Kencenderungan Melebih-lebihkan Sesuatu

SUATU saat di sebuah kesempatan, Socrates sang filosof kenamaan itu berkata: “Manusia itu memiliki kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu, kecuali kesalahan-kesalahan mereka. Mereka memandang kesalahan-kesalahan dirinya sebagai sesuatu yang tak boleh diuji dan dikritik.” Tentu, kalimat itu tidak dimaksudkan meliputi semua manusia. Ada eksepsi, pengecualian, yakni manusia-manusia istimewa.

Kecenderungan melebih-lebihkan sesuatu itu bisa jadi karena ada kekaguman, kejengkelan, cinta, kebencian, dan penghormatan atau penjelekan. Namun juga bisa jadi karena motif-motif tertentu yang bersifat personal. Lalu, bagaimanakah sikap terbaik menurut Islam dalam menyikapi dan menghadapi sesuatu itu? Jawabnya adalah yang fair saja, yang adil, yang moderat.

Melebih-lebihkan sesuatu itu sesungguhnya bermakna menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang sesungguhnya, yang sewajarnya. Dalam bahasa agama ini disebut dengan DZALIM. Kedzaliman adalah kegelapan. Gelap efeknya di dunia dan terlebih nanti di akhirat. Pasti ada ketaknyamanan di belakang hari dari aksi melebih-lebihkan itu. Ketaknyamanan itu ada berbagai bentuk. Tinggal menunggu waktu saja.

Inilah alasan mengapa ajaran tengah-tengah, tawassuth, itu penting. Jangan terlalu ke kanan, jangan terlalu ke kiri. Sabda Nabi yag sangat terkenal adalah: “Cintailah kekasihmu dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat berubah menjadi musuhmu. Bencilah musuhmu juga dengan sederhana saja, siapa tahu nanti suatu saat menjadi kekasihmu.” Ada banyak dalil dan maqalah yang mendukung sifat adil, fair, apa adanya. Salam AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK