Mengenal Ustadz Ahong Lebih Dekat: Peraih Maarif Award 2020

Penghargaan Maarif Award 2020 yang diselenggarakan oleh Maarif Institut diberikan kepada Ibnu Kharis atau biasa disebut sebagai Ustadz Ahong.

Siapa sebenarnya sosok Ustadz muda ini dan bagaimana perjalanan pemikiran dan dakwahnya?

Ustadz Ahong memiliki nama lengkap Ibnu Kharish. Ia dilahirkan di Jakarta pada 20 Mei 1989.  Ia menimba ilmu agama di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon selama 10 tahun, sejak 2000 sampai 2010.

Saat diwawancari tim redaksi Bincang Syariah, ia mengaku pertama kali menimba ilmu secara serius di Babakan Ciwaringin. Setelah lulus SD, ia dipesantrenkan oleh orang tuanya.

Di pesantren, ia belajar ilmu fikih, gramatika bahasa Arab, dan ilmu keislaman lainnya. Kesemuanya menjadi bekal, referensi dan tumpuan atau patokan untuk melaksanakan pesan-pesan dakwah di dunia digital.

Semasa berada di pesantren, ada guru ngaji khusus yang mengajar tentang gramatikal bahasa Arab yang bernama Ustadz Ahmad Izzudin. Beliau mengajar tanpa patokan bayaran dan mengajar dengan ikhlas seperti apa yang biasa terjadi di lingkungan pesantren.

Bersama Ustadznya itu, ia mempelajari kitab Al-Ajurrumiyah atau Jurumiyah, Nazham Maqsud (Nadhom Maqshud) dan kitab-kitab kebahasaaraban lainnya. Ia rutin mengaji mulai jam dua malam. Malam harinya ia tidur terlebih dahulu dan Sang Ustadz membangunkannya.

Ia belajar dengan Ustadz Izzuddin sekitar tiga sampai empat tahun. Pembelajaran rutin yang dilakoninya tidak hanya mengaji satu kitab, tapi juga belajar ilmu nahwu dan shorof lainnya. Pelajaran tersebutlah yang secara mendasar membuatnya mudah membaca literatur dalam bahasa Arab.

Pesantren mengajarkannya bagaimana hidup sederhana dan tidak berlebihan. Semasa nyantri, ia menuntut ilmu pada Kiai Makhtum Hannan yang ahli membersihkan diri dan melaksanakan tirakat. Ada pula guru tasawufnya yakni K.H. Ahmad Nuri yang tinggal di desa Budur, Cirebon.

Agar bisa mengikuti pengajian akhlak dan tasawuf, ia naik sepeda dari Babakan ke Budur. Sang ayah membawakan sepeda dari Jakarta memakai bus Dewi Sri. Sampai di Susukan, sang ayah mengendarai sepeda tersebut sampai ke Babakan.

Saat itu, ayah Ustadz Ahong belum memiliki cukup uang hanya untuk sekedar menyewa mobil buat mengantarkan sepeda ngaji anaknya tercinta.

Kenangan tersebut melekat kuat dalam ingatan Ustadz Ahong. Ia ingat, semasa menjalani kehidupan di pesantren, ia hanya diberikan yang sebesar Rp. 150.000,- per bulan. Ia belajar di Madrasah al-Hikamussalafiyah atau MHS Babakan Ciwaringin Cirebon.

Sang ayah tidak pernah memaksanya untuk melakukan ini-itu dan memberikan kebebasan untuk memilih. Saat diminta fokus sekolah dan ngaji sebagai sambilan, ia justru menjadikan ngaji sebagai prioritas sebab ia lebih tertarik mengaji ketimbang sekolah.

Selain dua guru di atas, ada sosok lain yang bernama K.H. Asmu’i Ma’shum, kini ia menjadi kiai dan pengasuh di Pemalang. Keduanya sama-sama mondok di Babakan. K.H. Asmu’I inilah yang menggembleng secara spiritual Ustadz Ahong dari A sampai Z sehingga membuat Ustadz Ahong mau serius ngaji.

Untuk mengaji Al-Qur’an, Ustadz Ahong mempunyai dua guru khusus, yaitu K.H. Tamam Kamali dan K.H. Nur Hadi Thoyyib yang juga ulama di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon.

Setelah lulus dari Babakan, ia sebenarnya ingin melanjutkan studi ke Mesir. Tapi, takdir membawanya melanjutkan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia pun melanjutkan pendidikannya di kampus tersebut sebab ia tahu ada pesantren Darus Sunnah di sana.

