Menyusuri Kota yang Dijanjikan

“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335).

Selain Makkah, Madinah, dan Jerussalem, inilah kota yang paling ingin saya kunjungi: Istanbul. Istanbul yang berasal dari kata Islambul atau Kota Islam atau Islamopolis ini, memang bukan tanah suci. Tapi, inilah ‘kota yang dijanjikan’ bakal menjadi milik umat Islam oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana termaktub dalam hadis di atas.

Istanbul merupakan kota tua bersejarah. Dibangun pada abad ke-7 sebelum Masehi, kota yang semula bernama Konstantinopel ini menyimpan jejak berbagai peradaban besar yang masih kokoh hingga kini. Terutama, peninggalan Byzantium dan Turki Usmani (Ottoman).

Sungguh menarik menyusuri kota ini dengan benang merah hadis di atas. Hadis itu disampaikan Nabi Muhammad pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, Makkah masihlah sebuah negeri yang belum masuk hitungan. Sementara Konstantinopel adalah ibu kota kekaisaran Romawi Timur yang merupakan superpower saat itu.

Sisi menarik lainnya, karena superpower ini disebutkan dalam Alquran bahkan menjadi sebuah surat bernama Ar-Rum (Bangsa Romawi). Alquran menyatakan, Romawi akan mengalahkan Persia . Saat ayat ini turun, Persia sedang menang. Beberapa tahun kemudian, terbukti Romawi kemudian mengalahkan Persia.

Ucapan Nabi Muhammad tentang Konstantinopel terpenuhi 825 tahun kemudian setelah Muhammad II berhasil memasukinya pada 29 Mei 1453. Muhammad II kemudian digelar sebagai Muhammad Al Fatih, yang berarti Muhammad Sang Pembebas. Dialah yang mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambul.
Pada Jumat, 28 Mei lalu-sehari sebelum peringatan pembebasan Istanbul, bila memakai kalender Masehi-usai shalat Jumat di Masjid Biru, bus yang kami tumpangi menempuh perjalanan menyusuri tepi pantai ke arah utara. Setelah berbelok-belok memasuki jalan kecil, kami tiba di sebuah masjid.

Dilihat dari arsitekturnya, masjid ini biasa saja. Ada banyak masjid dengan arsitektur serupa di Istanbul dan provinsi-provinsi lainnya di Turki. Sepintas, arsitektur dan warnanya mirip Masjid Biru. Masjid ini bernama Eyup Sultan Camii atau Masjid Sultan Ayub.

Membaca namanya, saya sempat terpikir ini adalah masjid yang dibangun oleh salah satu dari 36 sultan Khilafah Usmani. Tapi, setelah mengecek 36 nama sultan di Wikipedia, saya tak menemukan nama Sultan Ayub. Usut punya usut, dia memang bukan salah satu sultan Dinasti Ottoman. Lebih dari itu, dia adalah salah satu sahabat Nabi: Abu Ayyub Al-Anshari.

Bicara tentang sejarah penaklukan Konstantinopel, kita tak mungkin lepas dari nama ini. Abu Ayyub Al-Anshari terlibat dalam operasi pertama untuk membebaskan Konstantinopel pada tahun 44 Hijriyah atau 665 Masehi. Saat itu, kekhalifahan Islam di bawah Dinasti Umayyah dengan khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Dalam operasi itu, Abu Ayyub gagal dan terluka parah. Kepada Yazib bin Muawiyah yang menjadi panglima perang, Abu Ayyub berwasiat agar jasadnya diangkut dengan kuda dan dibawa sejauh mungkin ke dalam wilayah Konstantinopel. Dan, dia dikuburkan tak jauh dari tembok Konstantinopel.

Di depan Masjid Sultan Ayub, ada sebuah air mancur. Masjid ini juga menjadi ‘rumah’ ratusan merpati. Banyak turis yang datang ke sini untuk berfoto dengan latar belakang air mancur dan burung merpati. Makam Ayyub Al Anshari terletak di halaman masjid bagian dalam, di kelilingi tembok. Kondisinya cukup terawat.

Masjid Sultan Ayub ini berada di sebelah barat laut Sultan Ahmed Square yang merupakan jantung Istanbul sejak dulu. Dengan menyusuri tepian Golden Horn ke arah tenggara, kita akan menjumpai kawasan yang dulu menjadi pintu penaklukan. Bangunan benteng yang tebal masih terlihat, bersatu dengan bangunan milik penduduk setempat.

Di Sultan Ahmed Square, terdapat sejumlah bangunan yang selama ini menjadi ikon Istanbul. Mulai dari Aya Sophia, Istana Topkapi, dan Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru. Masjid yang berhadap-hadapan dengan Aya Sophia ini dibangun oleh Sultan Ahmed I–sultan ke-14–pada 1609-1612.

Aya Sophia mulanya adalah sebuah gereja katedral yang didirikan Konstantinus, putra Konstantin yang Agung. Saat Muhammad Al Fatih memasuki Konstantinopel, Aya Sophia diubah menjadi masjid. Dia membangun sebuah menara di sebelah selatan. Sultan Salim II menambahkan dua menara di sana serta mengubah bangunan berciri gereja dan memberi simbol bulan sabit di puncaknya.

Sekitar 500 tahun Aya Sophia menjadi masjid, pada 1937, Mustafa Kemal Ataturk mengubahnya menjadi museum. Tapi, Masjid Biru tetap berfungsi sebagai tempat ibadah. Saat shalat Jumat di tempat itu, dengan prosesi shalat memakan waktu hampir dua jam, masjid ini masih penuh sesak. Saya hanya kebagian di shaf paling belakang, dekat lemari tempat penitipan sandal.

Masjid dengan panjang 72 meter dan lebar 64 meter ini mampu menampung 10 ribu jamaah. Masjid yang didesain arsitek legendaris, Mimar Sinan, dinamai Masjid Biru karena ornamen bagian dalam masjid semua berwarna biru.

Di belakang Aya Sophia, ada Istana Topkapi. Istana yang menghadap Selat Bhosporus ini berdiri megah. Salah satu yang menarik dari istana ini adalah koleksinya. Ada pedang Nabi Daud, tongkat Nabi Musa, telapak kaki Nabi Muhammad, pedang Nabi Muhammad, jenggot Nabi Muhammad, pedang para sahabat seperti Zulfikar milik Ali bin Abi Thalib dan pedang Khalid bin Walid.

Ada pula barang-barang peninggalan Nabi Yusuf, Nabi Yahya, Nabi Ibrahim juga pintu Ka’bah yang asli. Soal kebenarannya, wallahu alam. Pengunjung tak diperkenankan mengambil gambar-gambar benda itu. Namun jika nekat, gambar bisa saja diambil dengan mematikan blitz kamera dan tentu saja sambil kucing-kucingan dengan petugas museum.

 

REPUBLIKA ONLINE