Kejahatan Zionis ‘Israel’ di Gaza

Kejahatan Zionis ‘Israel’ di Gaza

Penjajah ‘Israel’ –yang didukung mati-matian Amerika—bisa saja lolos dari pengadilan internasiona atas kejahatannya, tapi Zionis tak akan lepas dari pengadilan sejarah

Oleh: Alwi Alatas

SEJAK tanggal 7 Oktober 2023 lalu, Perang di Gaza sudah berlangsung sekitar tiga bulan, dan perang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan ada indikasi perang semakin meluas ke beberapa belahan dunia lainnya.

Gaza sudah hancur lebur dihujani bom, jumlah korban jiwa mencapai 22.000 orang. Dua pertiga dari angka itu adalah perempuan dan anak-anak. Jumlah yang luka-luka mencapai 57.000 orang, dan sebagian besar penduduk kehilangan tempat tinggal mereka (Israel maintains onslaught,” 2024).

Kita sulit membayangkan bagaimana zionis ‘Israel’ mampu melakukan kejahatan kemanusiaan semacam ini, walaupun kita tahu ini bukan pertama kalinya negara Apartheid ini melakukan kejahatan dan kekejian terhadap warga Palestina. Kejahatan ini telah didukung pula secara terbuka oleh Amerika Serikat dan beberapa sekutu Eropanya.

Kita mungkin pernah membaca tentang teori konspirasi. Dikatakan bahwa kitab suci Yahudi menganggap bahwa orang-orang goyim (non-Yahudi) sebagai hewan atau separuh hewan. Juga ada yang menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi pada masa sekarang ini telah mengendalikan negara-negara besar di Barat, bahkan mengendalikan dunia.

Teori konspirasi sebenarnya perlu dihindari atau dibaca dengan sangat hati-hati, karena banyak kandungannya yang berlebihan, tidak masuk akal, dan tidak ilmiah. Namun, pada hari-hari ini kita terkejut mendengar ucapan dan tindakan para petinggi zionis terkait perang yang banyak membunuh masyarakat sipil di Gaza, yang sepertinya mengkonfirmasi sebagian dari narasi konspiratif yang ada.

Dua hari setelah dimulainya perang, pada tanggal 9 Oktober, menteri pertahanan ‘Israel’, Yoav Gallant, memerintahkan pengepungan Gaza secara total. Akses terhadap makanan, bahan bakar, dan listrik sepenuhnya ditutup, yang berarti akan berdampak pada seluruh penduduk sipil di Gaza, bukan hanya pada anggota Hamas.

Gallant kemudian mengatakan, “Kita sedang memerangi manusia-manusia hewan dan kami bertindak sesuai dengan hal itu” (We are fighting human animals and we are acting accordingly) (Fabian, 2023; Israel’i defence minister, 2023).

Pada akhir Oktober, Dan Gillerman, mantan dubes ‘Israel’ di PBB, menyebut orang-orang Palestina sebagai “hewan-hewan yang biadab” (inhuman animals). Ia juga merasa heran mengapa masyarakat dunia menaruh perhatian yang besar terhadap nasib penduduk Gaza (Kasim, 2023).

Kemarahan zionis tidak hanya diarahkan kepada Hamas, tetapi kepada seluruh penduduk Gaza. Presiden ‘Israel’, Isaac Herzog, menyatakan bahwa “seluruh bangsa [Palestina] di luar sanalah [Gaza] yang bertanggung jawab” (It is an entire nation out there that is responsible) (Blumenthal, 2023). Artinya, ia sama sekali tidak membedakan antara militer dan sipil yang berada di Gaza.

Seorang menteri ‘Israel’ bahkan sempat menyarankan untuk membom Gaza dengan nuklir, yang kemudian menimbulkan kecaman serta pertanyaan dari sejumlah negara tentang kapasitas dan ancaman nuklir negara zionis itu (Lederer, 2023).

