Ketika Nabi Melunakkan Hati Sahabat yang Cemburu karena Merasa Paling Islami

Alkisah, penaklukan Makkah atau lebih tren disebut “Fathu Mekah” berjalan tanpa aral lintang, nyaris tanpa pertumpahan darah. Ini sukses besar Nabi bersama sahabat-sahabatnya dalam dakwah dan politik. Menariknya lagi, bersama rombongan umat Islam kala itu ikut juga pelbagai suku Badui yang ikut secara sukarela. Penaklukan terbesar dalam sejarah tanpa tetesan darah sedikitpun.

Selepas itu, Nabi bersama rombongan bergerak menuju Ji’ranah untuk menaklukkan kelompok Hawazin yang berniat menyerang kaum muslimin. Tanpa halangan berarti juga Hawazin dilumpuhkan.

Usai menaklukkan Makkah dan kelompok Hawazin, Nabi mendapat banyak sekali ghanimah (harta rampasan perang). Dari data literatur-literatur sejarah, totalnya 24.000 ekor unta dan dan sekitar 40.000 ekor kambing dan domba. Angka yang fantastis.

Inilah yang kemudian menjadi asbabun nuzul (sebab turun) surat al Taubah ayat 60 yang berbicara tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Satu di antaranya adalah muallafati qulubuhum, orang yang baru masuk Islam dan hatinya masih butuh untuk dibujuk.

Kemudian, berangkat dari wahyu tersebut, 100 unta diberikan kepada Abu Sufyan, muallaf dan masih keluarga Nabi. Padahal, sebagaimana diketahui, ia adalah salah seorang yang secara sengit menentang dan memusuhi Nabi dan umat Islam. Tidak cukup hanya itu, Abu Sufyan meminta tambahan 200 ekor unta untuk kedua anaknya Yazid dan Muawiyah. Nabi kembali mengiyakan.

Shafwan bin Suhail juga mendapat bagian. Ia diberi 100 ekor unta dari ghanimah. Saat itu Shafwan bukan muallaf, hampir muallaf. Ia menemani Nabi ketika menelusuri lembah Ji’ranah. Dalam perjalanan Shafwan terkagum melihat ladang hijau yang dipenuhi kambing, unta dan domba. Nabi menawarkan kepadanya, “Jika kamu ingin, ambillah”. Shafwan kegirangan, saat itu juga ia memeluk Islam.

Nabi juga memberi 100 ekor unta masing-masing kepada Uyaynah dari Ghathafan dan Aqra’ dari Bani Tamim. Tapi Ju’ayl dari Damrah tidak diberi bagian, padahal tergolong sahabat yang sangat taat dan miskin.

Desas-desus dan suara miring yang berasal dari kalangan sahabat terdengar. Terutama dari kalangan Anshar. Sebab, tak satupun dari mereka yang mendapat bagian ghanimah. Sementara enam belas tokoh Quraisy dan empat kepala suku yang mendapat bagian berlimpah semuanya adalah orang-orang kaya.

Kecemburuan ini sampai memunculkan riak-riak suara, Nabi telah berbuat nepotisme. Ketika perang sahabat Anshar yang terlibat, bahu-membahu dengan sahabat Muhajirin. Tetapi saat mendapat ghanimah yang mendapat bagian adalah kerabat Nabi, sementara sahabat Anshar hanya menonton pembagian tersebut.

Supaya tidak berkepanjangan, pihak Anshar mengutus Sa’ad bin Ubadah menemui Nabi. Agendanya, jika keputusan Nabi tersebut berdasarkan wahyu, kaum Anshar akan menerima dengan suka rela. Namun, jika itu semua hanya keputusan pribadi Nabi mereka juga menuntut bagian.

Setelah Sa’ad bin Ubadah bertemu dan menyampaikan suara kaum Anshar, dengan cepat Nabi mengumpulkan sahabat-sahabat Anshar. Beliau bersabda, “Wahai kaum Anshar, aku mendengar keluh kesah kalian semua, hati kalian sangat menentangku. Tetapi, bukankah kalian dulu tersesat dan aku yang membimbing kalian ke jalan Allah? Bukankah dulu kalian miskin dan kini Allah memberi kekayaan kepada kalian? Dulu, kalian saling bermusuhan dan Allah mendamaikan kalian”?

Ucapan baginda Nabi disampaikan secara halus ibarat seorang ayah menasehati anaknya. Masing-masing sahabat Anshor terkesiap dan terkesima. Dalam lubuk sanubari mereka mengatakan, “Nabi benar dan itu anugerah terbesar”.

Kemudian, Nabi melanjutkan dengan berkata, “Ingatlah, wahai sahabat-sahabatku, ghanimah hanya pintu masuk untuk melunakkan hati mereka yang keimanannya setipis sehelai benang, mereka masih meragu, belum yakin kalau Allah kuasa memberikan lebih dari itu semua.

Lalu, apa bagian kaum Anshar yang keimanannya telah terbukti bertahun-tahun dan tak diragukan”?

Lanjut beliau, “Wahai sahabat-sahabatku yang telah menerima aku di Madinah, kota kalian, apakah kalian tidak berbahagia, orang lain membawa onta dan domba, sementara kalian membawa Rasulullah ke negeri dan rumah-rumah kalian”?

Seketika itu, tangis tumpah. Sahabat-sahabat Anshar begitu terharu. Ternyata selama ini mereka telah merengkuh kebahagiaan tiada tara yang tak bisa diukur dengan dunia dan seisinya sekalipun, apalagi hanya 100 atau 200 ekor unta dan kambing. Mereka kemudian berkata, “Kami berbahagia bersama Rasulullah sebagai bagian dari kami”.

Inilah, bahwa perasaan sebagai “paling muslim” justru akan melupakan nilai-nilai paling esensi. Ego merasa paling benar pasti akan menutup hati untuk menerima kebenaran yang lain meskipun lebih benar. Kisah ini, menyindir kita semua yang dihatinya menyimpan, meskipun sekerat rasa, sebagai orang yang paling sunnah, paling Islam dan paling benar.

ISLAM KAFFAH