Makna dan Urgensi Ukhuwwah Islamiah

MASJID milik Muhammadiah dibakar di Bireuen, Aceh. Begitulah topik berita yang menjadi pembicaraan hangat di berbagai media sosial dan online selama beberapa waktu yang lalu. Menurut salah satu media online, “Balai dan tiang-tiang cakar ayam pembangunan masjid At-Taqwa Muhammadiyah Sangso, kecamatan Samalanga, kabupaten Biereun dibakar sekelompok massa pada hari Selasa (17/10/2017) sekitar pukul 20.00 WIB.

Pelaku pembakaran ini belum diketahui pasti. Namun sebelumnya, pembangunan masjid ini mendapat penentangan dari kalangan dayah yang ada di Samalanga yang menyebut dirinya aswaja ketika akan dimulainya pembangunan masjid dengan menghadirkan Prof. Dr. Din Samsuddin pada Idul Adha lalu.” Demikian berita dari media tersebut.

Berita ini menjadi viral dan topik hangat pembicaraan di media sosial dan online, baik lokal maupun nasional. Bahkan PP Muhammadiah telah membuat jumpa pers dan sikap pernyataan resmi terkait persoalan ini.

Tentu saja aksi ini menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat dan ormas-ormas Islam baik di Aceh maupun nasional. Kejadian ini sangat memprihatinkan kita. Kita patut mengecam perbuatan para pelaku tersebut. Ini tindakan kriminal karena telah merugikan pihak lain. Aksi ini juga telah melukai hati umat Islam khususnya warga Muhammadiah dan merusak ukhuwwah islamiah.

Perbuatan buruk ini juga telah menodai syariat Islam di Aceh dan mencoreng nama Aceh. Sangat memalukan. Ini menunjukkan pelanggaran syariat dan sikap intoleran yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok yang berbeda mazhab Fiqh.

Sepatutnya, aksi intoleran dan anarkhis tidak boleh terjadi di manapun, terlebih lagi di Aceh. Mengingat Aceh merupakan daerah yang menerapkan syariat Islam secara formal di Indonesia. Dalam syariat Islam, tidak dibolehkan membakar bangunan atau balai milik orang lain. Hukumnya jelas haram (dosa besar). Apalagi yang dibakar itu masjid.

Aksi ini tidak dibenarkan dalam agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, para pelaku aksi pembakaran ini harus ditangkap dan diproses hukum serta diberi hukuman yang tegas. Agar ada efek jera terhadap pelaku dan menjadi pelajaran sehingga tidak terulang lagi kejadian seperti ini.

 

Kasus intoleran dan anarkhis bukan yang pertama kali terjadi di Aceh. Sebelum ini, terjadi aksi penolakan terhadap pembangunan masjid  Muhammadiah di Juli, Biereun. Begitu pula aksi perusakan dan penolakan terhadap ma’had yang dituduh wahabi, menyesatkan seseorang dan kelompok tertentu dengan tuduhan wahabi, penurunan paksa khatib dari mimbar, penolakan shalat jumat di masjid yang berdekatan, dan perebutan masjid-masjid yang pengurusnya dituduh wahabi, termasuk masjid Raya Baiturrahman yang bersejarah dan menjadi ikon masjid seluruh Aceh.

Masjid-masjid tersebut dipaksa model ibadah tertentu. Khatib diinterupsi dan diturunkan dari mimbar dengan paksa hanya gara-gara tidak pakai tongkat dan tidak muawalat. Bahkan ada khatib yang dipukul ketika sedang berkhutbah. Kasus-kasus tersebut hanya terjadi di Aceh, tidak ada di daerah lain di Indonesia dan di negara mana pun di dunia. Hanya gara-gara persoalan khilafiah, persoalan “sunnat” dan bahkan persoalan yang tidak ada dalil yang shahih, mereka rela merusak ukhuwwah islamiah dengan menyakiti, menzhalimi, dan membenci serta menyesatkan saudaranya Ahlussunnah wal Jama’ah.

