Hidup ini kejam, kata politikus. Sehingga, banyak politikus saling gugat di pengadilan. Hidup ini pahit, kata pedagang sayur. Pahitnya melebihi buah pare. Itulah kenyataan yang sering kita hadapi dalam keseharian. Pedagang yang cerdas melihat keruwetan jadi peluang. Ia melihat setiap kerugian sebagai titik awal mencapai keuntungan. Sementara, pedagang yang malas hanya menanti hari mujur, padahal tiap hari adalah hari mujur.
Sering kali kita saat menerima musibah, menjadikannya titik awal untuk mendapat musibah kedua yang kita ciptakan sendiri. Bukankah Ibnu Batutah, petualang Islam abad pertengahan, terdampar di sebuah pulau akibat perahunya karam. Ia tak pesimistis, tetapi sebaliknya, Ibn Batutah berhasil menjadikan pulau itu sebuah negara. Itulah Maladewa, negara sejuta cinta.
Kita sering pesimistis ketika melihat sesuatu telah telan jur terjadi. Padahal, tak ada sesuatu yang terjadi kecua li atas kehendak-Nya. Karena itu, jika rezeki yang kita dapat hari ini hanya sekantong jeruk yang kecut, jangan dibuang. Peras dan tambahkanlah gula, lalu campur dengan es batu dan hidangkan saat panas menyengat. Jeruk asam itu menjadi sangat nikmat.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS ar-Rahman: 13) Maka, nikmatilah ketentuan Allah atas kita untuk kita optimalkan sesuai kemampuan yang kita miliki. Dengan itu, kita akan menjadi pribadi yang sempurna.
Tabiat dunia itu penuh jebakan dan kepuasan yang kita dapatkan darinya tak lebih dari sesaat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah dunia itu terlaknat, terlaknat pula jika (mengejarnya) kecuali dengan berzikir kepada Allah SWT.” Jika semua usaha menggapai kebaikan sudah kita lakukan, tapi kok masih saja ada yang mengganjal, bergegaslah ambil air wudhu dan dirikanlah shalat.
Rasulullah SAW acap meminta Bilal dengan berkata, “Segarkan kami wahai Bilal (dengan kau kumandangkan) shalat.” Shalat adalah ibadah yang sangat eksotis. Kita bersimpuh di hadapan pemilik semua sandiwara kehidupan dunia ini dengan meletakkan kening di atas sajadah. Tanah yang padanya kita letakkan kening itu telah membuat seluruh persoalan dunia yang kita hadapi seakan ikut ditelan bumi. Bagi seorang mukmin, shalat menjadi kekuatan energinya dalam bermi’raj kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
Oleh: Inayatullah Hasyim