Bisa saja dikatakan bahwa semua itu hanyalah ungkapan emosi dan kemarahan para pejabat ‘Israel’ disebabkan serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023. Namun, penggambaran orang-orang Palestina sebagai hewan bukan baru muncul dalam tiga bulan terakhir ini saja.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Hebrew University pada tahun 2003 tentang buku-buku teks di ‘Israel’, misalnya, mendapati bahwa orang-orang Arab digambarkan sebagai “seekor unta, dalam pakaian Ali Baba” (a camel, in an Ali Baba dress) (McGreal, 2023).

Sikap dan tindakan ‘Israel’ di dalam Perang Gaza ini juga dapat dikatakan sejalan dengan apa yang mereka ucapkan di atas. Jumlah korban di Gaza sejauh ini menunjukkan bahwa dalam setiap jam rata-rata 6 orang mati terbunuh.

Tentara zionis ‘Israel’ tanpa ragu dan malu menyerang sejumlah rumah sakit, sekolah, masjid, gereja, dan rumah penduduk sipil. Warga sipil Gaza secara jelas menjadi target serangan tentara ‘Israel’.

Para jurnalis, yang semestinya termasuk yang mendapat perlindungan, banyak yang gugur selama perang ini. Jumlahnya tidak main-main. Sebuah laporan menyebutkan bahwa sejak tanggal 7 Oktober 2023 hingga 5 Januari 2024, setidaknya 77 jurnalis telah menjadi korban di Gaza (“Journalist casualties,” 2024). Ini hampir mencapai rata-rata satu orang per hari. Bahkan ada laporan yang menyebutkan bahwa sudah lebih dari 100 jurnalis di Gaza mati terbunuh.

Sebuah potongan video memperlihatkan betapa seorang tentara ‘Israel’ sambil tersenyum mengatakan bahwa ia mungkin telah membunuh gadis berusia dua belas tahun. Tapi sebenarnya ia mencari bayi (untuk dibunuh). Namun, sudah tidak ada lagi bayi yang tersisa (“Israel’i soldiers,” 2023).

‘Israel’ berkeinginan untuk mengusir warga Gaza keluar dari wilayah itu. Namun, negara-negara Arab menolak untuk menerima para pengungsi Palestina. Pemerintah ‘Israel’ dikatakan telah melakukan pembicaraan dengan pemerintah Kongo tentang kemungkinan pemindahan warga Gaza ke negara Afrika itu (Yerushalmi, 2024).

Tetapi hal ini kemudian dibantah oleh pemerintah Kongo, bahwa sama sekali tidak ada pembicaraan tentang hal itu (“Congo denies that it’s in talks with Israel,” 2024).

Kekejian dan kejahatan perang ini telah membuka mata banyak orang seluruh dunia. Namun, anehnya Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat, yang selama ini selalu menguliahi dunia tentang nilai-nilai kemanusiaan, tanpa rasa malu menutup mata terhadap apa yang berlaku di Gaza.

Amerika Serikat sudah dua kali memveto upaya Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi gencatan senjata bagi perang di Gaza (Nichols, 2023).

Sejak awal Joe Biden menyatakan bahwa Amerika memberi dukungan kepada ‘Israel’ tanpa syarat. Amerika juga memberi dukungan keuangan, senjata, dan juga ikut mengirimkan tentara bagi membantu ‘Israel’ dalam perang di Gaza.

Hal ini membuat pemerintah Amerika kehilangan simpati dunia, semakin dimusuhi di Timur Tengah, semakin diprotes oleh rakyatnya sendiri, dan semakin tergerus keuangannya dalam membiayai perang.

Amerika Serikat yang merupakan negara super power itu seperti takut dan tunduk sepenuhnya terhadap ‘Israel’. Dalam beberapa kesempatan, pejabat Amerika Serikat menampakkan rasa tidak nyaman dan menunjukkan sikap yang agak berbeda dengan ‘Israel’, tetapi pada akhirnya tetap saja mereka membantu ‘Israel’. Begitu besarnyakah pengaruh lobi Yahudi di Amerika Serikat hingga pemerintah Amerika terpaksa menuruti semua kemauan negara zionis itu?

