Mesir Hari Ini Lebih Buruk dari Husni Mubarak

Sambungan artikel PERTAMA

Meski memilihnya untuk berkuasa, jutaan orang keluar melawan langkah-langkah Mursi untuk memberikan dirinya sendiri otoritas legislatif dan eksekutif yang luas. Banyak orang, kebanyakan para sekular dan anggota penjaga lama, takut bahwa perlawanan itu dapat berakhir buruk. Kekacauan yang mencengkram Suriah dan Libya setelah Arab Spring menjadi sebuah peringatan keras pada publik.

“Dengan 30-40 persen penghasilan warga negara berkisar 2 dollar atau kurang, terdapat sebuah ruang yang sangat kecil bagi manuver untuk mereka,” Mark Levine, seorang profesor sejarah Timur Tengah di Universitas California, mengatakan pada Aljazeera. “Jika negara itu dihentikan oleh sebuah demonstrasi baru, secara harfiah jutaan orang dengan cepat menghadapi kehancuran financial dan bahkan kelaparan.”

Sementara posisi publik Sisi secara luas tidak tertandingi selama dua tahun pertamanya berkuasa, belakangan ini serangkaian keputusan telah menguji popularitasnya di negara itu.

Tahun lalu, pemerintah mengumumkan perjanjian maritim dengan Arab Saudi untuk mentransfer kekuasaan dua pulau Laut Merah, memicu ribuan orang turun ke jalan untuk melakukan protes. Merespon hal itu, pemerintah menjatuhi hukuman penjara dua tahun pada 71 orang pendemo.

Retakan di ekonomi Mesir juga telah muncul ke permukaan. Pada Mei, inflasi Mesir naik hingga 30 persen, tertinggi dalam tiga dekade. Di bawah pinjaman bailout IMF sebesar 12 miliar dollar untuk mendukung rencana reformasi ekonomi, pemerintah mengembangkan mata uang dan menaikkan harga bahan bakar sebesar 55 persen untuk yang kedua kalinya dalam beberapa bulan.

Ancaman besar domestik lain yang sedang dihadapi Mesir ialah kekerasan di Sinai, di mana kelompok bersenjata, berafiliasi dengan Islamic State of Iraq dan Daesh (ISIL, dikenal dengan ISIS), telah melancarkan perang terbuka pada pemerintah, pasukan keamanan dan penduduk sipil.

“Sementara Mesir pernah mengalami serangan-serangan teroris di bawah Mubarak, pemberontakan di Sinai saat ini lebih berlarut-larut dan serangan pada penduduk sipil dan pasukan keamanan secara regular terus berlanjut,” Allison McManus, direktur peneliti di Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah, mengatakan pada Aljazeera.

“Menanggapinya, pemerintah telah melancarkan tindakan keamanan, hukum dan politik berskala besar atas nama perang terhadap teror yang telah menarget dan menjerat tidak hanya aktor kekerasan, tetapi juga tokoh oposisi dan lainnya, hingga ke tingkat yang belum pernah dilihat di masa Mubarak.”

Dan sementara pemerintah mengklaim mereka telah masalah itu telah terkendali, upaya mereka untuk menahan kekerasan di Sinai, yang berasal dari tahun 2011,  sebagian besar telah gagal.

Diantara serangan yang telah hampir menjadi serangan sistematis, kelompok ISIS menjatuhkan sebuah pesawat penumpang Rusia, membunuh 224 orang di tahun 2015, dan di tahun ini, mereka menarget gereja dan bus-bus yang mengangkut umat Kristen di provinsi Sinai, membunuh hampir 100 orang dalam beberapa bulan terakhir.

“Pemerintah menghadapi sebuah ancaman serius dari teroris dan menerima beberapa kritik tentang penanganan mereka atasnya. Negara itu jelas-jelas kurang aman, tetapi ini juga merupakan hasil dari perubahan regional, khususnya kebangkitan ISIS,” Issandr el-Amrani, kepala seksi Afrika Utara di Kelompok Krisis Internasional, mengatakan pada Aljazeera.

Meskipun posisi Mesir di front Internasional tampaknya semakin menguat karena membentuk hubungan yang lebih dekat dengan Amerika Serikat, Arab Saudi dan Israel, para analis mengatakan secara domestik, Mesir dalam penurunan.

“Di setiap indikator virtual, Mesir hari ini lebih buruk daripada saat di bawah Mubarak,” Yerkes mengatakan. “Situasi keamanan jauh lebih buruk, ekonomi buruk, tingkat penindasan jauh lebih tinggi dan kemampuan pemerintah untuk memberi bahan dasar dan pelayanan telah menurun.”

 

 

Oleh: Zena Tahhan, Jurnalis dan produser di Aljazeera Inggris

HIDAYATULLAH