Menolak Was-Was dalam Shalat

Salat merupakan ibadah yang sangat agung. Seorang hamba yang sedang shalat berarti dia sedang bermunajat kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba tidak tahu seberapa besar bagian dari shalatnya yang dituliskan pahala untuknya karena kualitas shalatnya yang belum tentu sempurna. Oleh karena itulah, seorang hamba seharusnya berusaha sebisa mungkin untuk menyempurnakan shalatnya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَنَمَةَ قَالَ: رَأَيْتُ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى، فَأَخَفَّ الصَّلَاةَ، قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ قُمْتُ إِلَيْهِ ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ خَفَّفْتَ قَالَ: فَهَلْ رَأَيْتَنِي انْتَقَصْتُ مِنْ حُدُودِهَا شَيْئًا ؟ قُلْتُ: لَا، قَالَ: فَإِنِّي بَادَرْتُ بِهَا سَهْوَةَ الشَّيْطَانِ. سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلَاةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلَّا عُشْرُهَا، تُسْعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

Dari ‘Abdullah bin ‘Anamah, beliau berkata,

“Aku pernah melihat sahabat ‘Ammar bin Yaasir masuk ke dalam masjid kemudian salat. Namun, beliau salat dengan salat yang pendek. Ketika beliau keluar, aku berkata, ‘Wahai Abu Yaqdzon, Engkau telah salat dengan salat yang ringan.’

‘Ammar bin Yaasir mengatakan, ‘Apakah Engkau melihat saya mengurangi dari batasan-batasan shalat?’
Aku berkata, ‘Tidak.’

Sahabat ‘Ammar bin Yaasir berkata, ‘Sungguh aku cepat-cepat agar aku tidak diganggu oleh setan. Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya seseorang hamba salat dan tidak ditulis pahala untuk salatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, sepertiganya, atau setengahnya’’” (HR. Ahmad no. 18894, Abu Dawud no. 796, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani).

Kesempurnaan salat seorang hamba berbanding lurus dengan sedikitnya was-was yang mengganggu salatnya. Oleh karena itu, menolak rasa was-was atau gangguan dalam hati saat salat merupakan kebutuhan penting bagi seorang hamba. Dua hal yang membantu seseorang untuk menolak was-was tersebut, yakni kuatnya tekad untuk melakukan salat dengan sebaik mungkin dan lemahnya rasa was-was tersebut.

Pertama, tekad untuk menyempurnakan salat

Seorang hamba hendaknya bersungguh-sungguh untuk memahami apa yang dibaca dan dikerjakan saat salat. Kemudian juga bersungguh-sungguh merenungkan bacaan, zikir, dan doa yang diucapkannya, serta benar-benar menghadirkan hati dalam salatnya. Seorang hamba hendaknya sadar bahwa saat sedang salat berati dia sedang bermunajat secara langsung kepada Allah Ta’ala. Sehingga seharusnya dia berusaha sebisa mungkin melaksanakan salatnya dengan ‘ihsan’.

Adapun maksud dari ‘ihsan’ adalah seorang hamba beribadah kepada Allah Ta’ala seolah-olah dia melihat-Nya. Meskipun dia tidak bisa melihat Allah Ta’ala, maka dia pun sadar sepenuhnya bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihatnya. Kadar ihsan seorang hamba dalam salat ini sesuai dengan tingkat keimanannya. Semakin kuat imannya, maka semakin lezat dia menikmati kelezatan dalam salatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ

“Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam salat” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i no. 3939, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani).

Dalam hadis yang lain disebutkan,

يَا بِلَالُ ! أَرِحْنـــَا بِالصَّلَاة

“Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat” (HR. Ahmad no. 23088, Abu Dawud no. 4985, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 7892).

Tidak disebutkan dalam hadis tersebut,

أَرِحْنـــَا مِنَ الصَّلَاة

“Istirahatkanlah kami dari salat.”

