Jadikan Keluarga sebagai Pengikat Ketaatan, Bukan Musuh

SETIAP anggota keluarga memiliki porsi cinta dan kasih sayang masing-masing. Demikian fitrah yang digariskan bagi setiap manusia yang menjalani bingkai kehidupan berkeluarga.

Uniknya meski keluarga adalah orang-orang terdekat yang patut dikasihi dan dicintai, Allah Subhanahu Wata’ala justru mengingatkan hal sebaliknya.

Keadaan yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya. Yaitu, mereka juga bisa jadi musuh yang laik berhati-hati dengannya.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: at-Taghabun [64]: 14)

Disebutkan, alarm itu menyala jika keluarga tak lagi berfungsi sebagaimana fitrahnya, tempat meraih sakinah (kebahagiaan) mawaddah (kasih sayang), dan rahmat.

Allah mengingatkan, meski berbalut ikatan cinta yang halal, namun potensi yang terkandung pada dorongan syahwat bisa saja lepas tak terkendali.

Ibarat seekor kuda yang lepas dari tali kekangnya, hewan tunggangan yang semula jinak dan bersahabat tadi tiba-tiba berubah menjadi liar dan memusuhi tuannya sendiri.

Alhasil, semangat yang terbangun dalam keluarga bukan lagi spirit tanashuh (saling menasihati) dalam amal shalih dan ketaatan. Namun ia berubah menjadi sarana dalam mengerjakan keburukan dan kemaksiatan.

Imam al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata: Permusuhan yang terjadi di sini bukanlah secara hukum asal karena istri dan anak itu pada hakikatnya adalah karunia dari Allah.

Mereka berubah menjadi musuh atau lawan karena adanya perilaku menyimpang dan sifat buruk yang dipunyai anggota keluarga tersebut.

Sedang tiadalah perbuatan paling buruk dan dimusuhi oleh Allah kecuali yang berusaha memalingkan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.

Lebih jauh, Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir as-Sa’di menguatkan, tidaklah Allah menyebut sebagian keluarga sebagai musuh kecuali karena dampak yang ditimbulkan benar-benar berbahaya.

Ibarat musuh dalam suatu peperangan, maka yang musuh fikirkan hanyalah satu saja. Yaitu menjerumuskan lawannya kepada kebinasaan.

Inilah puncak badai yang terjadi dalam sebuah keluarga. Ketika di antara anggota keluarga justru saling menjauhkan dari beramal shalih dan taat kepada Allah.

Untuk itu, al-Hasan al-Bashri menyatakan: kata “min azwajikum wa auladikum” bermakna sebagian saja (li at-tab’idh).

Sebab hukum asal suatu pernikahan dalam Islam adalah sunnah. Sebagai sarana dan alat peraga efektif untuk saling menguatkan dalam hal kebaikan dan ketaatan di antara sesama mereka.

Dalam masyarakat, keluarga juga menjadi simpul awal dalam memproses potensi amanah dan kepemimpinan seseorang. Di saat yang sama, keluarga juga menjadi pondasi dasar seorang anak beroleh ilmu dari kedua orang tuanya.

Imam Ibnu Katsir lalu mengutip sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Malik al-Asy’ari. Nabi bersabda, ”Bukanlah permusuhan ini yang jika kalian membunuhnya maka kalian lalu merasa mendapatkan kemenangan. Sebagaimana kalian tak juga dapat jaminan masuk surga jika kalian terbunuh dan dikalahkan dalam permusuhan ini. Sebab boleh jadi musuh-musuhmu tak lain adalah anak keturunan yang lahir dari rahim tulang rusukmu sendiri.” (Riwayat ath-Thabrani).

Terakhir, Imam al-Qurthubi menyimpulkan tafsirannya, ayat ini mencakup perintah berhati-hati secara umum, baik kepada laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri.

Meskipun secara tersurat lebih ditujukan kepada laki-laki sebagai nakhoda utama dalam sebuah keluarga.

Namun dalam tataran realitas, tak ada jaminan jika titik permasalahan itu selalu bersumber dari istri dan anak. Sebab boleh jadi biang permusuhan itu justru datang dari sang suami yang notabene selaku kepala keluarga.*/Masykur Abu Jaulah

 

sumber:Hidayatullah