Kemanakah Tujuan Akhir Perjalanan Kita?

Sungguh selama ini kita telah tersesat begitu jauh. Kita telah berjalan tanpa arah. Siapapun itu orangnya, pasti kita pernah mengalami ketidakjelasan arah kehidupan kita dalam hutan belantara dunia yang hina dan fana ini. Hanya sebahagian orang saja yang beruntung yang mampu kembali kepada kodratnya sebagai hamba karena mendapatkan hidayah dan rahmat Allah. Bukankah kita semua telah berjanji kepada Allah, Tuhan sekalian  alam, pencipta alam raya dan semesta, bahwa kita semua ini adalah hambaNya.

Bukankah kita sudah berjanji dan sekaligus mengakui dengan cukup tegas saat kita berada di dalam rahim ibunda kita karena kasih sayangNya. Bukankan kita sudah berikrar bahwa Allah adalah Tuhan kita, yang konsekuensinya seluruh kehidupan kita akan diarahkan untukNya dan di jalanNya. ‘Alastu birobbikum, Qooluu balaa syahidna.  Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Allah bertanya dan kita pun menjawab Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS. Al A’raf 172)

Bahkan saat kita lahirpun, kita diingatkan kembali oleh Allah melalui orang tua kita dengan Adzan di telinga kanan dan iqomah di telinnga kiri. Kita diingatkan bahwa kita ini bukanlah siapa-siapa. Kalau tidak karena rahmat dan kasih sayangNya, niscaya kita ini tak akan pernah ada di muka bumi ciptaanNya ini dan menjadi seperti sekarang ini. Saat Adzan dan iqomah itu, kita kembali dikenalkan dengan Allah sekaligus sebagai proses belajar awal kita yang pertama bahwa hanya Allah lah pencipta kita dan sesembahan kita.

Oleh karena itu, dan selayaknyalah kita harus bersyukur atas semua anugerah yang telah di berikan kepada diri kita. Kita harus bersyukur atas kelahiran kita, kesempurnaan anggota tubuh kita hingga kesehatan kita dan kesempatan kita yang masih bisa merasakan diasuh orang tua hingga sekarang ini. Sungguh kita beruntung menjadi manusia sempurna. Tidak seperti sebagaian saudara kita yang lain, yang ditakdirkan menjadi yatim piatu sejak lahir atau dalam perjalanan hidupnya. Atau menjadi manusia yang diuji Allah dengan keterbatasan, baik dalam fisiknya ataupun pikiran dan jiwanya.

Meskipun kasih sayang dan nikmat Allah begitu besar tercurah kepada diri kita, sudahkan kita merasakan lembutnya kasih sayang Allah itu semua? Sehingga bergetarlah hati kita, lalu tergerak keras untuk mensyukurinya dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya? Atau kita abai dan merasa bahwa perjalan hidup kita ini laksana roda yang berputar? Tidak ada yang mendisain dan semua ada dan wujud dengan sendirinya? Mari kita jawab pertanyaan di atas itu dengan hati dan nurani kita?

Saudaraku, sudahkah kita memenuhi dan membayar semua janji suci kepada Allah yang tanpa noda sebagaimana surat Al A’raf 172 di atas? bahkan dalam setiap sholat kita pun, komitmen suci dan janji setia itu juga selalu dan berulang kali kita baca. Dalam doa iftitah, kita berulang kali berikrar, Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathoros samawati wal ardha, hanifam muslimau wama ana minal musyrikin. Innassolati, wanusuki wamahyaya wamamati lillahirannbil alamain. La syarikalahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin.

Tak hanya itu, dalam sehari semalam pun, berulang kali kita juga ucapkan komitmen ketertundukan kita kepadaNya, dalam bacaan suratul fatehah di dalam sholat kita. Tak kurang dari 17 kali kita membaca komitmen ketertundukan itu dalam setiap rakaat sholat yang kita jalani. Iyyaka nakbudu waiyyaka nastain. Kepadamulah kami menyembah (ya Allah), dan kepadamulah kami meminta pertolongan. (QS Alfatehah 5). Belum lagi komitmen ketertundukan itu juga kita baca dalam doa-doa lainnya yang ada dalam sholat maupun doa istigfar kita dan serta wirid-wirid yang lain yang kita baca seusai sholat.

Tapi sudahkah itu menjadi kesadaran haqiqi atas kehidupan kita? Jawabannya sederhana. Kalau dalam kehidupan kita sehari-hari, kita merasakan sentuhan halus kehadiran Allah di manapun kita berada, sungguh dan perasaan itu juga selalu menyertai setiap langkah kita, maka itu tandanya kita sudah mewujudkan komitmen ketertundukan itu. Apa ukurannya, rasa halus kehadiran Allah itu bisa diwujudkan dalam bentuk perasaan yang ringan pada diri kita dalam bergegas menuju beribadah dan beramal sholeh sebagai perwujudan nyata pengakuan kehambaan kita kepada Allah. Sebab, ibadah kita itu sejatinya adalah bukti rasa syukur kita sebagai hamba atas semua nikmat dan karuniaNya.

Kedua, kalau kita selalu berfikir dan merasa ringan untuk mau dan mampu membantu orang lain dan merasa sayang kepada semua mahluk Allah. Tidak hanya kepada sesama manusia rasa sayang kita tunjukkan, tetapi juga kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan serta mahluk lainnya. Ketiga, jika diri kita merasa kecil dan tak ada sedikitpun rasa kesombongan atas apa yang sudah kita capai, baik dalam hal ilmu maupun materi dan kedudukan kita. Sifat merasa diri kita selalu butuh hanya kepada Allah dan tidak sombong yang mewarnai setiap langkah kehidupan kita itulah yang disebut dengan sifat tawadlu’.

Jika kita sudah bisa merasakan kehadiran tiga hal di atas, maka itu bukti Awal bahwa komitmen ketertundukan kita kepada Allah masih kita pegang dan kita laksanakan sampai sekarang. Dan Allah berjanji dengan cukup indah dan jelas akan menghargai dan membalas hamba-hambaNya yang taat dan pandai bersyukur serta tak mau menyombongkan diri. Allah yang tak akan ingkar janji akan membayar komitmenNya atas janji suciNya dengan mahuknya dengan balasan surgaNya yang indah tiada tara serta kebahagiaan yang tiada terbayang sebelumnya di dunia ini.

semoga kita termasuk hamba-hambaNya yang terpilih yang segera dikembalikan ke jalan yang benar setelah tersesat di belantara dunia yang fana ini. Amin, Wallahua’lam Bisshowab.

 

oleh: Ust. H. Muhammad Nur Hayid

sumber: Republika Online