Di Darus Sunnah ia mempelajari hadits dan ilmu hadits, dididik oleh K.H. Ali Mustafa Yaqub dan para dosen Darus Sunnah. Selain menuntut ilmu di Darus Sunnah, ia berhasil menyelesaikan pendidikan S1 Bahasa dan Sastra Arab pada 2014 dan S2 Bahasa dan Sastra pada 2019 di UIN.

Sejak mondok di pesantren Babakan Ciwaringin, sampai ke Jakarta, ia sering dipanggil dengan sebutan Ahong. Hal tersebut disebabkan karena matanya yang sipit meski tidak memiliki kulit putih.

Ia pun terinspirasi untuk mematenkan Ustadz Ahong menjadi nama di akun Youtube-nya. Baginya, sebutan Ustaz adalah proper name, satu kesatuan. Jika Ahong saja, ada banyak orang dengan profesi berbeda-beda yang bernama Ahong.

Menjadi Pimpinan Redaksi

Sejak 2013, el-Bukhari Institute (eBi) didirikan para pemuda yang ingin menyebarkan narasi damai dalam keislaman. Para pendiri eBi adalah Hengki Ferdiansyah, Abdul Karim Munthe, dan Muhammad Khairul Huda.

Mereka merintis eBi sejak tidak punya uang sepeser pun. Pada awalnya, eBi hanya melaksanakan kajian-kajian di Musholla Fakultas Ilmu dan Politik (FISIP) UIN Jakarta. Pada waktu itu, tempat untuk kajiannya pun belum menentu. Jika butuh apa-apa, hanya mengandalkan iuran dari para pendirinya.

Pada 2015, eBi membuat situs Bincang Syariah. Pada awalnya, pengelola Bincang Syariah adalah Ibnu Kharish (Ustadz Ahong) dan Neneng Maghfiroh. Honornya pun ala kadarnya dan berasal dari patungan dari tulisan yang terbit di tempat lain. Bincang Syariah berdiri dari ketiadaan hingga menjadi cukup dikenal sampai saat ini.

Sambil mengurus Bincang Syariah, Ustadz Ahong mendapatkan proyek etimologi Bahasa Arab dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sewaktu pengabdian selesai, ia diminta untuk tetap bergabung dengan Badan Pengembangan Bahasa Kemendiknud.

Tapi, karena ada tugas besar lain yakni mengelola Bincang Syariah, ia menolak tawaran tersebut. Ia memutuskan untuk menjadi penjaga gawang Bincang Syariah yang memang berada dalam kondisi harus dikelola secara serius sebab memiliki penulis di beberapa wilayah Indonesia.

Terkait pekerjaan dalam mengelola situs islami ini, ia mengaku menghadapi dua tantangan.

Pertama, Bincang Syariah mesti menjaring bukan hanya tim redaksi inti tapi juga tim kontributor luar atau tidak tetap berjumlah 335 orang. Para penulis tersebut mesti mendapatkan honorarium yang tidak sedikit. Sehingga, Bincang Syariah perlu dukungan moral untuk teman-teman kontributor.

Kedua, tantangan dalam teknologi. Secara teknologi, pengelola Bincang Syariah bukan ahli Teknologi Informasi (IT) sehingga harus belajar dan mengupgrade keilmuan dan mencari cara bagaimana konten-konten di Bincang Syariah bisa disukai di media sosial.

Baginya, ada konten di media sosial yang dilihat banyak orang dan ada yang tidak dilihat banyak orang. Jika dilihat banyak orang, ia akan senang. Jika hanya ratusan atau ribuan yang melihat, hal tersebut tidak menyulutkan semangatnya untuk tetap membuat konten.

“Netizen pasti ada yang mencaci maki konten karena itulah risikonya orang dakwah dan menyampaikan kebaikan (kebenaran). Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Nabi saja pertama kali dakwah memiliki hambatan.” Jelasnya pada Tim Redaksi Bincang Syariah.

Ia menambahkan: “Ujian terberat ke depan adalah menyiapkan mental untuk dicaci maki.”

“Netizen pasti ada yang mencaci maki konten karena itulah risikonya orang dakwah dan menyampaikan kebaikan (kebenaran). Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Nabi saja pertama kali dakwah memiliki hambatan.” Jelasnya pada Tim Redaksi Bincang Syariah.

Ia menambahkan: “Ujian terberat ke depan adalah menyiapkan mental untuk dicaci maki.”

Media Sosial

Youtube: Ustadz Ahong

Instagram: @ustadzahong

Twitter: @ustadz_ahong

Facebook Fanspage: Ustadz Ahong

BINCANG SYARIAH