Ini Alasan Keharaman Jual Beli Poin Fiktif dan Transaksi Fiktif

Setelah kita mengkaji mengenai kedudukan harta POIN Telkomsel yang kedudukannya adalah sah sebagai harta, disebabkan adanya pola penukaran yang disampaikan oleh Telkomsel, maka sekarang, mari kita mengkaji mengenai adanya kemungkinan poin fiktif.

Kita sebelumnya sudah memetakan bahwa POIN yang sah sebagai harta, adalah POIN yang memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Bisa ditukar dengan barang, yang mana barang daya tukarnya dijamin keberadaannya oleh perusahaan itu sendiri, yaitu Telkomsel. Untuk Telkomsel, sebenarnya hanya menghargai 1 POIN Telkomsel sebagai 100 rupiah. Harta POIN yang semacam ini lahir dari buah relasi akad dlaman.
  2. Bisa dijadikan bukti transaksi oleh pihak lain (Mitra Telkomsel) untuk menagih kepada Telkomsel bahwa telah terjadi penukaran POIN oleh konsumen kepada diri Mitra. Harta POIN semacam ini adalah lahir dari akad bai’ ma fi al–dzimmah bi ma fi al-dzimmah, atau bai’ al-dain bi al-dain, yaitu seolah utangnya Telkomsel dibeli oleh Mitra sehingga penagihan utang konsumen kepada Telkomsel beralih menjadi penagihan Mitra kepada Tekomsel. Akad semacam ini merupakan buah dari relasi akad hiwalah.

Syarat sah terjadinya akad hiwalah, adalah apabila besaran utang Telkomsel kepada Konsumen adalah sama besar dengan utangnya Konsumen kepada Mitra Telkomsel. Alhasil, akad hiwalah terjadi karena pengalihan tanggungan penagihan terhadap utang tersebut.

Bagaimana dengan POIN Fiktif?

Berbekal rincin analisis di atas, maka yang dimaksud dengan poin fiktif, adalah:

  1. POIN yang diterbitkan itu tidak memiliki jaminan nilai tukar terhadap barang. Pihak penerbit POIN tidak mencantumkan skema penukarannya sama sekali. Alhasil, keberadaannya tidak memenuhi relasi akad dlaman (penjaminan).
  2. POIN yang diterbitkan tidak memenuhi unsur sebagai bukti penagihan utang disebabkan karena suatu pekerjaan atau jasa yang dijanjikan.
  3. Maksud dari bukti penagihan utang adalah bukti karena pihak konsumen telah melakukan pekerjaan tertentu sehingga ia berhak atas ujrah (upah) yang dijanjikan oleh perusahaan penerbit POIN. Misalnya, karena saya sudah membeli pulsa, maka saya berhak atas 2 POIN. 1 POIN bisa digunakan untuk membeli pulsa dengan dskon 2.500 rupiah ke Aplikasi Hotel Murah (Mitra Telkomsel). Alhasil, dengan skema ini, saya berhak menagih uang sebesar 2.500 rupiah tersebut ke Telkomsel, yang mana saluran penagihannya bisa dilakukan lewat Mitra. Sementara itu, karena pihak Mitra sudah menalangi utangnya Telkomsel ke pemilik POIN, maka Mitra berhak menagih ke Telkomsel. Jadilah kemudian POIN adalah bukti transaksi yang meniscayakan Mitra menagih Telkomsel.
  4. Karena tidak menyatakan bukti penagihan / pekerjaan apapun, maka POIN tidak bisa disebut memiliki nilai (qimah). Sebagaimana kasus di atas, apabila pihak Telkomsel tidak menjalin akad kemitraan dengan Mitra Telkomsel, maka bagaimana pihak Mitra mahu menagih ke Telkomsel? Sudah pasti tidak bisa dilakukan.

Akad sebagaimana tergambar dalam ilustrasi di atas, merupakan  contoh gambaran sederhana dari keberadaan POIN fiktif. Oleh karenanya, pengalihan tanggungan penagihannya kepada pihak Mitra, adalah seolah-olah berlaku akad bai’ al-dain bi al-ma’dum, yaitu jual beli utang dengan sesuatu yang fiktif.

Bagaimana hukum menjualbelikan POIN tak berjamin utang atau bukti penagihan seperti ini? Sudah pasti jawabannya adalah hukumnya haram, sebab sama saja dengan telah melakukan praktik jual beli barang tidak ada (fiktif). Dalam istilah modern, transaksi seperti ini dikenal sebagai transaksi mondial (transaksi fiktif).

Di mana Praktik Transaksi POIN Fiktif ini kita temukan?

Dunia online merupakan dunia yang serba kompleks. Transaksi jual beli secara online, masuk rumpun transaksi syaiin mauhuf fi al-dzimmah, yaitu transaksi jual beli sesuatu yang bisa disifati dan bisa dijamin pengadaannya.

Karena obyeknya yang hanya terdiri dari sesuatu yang bisa disifati ini, maka seringkali terjadi penyalahgunaan oleh para developer Platform. Beberapa aplikasi seperti Alimama ApkVtube, Memiles, Share4Pay, Goins, Cashzine, adalah contoh-contoh dari aplikasi yang menjanjikan adanya POIN, namun tidak memiliki underlying asset (aset penjamin).

Dalam ranah cryptocurrency, ada PT Rechain Vidycoin Indonesia yang juga menerbitkan produk yang kurang lebih serupa. Mereka menawarkan harta dengan berbekal menonton Video iklan, atau menshare iklan, lalu memberikan poin kepada membernya berbekal menonton itu, namun POIN itu tidak memiliki nilai penukar atau bukti penagihan kepada perusahaan sama sekali.

Nah, POIN-POIN yang didapatkan dari mereka inilah, yang memenuhi syarat sebagai POIN Fiktif. Alhasil, mentraksasikannya adalah haram karena sama saja dengan jual beli barang ma’dum (barang tidak ada) namun dianggap ada sehingga seolah layak untuk dijualbelikan. Wallahu a’lam bi al-shawab

BINCANG SYARIAH