Mulut, Perut dan Makanan Kita

MALAM itu langit cerah sekali. Rembulan menampakkan separuh wajahnya agar bintang-bintang tak malu menampilkan cahayanya. Sang guru duduk di halaman pondok pesantrennya ditemani para santri seniornya yang selalu sigap memijat punggung dan leher sang guru. Pelajaran malam itu sangat singkat tapi bermakna dalam sekali: “Jangan fanatik pada makanan tertentu. Makanlah apa yang dibutuhkan oleh badanmu, bukan yang apa yang dimau mulutmu.”

Teringatlah saya pada hadits shahih yang menyatakan: “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari pada memenuhi perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas.”

Teringat pula saya pada komentar Imam Nawawi akan hadits Nabi tentang kenyang dan lapar. Beliau berkata dalam kitab syarah shahih Muslim: “Sedikit makan merupakan kemuliaan akhlak seseorang dan banyak makan adalah lawannya.” Bayangkan, betapa kemuliaan itu ada hubungannya dengan sedikit dan banyaknya makan.

Apa yang dinyatakan oleh Imam Nawawi itu selaras dan semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafii: “Karena kekenyangan (memuaskan nafsu perut dan mulut) menyebabkan badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering ngantuk dan tidur serta lemah untuk beribadah.” Mari kita renungkan dalam-dalam dawuh para orang mulia ini.

“Makanlah untuk hidup, jangan hidup untuk makan,” kata sebagian guru yang lain. “Semua dedaunan dan akar-akaran sesungguhnya memiliki fungsi menyehatkan kita kalau saja kita tahu rahasia di balik setiap pohon. Makanan tradisional, rempah-rempah dapur desa disebutkanlah oleh sang guru sebagai anugerah menyehatkan. Pilihlah makanan yang bisa menjadi obat sehat kita agar hidup tak menjadikan obat sebagai makanan utama kita.

Sang guru menyodorkan sebuah kitab berjudul “Al-Tibb al-Nabawi” (Pengobatan Nabi). Sepertinya kita perlu membaca dan memahami bersama demi meneladani cara sehat manusia termulia ini. Ada yang mau ikut kajiannya? Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK