Menunjuk Imam Shalat

Pada satu waktu, Rasulullah SAW pergi menuju Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan mereka yang tengah bersengketa. Semasa kepergian Nabi, tiba waktu shalat. Muazin pun mendatangi Abu Bakar as-Shiddiq untuk bertanya kepadanya. “Apakah engkau akan memimpin shalat orangorang agar aku dapat melantunkan iqamat?” Abu Bakar menjawab, “Ya.”

Abu Bakar melaksanakan shalat sebagai imam. Setelah shalat itu dimulai, Rasulullah SAW datang ketika shalat berjamaah itu dimulai. Nabi yang mulia lantas beranjak sampai berdiri di dalam shaf. Melihat ada Rasulullah, jamaah shalat ber tepuk. Hanya, Abu Bakar tidak menoleh dalam shalatnya, meski orang-orang semakin ramai bertepuk.

Abu Bakar menoleh dan melihat Ra sulullah SAW memberi isyarat. Dia menunjukkan: Tetaplah di tempatmu! Abu Bakar kemudian mengangkat tangannya memuji Allah atas apa yang diperintahkan Rasulullah kepadanya. Abu Bakar mundur dan Rasulullah kemudian maju untuk memimpin orang-orang shalat.

Selesai shalat, Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Bakar, apakah gerangan yang menghalangimu untuk tetap di tempatmu ketika aku perintahkan itu kepadamu?” Abu Bakar menjawab, “Tidaklah boleh Ibnu Abu Quhafah untuk melaksanakan shalat di hadapan Rasulullah SAW.”

Rasulullah lalu bersabda, “Mengapa aku melihat banyak dari kalian yang bertepuk tangan untuk mengingatkan sesuatu dalam shalatnya? Hendaklah bertasbih karena jika bertasbih maka dia (imam) akan menoleh kepadamu. Sesungguhnya, tepukan untuk wanita.”

Imam merupakan sosok penting dalam kesuksesan shalat berjamaah. Seorang Mus lim yang memiliki pengetahuan mengenai fikih shalat dan bacaan Alquran baik kerap menjadi pilihan dalam memimpin shalat. Bagaimana seorang imam bisa ditunjuk dalam memimpin shalat?

Imam Syafii dalam Kitab Al-Umm ber kata, sah bagi seseorang untuk meminta orang lain maju atau maju sendiri untuk memimpin shalat suatu kaum tanpa perintah dari wali (pemimpin) mereka yang biasa memimpin shalat. Ketentuan ini ber laku baik untuk shalat Jumat, shalat wajib atau shalat sunah.

Menurut imam yang bernama asli Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafii ini, penguasa adalah orang yang paling berhak memimpin shalat di wilayah kekua saannya. Namun, kalau seorang wali me nunjuk seseorang sebagai imam maka hal itu diperbolehkan. Imam Syafii beralasan, orang yang ditunjuk memimpin shalat atas mandat dari wali.

Meski menjadi penguasa daerah, ada kalanya wali tersebut berada di bawah ke kuasaan seorang khalifah. Dalam konteks saat ini, bisa dianalogikan sebagai camat dengan bupati, bupati dengan gubernur atau gubernur dengan presiden. Dengan de mikian, khalifah atau presiden yang pa ling berhak menjadi imam. Hanya, jika wa li atau khalifah bepergian ke luar negeri, dia menjadi sama dengan orang keba nyakan.

Bagaimana dengan keutamaan tuan rumah menjadi imam? Imam Syafii me ngisah kan, sekelompok orang di antara para sahabat Rasulullah SAW berada di sebuah rumah milik salah satu dari mereka. Ketika waktu shalat datang, si tuan ruamh meminta seorang dari mereka untuk men jadi imam. Orang yang diminta itu berkata,

“Majulah engkau karena engkau yang paling berhak menjadi imam di rumahmu.” Tuan rumah itu pun maju.

Imam Syafii pun menjelaskan, adanya keutamaan tuan rumah menjadi imam di rumahnya sendiri. Imam Syafii memakruh kan seseorang diimami oleh orang lain tan pa perintahnya. Adapun jika itu dilakukan dengan perintahnya maka itu merupakan bentuk tindakan meninggalkan hak nya atas keimanan.

Keutamaan lain, yakni pengetahuan dalam fikih, kemampuan membaca Alqur an dan usia. Rasulullah bersabda, “Shalat-lah kalian seperti kalian melihat aku sha lat. Jika waktu shalat tiba maka hendaklah seorang dari kalian melakukan azan, dan hendaklah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian.”

Dalam menyikapi hadis ini, Imam Syafii menjelaskan, mereka adalah satu kaum yang datang bersama-sama. Kualitas bacaan dan kefakihan mereka pun sama. Mereka lantas menunjuk pemimpin atau mereka diimami oleh orang yang paling tua di antara mereka; yang dengan senioritasnya itu dia menjadi yang paling tepat untuk memimpin mereka.

Berdasarkan prinsip ini, Imam Syafii menjelaskan tentang pertimbangan satu kelompok untuk menunjuk imam. Pertim bangan ini diambil ketika ada satu kaum berkumpul di satu tempat tanpa ada wali di antara mereka dan tak berkumpul di kediaman salah satu dari mereka. Hendak nya, mereka mengedepankan orang yang paling baik bacaannya, paling fakih, dan paling tua di antara mereka.

Jika semua sifat itu tak terhimpun pada seorangpun dari mereka, mereka harus memilih orang yang paling fakih. Dengan catatan, orang itu memiliki kemampuan membaca yang cukup bagi sahnya shalat.

Mereka bisa mengesampingkan faktor usia jika ada orang yang lebih fakih dan lebih baik bacaan Alquran. Faktor tambahan lainnya jika semua itu ada–fakih, baca Alquran dan senioritas–maka mereka bisa mempertimbangkan nasab terbaik. Imam Syafii beralasan, perkara menjadi imam adalah perkara kedudukan terhormat. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. “Da hulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahului mereka.”

Meski, jika tidak ada orang dengan nasab terbaik maka faktor fakih dan kemampuan baca Alquran yang menjadi pertimbangan. Dalam hal ini, Imam Syafii menjelaskan, budak pun bisa menjadi imam kalau dia adalah orang paling fakih di antara semua yang hadir. Wallahu a’lam.

 

KHAZANAH REPUBLIKA