Kasih Sayang Islam dalam Jihad di Medan Perang

ISLAM adalah agama yang selalu mengedepankan kasih sayang. Nabi Muhammad ﷺ, juga diutus untuk menjadi rahmat bagi seantero alam (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Hatta dalam jihad dalam pengertian perang sekalipun, kasih sayang Islam juga masih terpancar.

Beberapa poin berikut –yang disarikan dari kitab “Minhāj al-Muslim” (274-275) karya Syeikh Abu Bakar Al-Jazairy–bisa menjadi bukti pancaran kasih sayang tersebut. Pertama, perang tak akan digulirkan sebelum dilangsungkan dakwah.

Dalam Islam, memang perang adalah opsi terakhir ketika langkah-langkah berikut sudah tidak efektif lagi atau justru Islam yang diserang lebih dahulu maka inilah urutannya: (1) mengajak masuk Islam (2) membayar jizyah jika menyerah (3) berperang.

Mengenai hal itu, Muslim meriwayatkan, “Rasulullah ﷺ jika mengangkat komandan tentara atau angkatan perang, beliau memberikan wasiat khusus agar bertaqwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda: “Jika engkau bertemu musuhmu dari kaum musyrikin, ajaklah mereka kepada tiga hal. Bila mereka menerima salah satu dari ajakanmu itu, terimalah dan jangan apa-apakan mereka, yaitu: ajaklah mereka memeluk agama Islam, jika mereka mau, terimalah keislaman mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka ke negeri kaum muhajirin.”

Kemudian, “Jika mereka menolak, katakanlah pada mereka bahwa mereka seperti orang-orang Arab Badui yang masuk Islam, mereka tidak akan memperoleh apa-apa dari harta rampasan perang dan fai’ (harta rampasan tanpa peperangan), kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Bila mereka menolak (masuk Islam), mintalah mereka agar membayar upeti. Jika mereka menyetujui, terimalah hal itu dari mereka. Lalu, bila mereka menolak, mintalah perlindungan kepada Allah dan perangilah mereka.”

Kedua, tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, tua renta dan pendeta (pemuka agama) jika mereka tidak terlibat perang. Ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:

انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلاَ طِفْلاً وَلاَ صَغِيرًا وَلاَ امْرَأَةً

“Berangkatlah (ke medan perang) dengan nama Allah, dengan Allah, dan di atas millah Rasulullah. Janganlah membunuh orang tua jompo, anak-anak, bayi, dan perempuan.” (HR. Abu Dawud)

Kelima, tidak boleh memutilasi musuh. Suatu ketika, Samurah bin Jundab bercerita:

كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحُثُّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ وَيَنْهَانَا عَنْ الْمُثْلَةِ

“Sesungguhnya Nabi menyuruh kami bersedekah dan melarang mutilasi.” (HR. Abu Daud)

Di sini betapa terpancar jelas bagaimana kasih sayang Islam hingga dalam peperangan. Musuh yang sudah mati dan tak berdaya, tidak boleh dimutilasi.

John Madalam buku “Saladin The Life, the Legend and the Islamic Empire” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Shalahuddin al-Ayyubi: Riwayat Hidup, Legenda, dan Imperium Islam (2017: 33) mengisahkan pembantaian yang cukup mengerikan yang dilakukan saat pasukan Salib merebut Yerusalem pada tahun 1099. Katanya, anak-anak, pria, wanita dibantai. Hukuman penggal kepala katanya disebut sebagai belas kasih. Ada juga yang ditusuk dengan panah, dilempar dari menara, dibakar hidup-hidup hingga mati dan ada disiksa dalam waktu yang lama.

Beberapa bukti yang disebut tadi menunjukkan sejauh mana kasih sayang Islam yang tetap tercermin hingga dalam kondisi genting peperangan sekalipun. Dalam hal ini, sepanjang sejarah umat manusia, umat Islam –tentunya yang mengikuti petunjuk Nabi—menjadi teladan yang baik dalam menerapkan kasih sayang hingga dalam peperangan.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH