Kupas Tuntas Enam Pembatal Puasa

Sebagaimana ibadah yang lainnya, puasa pun dapat menjadi batal karena suatu hal. Apa saja yang termasuk pembatal puasa? Berikut ini adalah rincian beberapa hal yang dapat membatalkan puasa.

1. Makan dan Minum dengan Sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.[1] Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khamr, rokok,[2] racun dan lainnya) atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat (seperti potongan kayu, kertas dan lainnya).[3] Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ.

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Qs Al-Baqarah 187).

Namun, jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa untuk makan dan minum, puasanya tidaklah batal. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللّٰهُ وَسَقَاهُ.

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.[4]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللّٰهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.

Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.[5]

Yang juga termasuk kategori makan dan minum (yang dapat membatalkan puasa) adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqadha’ puasanya, tanpa ada kaffarah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]

Catatan Penting:

Meskipun telah disinggung di atas, dalam beberapa referensi disebutkan pembahasan dan pedebatan para ulama terkait dengan sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut, kerongkongan dan lambung saat berpuasa. Apakah sesuatu yang masuk ke dalam lambung otomatis membatalkan puasa ataukah dipersyaratkan yang masuk adalah makanan sehingga masuk dalam kategori pembatal puasa?

Para ulama dalam masalah ini berselisih pendapat. Sebab perselisihan yang ada mengenai qiyas makanan dengan selain makanan. Yang dapat dipahami secara tekstual dari dalil hanyalah masuknya makanan ke dalam perut yang bisa membatalkan puasa.

Jika dilogikakan (ma’qul), maka tidak bisa diqiyaskan makanan tadi dengan selain makanan. Namun jika ada yang menganggap bahwa pembahasan ini tidak bisa dilogikakan (ghairu ma’qul), maka yang dimaksud larangan makan ketika puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang masuk ke dalam tubuh baik yang masuk berupa makanan atau benda lainnya. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Dari penjelasan di atas, untuk permasalahan ini intinya ada dua pendapat ulama:

Pendapat pertama, mayoritas ulama terdahulu dan saat ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam perut membatalkan puasa walaupun yang masuk bukan berupa makanan, tidak bisa larut dan tidak bisa mencair. Seandainya ada sepotong besi atau batu masuk dengan sengaja ke dalam tubuh, maka puasanya batal. Demikian pendapat mazhab Abu Hanifah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali.

Alasan mereka, bahwa:

  1. Nabi g Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghindari celak mata yang bisa masuk melalui mata hingga kerongkongan. Padahal celak mata bukanlah makanan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak disyaratkan yang masuk ke dalam tubuh berupa makanan yang dianggap sebagai pembatal puasa.
  2. Puasa adalah menahan diri (imsak) dari memasukkan segala sesuatu ke dalam tubuh. Jika seseorang memasukkan non makanan, itu berarti tidak menahan diri (imsak). Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa orang yang makan tanah atau batu tetap disebut makan.
  3. Ibnu ‘Abbas q pernah berkata,

إِنَّمَا الْفَطَرَ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ.

“Pembatal puasa adalah segala sesuatu yang masuk dan bukan yang keluar.[8]

Namun, ketiga alasan di atas disanggah oleh ulama lainnya, dengan sanggahan bahwa:

  1. Hadits yang membicarakan masalah celak sebagai pembatal puasa adalah hadits dhaif(lemah). Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah (di antaranya) celak mata tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para shahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana ajaran Islam lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shahih, dhaif, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dhaif (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.”[9]
  2. Penyebutan makan disebutkan oleh mayoritas pakar bahasa dikaitkan dengan makanan seperti dalam Lisanul ‘Arab disebutkan,

أَكَلْتُ الْطَعَامُ أَكْلاً وَمَأْكُلاً

“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”

Ar-Ramaani dalam Al-Mishbahul Munir berkata,

اَلْأَكْلُ حَقِيْقَةً بَلْعُ الْطَعَامُ بَعْدَ مُضْغِهِ فَبَلْعُ الْحَصَاةُ لَيْسَ بِأَكْلِ حَقَيْقَةً

“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”

Dalam Al-Mufrodhaat Al-Ashfahani disebutkan,

اَلْأَكْلُ تَنَاوَلُ الْمُطْعَمِ

“Makan adalah mencerna makanan.”

Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Puasa itu meninggalkan makanan dan minuman.[10]

  1. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa mengenai hal ini terdapat khilaf (perselisihan pendapat) apakah setiap yang masuk ke dalam tubuh itu membatalkan puasa atau hanyalah dikhususkan makanan. Lagi pula tidak setiap yang keluar itu tidak membatalkan puasa. Buktinya saja, darah haid jika keluar dan muntah dengan sengaja membatalkan puasa padahal itu adalah sesuatu yang keluar. Sehingga perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebenarnya tidak bisa jadi dalil pendukung.

Pendapat kedua, yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hasan bin Shalih, sebagian ulama Malikiyah dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang kuat, puasa tidaklah batal dengan menggunakan celak mata, injeksi pada saluran kemaluan dan tidak batal pula dengan memasukkan sesuatu yang bukan makanan.” [11]

Alasan mereka, bahwa:

  1. Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf.”
  2. 2. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak” [12]. Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.