Penyebab lainnya adalah isu wahabi. Isu ini digunakan oleh kelompok tertentu dari umat Islam untuk menyesatkan sesama saudaranya Muslim sesama Ahlussunnah wal Jama’ah yang berbeda pendapat (mazhab) dengan kelompoknya. Padahal perbedaan itu hanya dalam persoalan furu’iyyah atau fiqh, bukan persoalan ushuliyyah atau aqidah. Sayangnya, kelompok tersebut terpengaruh propaganda isu “wahabi” yang sengaja diciptakan oleh Syi’ah, Barat dan Yahudi untuk mengadu domba dan memecah belah umat Islam. Musuh-musuh Islam ini menginginkan umat Islam tidak bersatu sehingga menjadi lemah. Dengan isu “wahabi” ini, mereka telah berhasil menghancurkan ukhuwwah islamiah dan persatuan umat Islam. Maka, sepatutnya kita umat Islam Ahlusunnah wal Jama’ah tidak termakan propaganda isu” wahabi”. 

Makna dan Urgensi Ukhuwwah Islamiah

 Ukhuwwah berasal dari bahasa Arab yang berarti persaudaraan.  Islamiah berarti agama islam atau bersifat islami. Jadi, Ukhuwwah islamiah bermakna persaudaraan karena Islam. Dikatakan demikian karena persaudaraan tersebut diikat karena seiman dan seagama, bukan persaudaraan karena nasab atau keluarga.

Di antara ajaran Al-Quran dan As-Sunnah adalah perintah mewujudkan dan menjaga ukhuwwah islamiah (persaudaraan Islam) dan larangan melakukan segala perbuatan dan perkataan yang dapat merusak ukhuwwah Islamiah. Maka, umat Islam sesama Ahlussunnah wal Jama’ah wajib menjaga ukhuwwah islamiah dan haram merusak ukhuwwah islamiah. Merusak ukhuwwah islamiah berarti pelanggaran syariat dan perbuatan maksiat. 

Ukhuwwah islamiah sangat penting dalam Islam sehingga diperintahkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan ukhuwwah islamiah, maka akan terwujud persatuan umat Islam dan perdamaian dalam masyarakat dan negara. Dengan persatuan, maka umat Islam menjadi umat yang kuat dan mulia seperti pada masa Nabi dan para sahabat. Dengan perdamaian, akan terwujud kesejahteraan masyarakat dan negara.

Para sahabat sangat peduli dan komitmen dengan ukhuwwah islamiah. Mereka saling mencintai, mengasihi, menolong, dan menghormati. Meskipun terkadang mereka berbeda pendapat, namun hal itu tidak membuat mereka saling benci, apalagi menyesatkan orang lain. Mereka tetap berlapang dada dan menghormati perbedaan pendapat tersebut. Ukhuwwah islamiah dan persatuan senantiasa dijaga dan menjadi prioritas. Inilah sikap yang diajarkan oleh Rasul saw kepada para sahabat sehingga umat Islam menjadi kuat dan berjaya pada masa itu.

 

Allah Subhanahu Wata’ala   menegaskan bahwa umat Islam itu bersaudara dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-Hujurat: 10). Begitu pula Rasul saw telah menegaskan bahwa umat Islam itu bersaudara dengan sabda beliau: “Seorang Muslim itu bersaudara dengan Muslim yang lainnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Hafiz al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya “Tafsir al-Quran al-Karim” menjelaskan ayat di atas, “Semua orang beriman itu bersaudara dalam agama”. Hal senada juga dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya “Ma’alim At-Tanzil” dan Imam al-Khazin dalam kitab tafsirnya “Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil” bahwa maknanya adalah  bersaudara dalam agama dan al-wilayah (perwalian) atau al-walayah (pertolongan).

Imam as-Samarqandi dalam tafsirnya “Bahrul ‘Ulum” menjelaskan ayat di atas, “Kaum Muslimin seperti saudara dalam kerjasama dan tolong menolong sebab mereka di atas agama yang satu”.

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya “Taysir al-Karim ar-Rahman fii Tafsiir Kalaami al-Mannan” menjelaskan ayat di atas, “Inilah ikatan yang Allah Subhanahu Wata’ala ikatkan di antara kaum mukmin bahwa jika ada pada seseorang di manapun, di timur dan barat bumi, serta ada pada dirinya iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan Hari Akhir, maka sesungguhnya ia adalah saudara untuk kaum mukmin.

Persaudaraaan ini mewajibkan kaum mukmin mencintai untuk saudaranya apa saja yang mereka untuk diri mereka sendiri dan membenci untuk dia apa saja yang mereka benci untuk diri sendiri.”

