Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 7)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata,

“Maka apabila kamu telah mengetahui bahwa apabila syirik itu mencampuri ibadah, akan membuat ibadah itu menjadi rusak dan menghapuskan amalan serta pelakunya menjadi kelompok orang-orang yang kekal di dalam neraka, maka kamu akan mengetahui bahwasanya sesuatu yang terpenting bagimu adalah mengenali hal itu (syirik). Mudah-mudahan Allah membebaskanmu dari perangkap ini yaitu syirik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan mengampuni apa-apa yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang Dia kehendaki’ (QS. An-Nisa: 48).”

Penjelasan

Dari apa yang telah disampaikan oleh penulis di sini, banyak hal yang bisa kita petik. Di antaranya adalah kita akan memahami bahwa rusaknya ibadah merupakan perkara yang sangat dikhawatirkan oleh para ulama. Perusak-perusak ibadah inilah yang akan membuat amal kebaikan menjadi terbang sia-sia, bahkan membuahkan malapetaka. Syirik tidaklah diragukan menjadi sebab kehinaan dan kehancuran manusia. Allah berfirman,

إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong” (QS. Al-Ma’idah: 72).

Kita wajib merasa takut terjerumus dalam perbuatan syirik. Apalagi syirik itu tidak hanya sesuatu yang bersifat lahiriyah dalam bentuk ucapan dan perbuatan anggota badan. Sebab ada juga syirik dalam bentuk amalan hati yang tidak tampak alias perkara batin. Di antara yang paling dikhawatirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menimpa para sahabatnya adalah syirik kecil seperti riyā’. Riya’ adalah beramal saleh, namun dengan harapan mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Oleh sebab itu, sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa hakikat ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan senantiasa melihat kepada penilaian Allah Al-Khaliq.

Dan demikianlah sifat dari orang-orang yang beriman yang tidak ingin amalnya sia-sia dan ibadahnya hancur akibat dosa-dosa hati. Ibnu Abi Mulaikah Rahimahullah -seorang tabiin- mengatakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam; dalam keadaan mereka semua khawatir dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan imannya Jibril dan Mikail.”

Iman adalah kekayaan paling berharga bagi seorang muslim. Tanpa iman, hidup tidak akan terasa nyaman. Tanpa iman, hidup akan sengsara. Tanpa iman, detik demi detik yang dijalani hanya akan menghasilkan kerugian di dunia dan di akhirat. Sementara tauhid adalah pokok keimanan. Tanpa tauhid, iman lenyap. Karena syirik, iman dan tauhid akan hancur lebur. Allah berfirman,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lantas Kami pun menjadikannya bagaikan debu-debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan: 23).

Membersihkan diri dari kotoran syirik merupakan bentuk penyucian jiwa yang paling utama. Karena itulah dakwah para nabi dan rasul di sepanjang masa selalu memprioritaskan pembenahan akidah dan pemurnian ibadah kepada Allah. Dengan demikian, sebagai seorang muslim kita wajib mengenal berbagai bentuk kesyirikan dalam rangka menghindari dan menjaga diri darinya. Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab bahwa, “Aku kenali keburukan bukan untuk melakukannya, tetapi untuk menjaga diri. Barangsiapa tidak mengenali mana yang buruk dan mana yang baik, niscaya dia akan jatuh pada keburukan tanpa dia sadari.”

Syekh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak Hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi bahwasanya salat yang tercampuri dengan hadas, maka hal itu membatalkannya; demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik, itu juga akan merusak ibadah. Seperti halnya hadas yang mencampuri taharah, hal itu membatalkannya. Akan tetapi, apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar, ia akan membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Sungguh jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (QS. Az-Zumar: 65).

Dan juga firman-Nya,

وَلَوْ أَشْرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka berbuat syirik, niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 88).

Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar, akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riyā’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syekh al-Barrak, hal. 11).

Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali Rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar pent.) tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan: 23).” (Lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11).

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata, “Apabila seorang mukmin mengetahui bahwa apabila tauhid itu tercampuri syirik, hal itu akan merusak tauhid sebagaimana hadas merusak taharah, maka dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik. Supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena (hakikat) agama Allah dan hakikat ajaran Islam adalah tauhid. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap …” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah, hal. 11).

Kunci keberuntungan

Syekh Abdul Muhsin al-‘Abbad Hafizhahullah berkata, “… perkara paling agung yang diserukan oleh Nabi kepada umatnya adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang beliau larang umat darinya adalah mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun dalam hal ibadah. Beliau telah mengumumkan hal itu ketika pertama kali beliau diangkat sebagai rasul oleh Allah, yaitu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai manusia! Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian beruntung.’ (HR. Ahmad dengan sanad sahih, hadis no. 16603)…” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 4: 362)

Bukanlah yang dimaksud semata-mata mengucapkan laa ilaha illallah dengan lisan tanpa memahami maknanya. Anda harus mempelajari apa makna laa ilaha illallah. Adapun apabila Anda mengucapkannya sementara Anda tidak mengetahui maknanya, maka Anda tidak bisa meyakini apa yang terkandung di dalamnya. Sebab bagaimana mungkin Anda meyakini sesuatu yang Anda sendiri tidak mengerti tentangnya. Oleh sebab itu, Anda harus mengetahui maknanya sehingga bisa meyakininya. Anda yakini dengan hati apa-apa yang Anda ucapkan dengan lisan. Wajib bagi Anda untuk mempelajari makna laa ilaha illallah. Adapun sekedar mengucapkan dengan lisan tanpa memahami maknanya, maka hal ini tidak berfaidah sama sekali (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 10-11).