Pendapat Terkuat

Pendapat yang lebih mendekati dalil adalah pendapat kedua. Namun karena memperhatikan khilaf (mura’atul khilaf), maka kami memilih pendapat pertama karena kehati-hatian. Wallahu a’lam.

2. Muntah dengan Sengaja.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ.

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya [13]. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.[14]

3. Haid dan Nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haid atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, maka puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama”[15] .

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ. قُلْنَ بَلَى. قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

Bukankah kalau wanita tersebut haid, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.[16]

Jika wanita haid dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqadha’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah radhiyallahu anha, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat [17].” Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas wajib mengqadha’ puasanya ketika ia suci.[18]

4. Keluarnya Mani dengan Sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium dan lainnya. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqadha’, tanpa menunaikan kaffarah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”[19].

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[20]

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[21]

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal [22]. Alasannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللّٰهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” Wallahu A’lam.

5. Berniat Membatalkan Puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, ia telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan” [23].

Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[24]Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqadha’ puasanya di hari lainnya.[25]

6. Jima’ (Bersetubuh) di Siang Hari.

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqadha’ dan menunaikan kaffarah. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat:

(1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.

Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qadha’ dan tidak ada kaffarah.[26]

Kaffarah

Apakah kaffarah atau tebusan yang harus dibayarkan oleh orang seperti ini? Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak.” Lantas beliau bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.” Abu Hurairah berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[27]

Berdasarkan hadits di atas, maka kaffarah dalam hal ini adalah sebagai berikut:

  1. Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
  2. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut
  3. Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud makanan.[28]

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja[29] dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qadha’, ditambah dengan menunaikan kaffarah. Apakah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini.

Namun yang jadi perbedaan di antara para ulama, apakah kaffarah ini dibebankan kepada laki-laki dan perempuan secara bersama-sama, atau hanya dibebankan kepada laki-laki saja.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kaffarah dan yang menanggung kaffarah adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kaffarah sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kaffarah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kaffarah adalah hak harta. Oleh karena itu, kaffarah dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[30]

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kaffarah di atas, kaffarah tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An- Nawawi Rahimahullah.[31]

Adapun hadits di atas tidaklah menafikan adanya kaffarah. Bahkan dalam hadits tersebut menunjukkan masih tetap ada kewajiban kaffarah bagi laki-laki tersebut. Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberitakan bahwa orang tersebut tidak dapat memenuhi ketiga bentuk kaffarah di atas. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat hadiah kurma dan memerintahkan kepada orang tadi untuk menggunakannya sebagai kaffarah. Seandainya kaffarah tersebut gugur karena tidak mampu, maka tentu saja orang tadi tidak memiliki kewajiban apa-apa dan tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk bersedekah dengan kurma tersebut. Hal ini menunjukkan tentang masih adanya kewajiban kaffarah bagi orang tersebut.[32] 

[AW/Tutorial Ramadhan]

 

sumber: PanjiMas

___________________________

 

 

 

 

[1]         Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267

[2]         Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab Ash-Shiyam, 17/148

[3]         Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48

[4]         HR Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155

[5]         HR Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[6]         Lihat Shifat Shaum Nabi, hal. 72

[7]         Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/105

[8]         HR Al-Baihaqi dan dihasankan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 6: 327

[9]         Majmu’ Al-Fatawa, 25: 234

[10]       HR Bukhari no. 1903

[11]       Majmu’ Al-Fatawa, 20: 528

[12]       Majmu’ Al-Fatawa, 25: 245

[13]       Maksudnya, tidak menjadikan puasanya batal sehingga tidak wajib mengqadha’

[14]       HR Abu Daud no. 2380. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[15]       Majmu’ Al-Fatawa, 25/266

[16]       HR Bukhari no. 304

[17]       HR Muslim no. 335

[18]       Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 2/9917

[19]       HR Bukhari no. 1894

[20]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52

[21]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54

[22]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/54

[23]       HR Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al-Khattab

[24]       Al-Muhalla, 6/174

[25]       Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106

[26]       Lihat Syarhul Mumthi’, 3/68.

[27]       HR Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111

[28]       Lihat Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 4/97, Asy-Syamilah.

[29]       Tidak termasuk di dalamnya jika dalam keadaan lupa. Khusus untuk hal ini yakni hukum orang yang berjima’ namun terlupa bahwa ia sedang berpuasa, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam hal ini terdapat tiga pendapat: pertama, tidak ada kewajiban qadha’ ataupun kaffarah. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah dan jumhur ulama. Kedua, wajib atasnya qadha’ tanpa ada kewajiban membayar kaffarah. Ini pendapat Malik. Ketiga, wajib mengqadha’ dan membayar kaffarah. Ini pendapat yang paling popular dari Imam Ahmad. Maka pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.” (Lihat Kitab Haqiqatu Ash-Shiyam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Wallahu a’lam.

[30]       Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah 2/9957 dan Shahih Fiqih Sunnah, 2/108

[31]       Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224

[32]       Inilah yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 4/97- Pendapat inilah yang dipilih oleh An-Nawawi sebagaimana judul bab yang beliau bawakan dalam Shahih Muslim.