesuai dengan gambaran kasus adalah akad ju’alah karena syarat-syarat akad ju’alah terpenuhi pada model transaksi yang dilakukan antara lembaga sosial dan pengumpul donasi.

Hukum mengambil upah dari donasi yang dikumpulkan

Tersisa pertanyaan, apakah sah akad ju’alah atas kompensasi yang disepakati antara lembaga sosial dan pengumpul donasi tanpa sepengetahuan donatur? Ahli fikih kontemporer berbeda pendapat dalam menilai hukumnya.

Pendapat pertama

Transaksi ju’alah yang demikian itu diperbolehkan meski tanpa sepengetahuan donatur. [2]

Dalil bagi pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala di surah At-Taubah ayat 60,

وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا

“(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk) … pengurus-pengurus zakat (amil zakat).” (QS. At-Taubah: 60)

Allah Ta’ala menetapkan bagian bagi pengurus zakat yang besarannya disesuaikan dengan aktivitas mereka dalam mengumpulkan zakat. Oleh karena itu, dalam konteks sedekah sunah, lebih layak lagi orang yang bertugas mengumpulkan donasi turut diberikan bagian karena lingkup sedekah lebih luas daripada lingkup zakat. [3]

Selain itu, pendapat ini ditopang dengan alasan bahwa upah yang diambil oleh pengumpul donasi ini merupakan imbal jasa atas upaya dan waktu yang telah mereka kerahkan. Tidak jarang mereka juga mengeluarkan uang dalam mengumpulkan donasi. [4] Demikian juga, upah ini juga bisa menjadi stimulus bagi pengumpul donasi untuk mengerahkan upaya yang maksimal dalam mengumpulkan donasi. [5]

Meski demikian, terdapat ahli fikih seperti Dr. Abdul Karim Zaidan yang memberikan syarat, yaitu meski diperbolehkan, hendaknya upah tersebut disesuaikan dengan aktivitas pekerjaan mereka dan bukan berdasarkan persentase dari donasi yang dikumpulkan. [6]

Pendapat kedua

Upah bagi pengumpul donasi tidak diperbolehkan. [7] Dalil bagi pendapat ini adalah alasan bahwa donatur tidak berniat mendonasikan hartanya kepada pengumpul donasi tersebut. [8] Meski pengumpul donasi menerima upah tersebut dari lembaga sosial yang menaunginya, namun peran lembaga sosial hanya sebagai wakil donatur dalam mendistribusikan donasi. Lembaga sosial tidak berhak untuk mengelola harta tersebut layaknya pengelolaan yang dilakukan oleh pemilik harta.

Pendapat terpilih

Dalam kasus ini perlu mempertimbangkan dua hubungan berikut. Hubungan pertama adalah antara lembaga sosial dan pengumpul donasi. Interaksi yang terbentuk di antara mereka adalah akad ju’alah. Akad ini boleh seperti yang telah disinggung sebelumnya.

Hubungan kedua adalah hubungan antara donatur dan pengumpul donasi, di mana pengumpul donasi mengambil upah pekerjaannya dari donasi. Apakah hal ini diperbolehkan?

Tentu saja jika donatur mengizinkan upah tersebut diperbolehkan. Namun, jika donatur tidak mengizinkan, maka kasus ini tercakup dalam aktivitas pekerja yang dibatasi oleh kehendak donatur. Apakah pengumpulan donasi tercakup dalam izin ini?

Pendapat terpilih dalam kasus ini adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Thalib ibn Umar al-Katsiri. Beliau menyatakan [9],

Apabila donasi bersifat spesifik, peruntukannya ditujukan pada individu atau pemanfaatan tertentu, seperti donasi untuk kafalah anak yatim atau pembangunan masjid, maka pengumpul donasi tidak boleh mengambil upah dari donasi tersebut. Hal ini karena dilihat dari kebiasaan dan praktik bagi kepentingan donatur, donasi seperti ini tidak mencakup izin donatur untuk menyisihkan sebagian donasi untuk dijadikan upah bagi pengumpul donasi.

Apabila donasi itu bersifat umum, maka upah bagi pengumpul donasi boleh diambil dari donasi tersebut. Pada dasarnya, lembaga sosial telah memperoleh izin dari donatur untuk mengelola harta yang didonasikan secara umum.

Apabila pengumpul donasi memperoleh gaji dari lembaga sosial, maka tentu hal ini diperbolehkan karena tidak ada lagi hubungan mu’awadhah antara pengumpul donasi dan donatur. Dengan demikian, gaji dapat diberikan tanpa sepengetahuan dan izin donatur. Namun, sepatutnya memperhatikan dua hal berikut:

Pertama, apabila pengumpul donasi diberi gaji, maka sepatutnya memenuhi upah standar atau kurang dari itu, dengan memperhatikan tingkat kesulitan pekerjaan, keperluan yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan, tingkat keahlian, dan pengalaman. Cara terbaik dalam menentukan gaji bagi pengumpul donasi adalah dengan menetapkan gaji secara pertengahan antara batas atas dan batas bawah dari tingkat upah yang diterima secara umum. [10]

Kedua, apakah sebaiknya upah pengumpul donasi diberikan berupa gaji atau persentase dari donasi yang dikumpulkan? Upah berupa persentase dari donasi yang dikumpulkan lebih bermanfaat bagi lembaga sosial karena terkadang jumlah donasi yang diperoleh tidak seberapa sehingga tidak mampu memenuhi gaji yang ditetapkan. [11]

Akan tetapi, jika jumlah donasi meningkat sangat banyak, maka boleh jadi memberikan upah berdasarkan persentase dari donasi yang dikumpulkan tidak pernah sesuai dengan besar upaya yang dilakukan oleh pengumpul donasi. Hal tersebut bisa terjadi karena minimnya pengawasan dari lembaga sosial dalam mendistribusikan harta donasi. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ[12] فِيْ مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sungguh, orang yang menyelewengkan harta Allah akan memperoleh neraka pada hari kiamat.[13]

Dalam kondisi ini, lembaga sosial hendaknya menempuh cara moderat dalam memberikan upah bagi pengumpul donasi. [14]

Wallahu a’lam.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/75179-hukum-upah-bagi-pengumpul-donasi.html