Memahami Hadits Tentang Penyakit Menular

Apakah ada penyakit menular dalam pandangan akidah Islam? Terdapat beberapa hadits yang menafikan adanya penyakit menular. Para ulama berbeda pandangan dalam memahami hadits-hadits tersebut. Akan kita bahas secara singkat pada artikel ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ، ولا هامَةَ ولا صَفَرَ

Tidak ada penyakit menular, tidak ada dampak dari thiyarah (anggapan sial), tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada kesialan para bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757, Muslim no.2220).

Dan juga hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا يُورَدُ مُمْرِضٌ على مُصِحٍّ

Orang yang sakit tidak bisa menularkan penyakit pada orang yang sehat” (HR. Bukhari no. 5771, Muslim no. 2221).

Dua hadits di atas zahirnya menunjukkan tidak ada penularan penyakit. Sedangkan dalam hadits yang lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا عَدْوَى و لا طيرةَ و لا هامةَ و لا صَفرَ ، و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسدِ

Tidak ada penyakit menular, tidak ada dampak dari thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hammah, tidak ada kesialan para bulan Shafar. Dan larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. Bukhari no.5707).

Ada beberapa metode para ulama dalam mengkompromikan hadits-hadits di atas:

Pertama, penyakit tidak dapat menular DENGAN SENDIRINYA. Namun Allah ta’ala jadikan penularan penyakit itu ada sebab-sebabnya, diantaranya adalah bercampurnya dan bergaulnya orang yang sakit dengan orang yang sehat. Sehingga orang yang sehat tertular. Dan ada sebab-sebab lain yang menyebabkan penularan penyakit (kontak fisik, udara, pandangan, dll). Sehingga boleh mengatakan, “si Fulan tertular penyakit dari si Alan”. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Shalah (lihat Ulumul Hadits, hal. 257).

Kedua, penafian adanya penyakit menular dimaknai secara umum dan mutlak. Artinya tidak ada penularan penyakit sama sekali. Adapun perintah untuk lari dari penyakit kusta, ini sebagai bentuk sadd adz dzari’ah (menutup celah keburukan). Karena bisa jadi ketika tidak menjauh dari penyakit menular, kemudian qaddarallah terkena penyakit yang sama, lalu timbul keyakinan bahwa ada penyakit menular, Sehingga untuk mencegah timbulnya keyakinan ini, diperintahkan untuk menjauh dari penyakit menular. Sehingga tidak boleh mengatakan, “si Fulan tertular penyakit dari si Alan”. Ini pendapat yang dikuatkan Ibnu Hajar Al Asqalani (lihat Fathul Bari, 10/159).

Ketiga, penetapan adanya penyakit menular khusus pada penyakit kusta dan yang semisal dengan kusta. Adapun penyakit lain tidak ada yang menular. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Al Baqilani (dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 10/160).

Wallahu a’lam, pendapat yang kuat dalam masalah ini, adalah pendapat pertama. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:

والمعنى أن الذي أنزل الجرب في الأول هو الذي أنزله في الأخرى، ثم بين لهم ﷺ أن المخالطة تكون سبباً لنقل المرض من الصحيح إلى المريض، بإذن الله

“Makna hadits di atas, Dzat yang menjadikan penyakit pertama kali kepada si A adalah Dzat yang menjadikan penyakit pada si B (yaitu Allah). Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bercampur dengan orang yang sakit MERUPAKAN SEBAB adanya perpindahan penyakit dengan izin Allah”.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

(Diringkas dari kitab Tahqiq ar Raghbah fi Taudhih an Nukhbah [75-76], karya Syaikh Abdul Karim Al Khudhair).

Penulis: Ustadz Yulian Purnana

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11904-memahami-hadits-tentang-penyakit-menular.html