Apa yang dilakukan ‘Israel’ di Gaza selama perang ini dianggap telah memenuhi bukti untuk dikatakan sebagai kejahatan perang. Amnesty International, misalnya, menyimpulkan bahwa tindakan ‘Israel’ di Gaza “harus diselidiki sebagai kejahatan perang” (“Damning evidence,” 2023).

Hamas juga dituduh oleh beberapa pihak telah melakukan kejahatan perang, karena melakukan pembunuhan dan penculikan pada tanggal 7 Oktober 2023. Terlepas dari itu, kita dapat melihat perlakuan manusiawi Hamas terhadap tawanan saat dilakukan pertukaran tahanan. Para tahanan Hamas dikembalikan dalam keadaan baik dan tidak melaporkan sebarang siksaan atau yang semisalnya selama berada di Gaza. Bahkan ada tawanan remaja yang kembali ke ‘Israel’ bersama anjingnya.

Hal yang sama tidak terjadi terhadap penduduk sipil Palestina yang ditahan oleh ‘Israel’, baik di Gaza maupun di Tepi Barat. Sebuah keluarga di Gaza, misalnya, menceritakan apa yang ia dan yang lainnya alami saat ditahan tentara ‘Israel’. Ia dan anak-anaknya mengibarkan bendera putih saat tentara ‘Israel’ membuldoser rumah-rumah penduduk. Rumah mereka digeledah, uang dan telefon mereka dirampas.

Mereka kemudian dibawa dengan truk bersama sejumlah orang lainnya, dalam keadaan ditutup matanya dan yang lelaki dibuka pakaiannya. Setelah itu mereka dikumpulkan di sebuah bangunan, diinterogasi, dipukuli, dan tidak bisa tidur karena lantainya penuh berisi butiran beras yang menggores kulit-kulit mereka. Ada dua anak lelaki yang ditembak mati karena mencari air. Mereka juga menyiksa anak-anak selama proses penahanan itu.

Salah seorang korban penahanan itu menyebutkan bahwa tentara-tentara ‘Israel’ terus menerus berkata, “Kamu semua adalah Hamas.” Ia tidak bisa melupakan apa yang telah dialaminya. “Kebencian mereka terhadap kami tidak wajar, seolah kami adalah makhluk yang lebih rendah (lesser beings).”

Seorang korban lainnya berkata, “Mereka memiliki rasisme yang luar biasa. Mereka sangat membenci kami. Ini bukan tentang Hamas. Ini tentang memusnahkan kita semua. Ini tentang genosida, yang ditandatangani oleh [Presiden AS] Biden.”

Para tawanan Gaza di atas mengalami siksaan itu selama lima hari, sebelum akhirnya dibebaskan. Tapi mereka merasa seolah telah ditahan selama lima tahun lamanya. “It was hell on earth,” ujar salah seorang dari mereka (Alsaafin & Humaid, 2023).

Zionis ‘Israel’ juga telah dituduh mencuri organ dari jenazah-jenazah warga Palestina di Gaza. Ini merupakan satu bentuk kejahatan yang lain yang perlu diperiksa. Dan ini bukan pertama kalinya ‘Israel’ dituduh mengambil organ jenazah Palestina tanpa izin keluarganya.

Seorang dokter ‘Israel’ bernama Meira Weiss, misalnya, menyebutkan di dalam bukunya bahwa antara tahun 1996 dan 2002 organ-organ tubuh telah diambil dari jenazah-jenazah Palestina untuk keperluan riset medis dan untuk ditransplantasikan ke pasien-pasien ‘Israel’ (Askew, 2023).

Beberapa upaya telah dilakukan untuk membawa kejahatan perang ‘Israel’ ke pengadilan internasional, antara lain ke International Criminal Court (ICC). Tapi apakah pengadilan internasional tersebut akan menerapkan standar ganda juga terkait apa yang dilakukan negara zionis tersebut, kita masih harus menunggu. Mungkin saja ‘Israel’ akan lolos dari tuntutan semacam itu, tetapi ia tidak akan pernah bisa lepas dari pengadilan sejarah.*/Kuala Lumpur, 25 Jumadil Akhir 1445/7 Januari 2024

Penulis adalah staf akademik di International Islamic University Malaysia (IIUM)

HIDAYATULLAH