Faktor yang menguatkan iman seseorang itu banyak. Setiap hamba mempunyai kadar yang berbeda dalam hal pengenalan, rasa cinta, takut, dan harapnya kepada Allah Ta’ala. Begitu pula dalam hal keikhlasan dan kejujuran dalam beribadah. Keadaan hamba tersebut berbanding lurus dengan kadar perenungan terhadap ayat-ayat Al Quran, pengenalan terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala, dan kekhusyuan dalam salat. Semakin kuat iman seorang hamba, maka dia akan semakin mengenal nama dan sifat Allah Ta’ala serta keagungan-Nya. Hamba tersebut pun akan semakin merasakan betapa butuhnya dia terhadap Allah Ta’ala, melebihi butuhnya dia terhadap makan dan minum. Dia menyadari bahwa tidak ada kebaikan tanpa peribadahan yang baik kepada Allah Ta’ala. Peribadahan yang benar kepada Allah Ta’ala itulah yang menjadi sebab tenangnya hati, nikmatnya berzikir, dan rileksnya jiwa.

Apabila seorang hamba menjadikan selain Allah Ta’ala sebagai tuhan di dalam hatinya, maka dirinya menjadi rusak dan celaka. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan dari Allah Ta’ala. Tidak ada jalan keluar dan tempat kembali kecuali dari dan kepada Allah Ta’ala.

Kedua, hilangnya gangguan was-was

Seorang hamba hendaknya berusaha sekuat mungkin menghilangkan dan melawan gangguan-gangguan yang menyibukkan hatinya dengan bersungguh-sungguh khusyu dalam salatnya. Adapun banyak sedikitnya gangguan berupa was-was dalam salat tersebut sesuai dengan banyak sedikitnya syubhat dan syahwat di dalam hatinya.

Gangguan tersebut juga dipengaruhi oleh hal-hal yang disukai dan tidak disukainya. Hal-hal yang disukainya akan membuatnya memikirkannya, sedangkan hal-hal yang tidak disukainya akan membuatnya berusaha melawannya.

Gangguan-gangguan yang dirasakan saat salat bisa berupa dua hal, yaitu sesuatu yang dicintai dan sesuatu yang diinginkan. Hal-hal yang dicintai akan membuat seseorang untuk memikirkan hal tersebut, begitu pula dengan hal-hal yang diinginkan akan membuatnya memikirkan hal tersebut. Adapula gangguan was-was yang bila diucapkan termasuk dari kekafiran dan kemunafikan. Sebagaimana yang dikisahkan dalam hadis, sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ا رَسُولَ اللهِ! إنَّ أحَدَنا ليَجد فِيْ نَفْسِهِ ما لأَنْ يخِرَّ من السماء أحبُّ إليه من أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ. فقَالَ « أوَجَدْتُمُوهُ ».؟ قَالُوا :نَعَمْ. قَالَ « ذَالكَ صَرِيحُ الإِيمَانِ

“‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah seorang di antara kami mendapati sesuatu di dalam hatinya sesuatu (was-was) dimana jatuh dari langit lebih disukai daripada mengucapkan sesuatu tersebut.’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah kalian merasakannya?’

Para sahabat menjawab, ‘Iya.’

Beliau mengatakan, ‘Itulah keimanan yang nyata’” (HR. Muslim no. 209).

Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itulah keimanan yang nyata”, maksudnya adalah rasa takut para sahabat untuk mengucapkan suatu was-was (yang termasuk kekafiran atau kemunafikan) yang masuk dalam hati dan pikirannya. Perasaan takut untuk mengucapkan sesuatu yang termasuk kekafiran dan kemunafikan hanya dimiliki oleh orang yang benar-benar beriman.

Was-was akan mendatangi setiap orang yang hendak menghadap Allah Ta’ala, sehingga seorang hamba harus senantiasa sabar dan tetap melaksanakan ibadah tersebut. Dengan sebab meminta kepada Allah Ta’ala, maka gangguan tersebut akan hilang. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ كَيْدَ الشَّيْطٰنِ كَانَ ضَعِيْفًا

Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah” (QS. An Nisa’: 76).

Kita memohon kepada Allah Ta’ala semoga diberikan kemudahan dalam menolak was-was dalam salat.

“Tidak ada kuasa bagi hamba untuk menolak kejelekan dan tidak ada kekuatan untuk meraih kebaikan selain dengan kuasa Allah.”

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 105-108, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Fadhiilah.

* * *

Penulis: Apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id