Dalam kitab tafsirnya “Adhwaau Al-Bayan”, Syaikh Muhammad al-Amin bin Mukhtar  asy-Syinqiti menjelaskan makna persaudaraan dalam ayat diatas adalah ukhuwwah ad-adiin(persaudaraan agama), bukan ukhuwwah an-nasab (persaudaraan hubungan keluarga). Beliau menjelaskan, “Persaudaraan agama lebih agung dan lebih kuat dari persaudaraan hubungan keluarga (nasab) berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah”.

Secara fitrah, tabiat orang yang bersaudara itu saling mencintai dan mengasihi. Orang yang memiliki hubungan persaudaraan itu pasti menyayangi dan mencintai saudaranya. Semua makhluk diberi rahmat oleh Allah Subhanahu Wata’ala   untuk mencintai dan mengasihi saudaranya. Coba perhatikan, binatang saling mencintai dan berkasih sayang dengan sesama saudaranya. Begitu pula manusia. Orang-orang kafir saling mencintai sesama saudaranya.

Maka sudah sepatutnya kita umat Islam lebih mencintai saudaranya Muslim melebihi cintanya binatang dan orang kafir terhadap saudara mereka, karena umat Islam telah diperintahkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah.

 

Kewajiban Mewujudkan dan Menjaga Ukhuwwah Islamiah

Al-Quran dan as-Sunnah memerintahkan umat Islam untuk mewujudkan dan menjaga ukhuwwah islamiah dengan bersatu dalam aqidah Islam (aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah), saling mencintai, membantu dan mengasihi saudaranya Muslim. Sebaliknya, Al-Quran dan As-Sunnah melarang umat Islam merusak ukhuwwah islamiah dengan bercerai berai, berselisih, membuat konflik, membenci, mendengki, menfitnah, dan menyesatkan saudaranya Muslim.

Umat Islam wajib bersatu dan saling menguatkan. Sebaliknya, umat Islam haram bercerai berai dan berselisih. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah Subhanahu Wata’ala, dan janganlah kamu bercerai berai..” (Ali Imran: 103). Allah Subhanahu Wata’ala   juga berfirman: “Dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105). Rasul saw bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, di mana sebahagiannya menguatkan sebahagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “..Dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan kekuatan kalian hilang..” (Al-Anfal: 46)

Umat Muslim wajib saling mencintai. Bahkan mencintai Muslim merupakan bukti kualitas iman seseorang. Rasul saw bersabda: “Tidak beriman (secara sempurna) salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Mencintai umat Islam juga termasuk bukti aqidah al-wala’ dan bara’.

 

Umat Islam wajib saling membantu dan mengasihi sesama saudaranya. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan tolong menolonglah kalian dalam (berbuat) kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam (berbuat) dosa dan permusuhan.”(Al-Maidah: 2). Rasulullah saw bersabda: “Allah Subhanahu Wata’ala akan memberikan pertolongan kepada seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul Saw bersabda: “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah Subhanahu Wata’ala akan memenuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang melapangkan dari seorang Muslim suatu kesulitan maka Allah Subhanahu Wata’ala akan melapangkan darinya suatu kesulitan dari kesulitan-kesuliltan pada hari Kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Umat wajib bersolidaritas terhadap saudaranya menderita. Sikap solidaritas itu dilakukan dengan ikut merasakan penderitaannya dan menolongnya. Rasul saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang, kelembutan mereka seperti satu badan. Jika salah satu anggota badan sakit, maka anggota badan lainnya juga ikut merasakan sakit.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul Saw bersabda:“Sungguh seorang mukmin bagi mukmin yang lain berposisi seperti kepala bagi tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakitnya mukmin yang lain seperti tubuh ikut merasakan sakit yang menimpa kepala”. (HR. Ahmad).

Umat Islam wajib berlemah lembut dan berkasih sayang terhadap sesama Muslim. Sebaliknya, umat Islam harus kuat,  berani dan tegas terhadap orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Muhammad Itu utusan Allah Subhanahu Wata’ala dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29). Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “…yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir..” (Al-Maidah: 54).

Seorang Muslim tidak boleh menyakiti dan menzhalimi saudaranya Muslim. Perbuatan ini haram (dosa besar). Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58). Rasul saw bersabda: “Seorang Muslim itu bersaudara dengan Muslim yang lainnya, maka tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membiarkannya teraniaya dan tidak boleh menghinanya”(HR. Muslim).

Seorang Muslim tidak boleh mendengki, membenci dan memboikot saudaranya Muslim. Perbuatan ini haram (dosa besar). Rasul saw bersabda: “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling membenci dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang bersaudara” (HR. Muslim). Dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian saling memboikot, janganlah saling membelakangi, dan janganlah saling dengki. Jadilah kalian hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Seorang Muslim tidak boleh mencaci dan mengumpat saudaranya Muslim. Perbuatan tersebut haram dan dosa besar. Allah Subhanahu Wata’ala   berfirman: “Dan janganlah sebahagian kalian mengumpat sebahagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik.” (HR. Al-Hujurat: 12). Rasulullah saw bersabda: “Mencaci seorang Muslim itu perbuatan kefasikan. Sedangkan membunuhnya perbuatan kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang Muslim tidak boleh menyesatkan saudaranya Muslim (Ahlussunnah wal Jama’ah) tanpa ada dalil yang shahih dan jelas. Perbuatan tersebut haram dan dosa besar. Rasul saw bersabda: “Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada orang lain dengan tuduhan kefasikan atau kekafiran melainkan tuduhan itu kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, menuduh orang lain sesat tanpa ilmu atau dalil yang shahih dan jelas sama saja menyesatkan diri sendiri.

 

Demikianlah ajaran-ajaran Al-Quran dan As-Sunnah yang memerintahkan (mewajibkan) kita umat Islam untuk mewujudkan ukhuwwah islamiah dengan cara bersatu, saling mencintai, saling mengasihi, bersolidaritas, membantu, membela hak saudaranya dan sebagainya. Sebagaimana Al-Quran dan As-Sunnah melarang (mengharamkan) kita merusak ukhuwwah islamiah dengan bercerai berai, berselisih, menyakiti, menzhalimi, memprovokasi, menfitnah, mendengki, membenci dan menyesatkan sesama Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah.

Maka, apapun nama organisasi dan kelompok umat Islam, selama aqidahnya Ahlussunnah wal Jama’ah maka tidak boleh disesatkan atau dituduh “wahabi”. Ormas-ormas Islam yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Muhammadiah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Dewan Dakwah, MIUMI, Hidayatullah, Wahdah Islamiah dan lainnya tidak boleh dituduh “wahabi” atau sesat. Begitu pula kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, alumni Timur Tengah, dosen dan alumni IAIN/UIN, usataz dan alumni ma’had, dan lainnya. Mereka adalah saudara kita Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan “wahabi” atau sesat seperti yang dituduh oleh kelompok tertentu yang termakan propaganda Syi’ah, Barat dan Yahudi. Musuh-musuh Islam ini telah mengadu domba dan memecah belah persatuan umat.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya umat Islam bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Islam . Umat Islam jangan mau dibentur-benturkan dengan isu “wahabi”. Begitu pula persoalan khilafiah dan persoalan yang hukumnya “sunnat” jangan sampai merusak ukhuwwah islamiah dan menjadi perpecahan umat serta menimbulkan konflik sesama umat Islam dengan memaksakan pendapat tertentu atau menyalahkan pendapat lain. Terlebih lagi jika pendapat tersebut tidak berdasarkan dalil yang shahih. Kondisi seperti itu justru menguntungkan musuh-musuh Islam yang menginginkan umat Islam saling berselisih dan berpecah belah. Akibatnya, umat Islam menjadi lemah dan “dijajah” serta ditindas oleh musuh-musuh Islam.

Sejatinya, persoalan khilafiah dan persoalan yang hukumnya hanya “sunnat” harus disikapi dengan saling menghargai, menghormati, berlapang dada dan toleransi sehingga terwujud ukhuwwah islamiah dan persatuan umat Islam sebagaimana diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala   dan Rasul-Nya saw.

Bagaimanapun juga, ukhuwwah Islamiah dan persatuan umat Islam harus lebih diprioritaskan daripada kepentingan pribadi, kelompok dan mazhab tertentu. Semoga kita termasuk orang-orang yang mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan mewujudkan dan menjaga ukhuwah islamiah serta meninggalkan perbuatan dan ucapan yang bisa merusak ukhuwwah islamiah dan memecah belah persatuan umat Islam. Amin…! 

 

Oleh:  Muhammad Yusran Hadi,

Penulis adalah Ketua MIUMI Aceh, pengurus Dewan Dakwah Aceh & anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara. Doktor Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM)

HIDAYATULLAH

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!