Kaum musyrikin di masa silam memahami bahwa laa ilaha illallah menuntut untuk meninggalkan segala sesembahan selain Allah. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan,

أَجَعَلَ ٱلْءَالِهَةَ إِلَٰهًا وَٰحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَىْءٌ عُجَابٌ

“Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5) (HR. Ahmad).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “Mereka memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah itu hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31).

Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan setiap muslim untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk perbuatan syirik. Inilah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang musyrik kala itu. Allah berfirman,

إِنَّهُمۡ كَانُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسۡتَكۡبِرُونَ (٣٥) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓاْ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٖ مَّجۡنُونِۢ (٣٦)

“Sesungguhnya mereka itu dahulu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, mereka menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila’” (QS. ash-Shaffat: 35-36).

Berpegang-teguh dengan kalimat tauhid ini adalah dengan mengingkari segala sesembahan selain Allah (thaghut) dan beribadah kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya,

فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah: 256).

Buhul tali yang paling kuat atau al-‘Urwatul Wutsqa yang dimaksud dalam ayat ini mengandung banyak makna. Mujahid menafsirkannya dengan iman. As-Suddi menafsirkan bahwa maksudnya adalah Islam. Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kalimat laa ilaha illallah. Anas bin Malik menafsirkan maksudnya adalah al-Qur’an. Salim bin Abil Ja’d menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menyimpulkan, “Semua pendapat ini adalah benar dan tidak bertentangan satu sama lain.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1: 684).

Kalimat tauhid ini pula yang disebut sebagai kalimatun sawaa’ atau kalimat yang adil. Sebagaimana yang Allah perintahkan,

قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

“Katakanlah; Wahai ahli kitab, marilah kami ajak kalian kepada suatu kalimat yang adil antara kami dengan kalian…” (QS. Ali ‘Imran : 64) (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah karya Syekh Dr. Shalih Sindi Hafizhahullah, hal. 33).

Orang yang paling berbahagia dengan syafaat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kelak pada hari kiamat adalah yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat tauhid ini. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah ikhlas dari hati atau jiwanya” (HR. Bukhari).

Oleh sebab itu, kalimat tauhid yang diwujudkan dalam kehidupan menjadi sebab keberuntungan. Inilah yang diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun justru ditolak oleh kaum musyrik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ucapkanlah laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung …” (HR. Ahmad dan sanadnya dinyatakan jayyid oleh al-Albani dalam Sahih Sirah) (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah, hal. 35).

Ilmu tentang makna dan konsekuensi kalimat tauhid inilah yang menjadi sebab keselamatan dari azab neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mengetahui (berilmu) bahwasanya tidak ada ilah/ sesembahan yang haqq selain Allah, niscaya dia masuk surga” (HR. Muslim).

Orang yang mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang haqq kecuali Allah, niscaya dia akan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan. Adapun mereka yang mati dalam keadaan berbuat syirik akbar atau tidak bertaubat darinya, niscaya dia masuk neraka dan kekal di dalamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan berdoa/beribadah kepada tandingan/sesembahan selain Allah, dia masuk neraka” (HR. Bukhari).

Kenali hakikat agama Islam

Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seseorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi, yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu, dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan dia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan salat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah, maka dia bukanlah muslim (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah dalam I’anatul Mustafid, 1: 38-39).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena Islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah, sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik, bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran Islam adalah syahadat laa ilaha illallah. Syahadat mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

‘Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi’ (QS. Ali ‘Imran: 85).” (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30).

Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga berkata, “Banyak orang yang mengidap riyā’ dan ujub. Riyā’ termasuk mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub adalah bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri. Dan inilah kondisi orang yang sombong. Seseorang yang riyā’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub, dia tidak mewujudkan kandungan ayat iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat iyyaka na’budu, maka dia terbebas dari riyā’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat iyyaka nasta’in, maka dia akan terbebas dari ujub” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ terkandung tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang disyariatkan oleh Allah untuk mereka. Hal ini karena uluhiyah bermakna ibadah. Dan ibadah itu adalah bagian dari perbuatan hamba. Adapun ‘wa iyyaka nasta’in’ mengandung tauhid rububiyah. Karena pertolongan adalah salah satu perbuatan Rabb Yang Maha Suci. Dan tauhid rububiyah itu adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 195).

Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah, itu tercakup dalam tauhid rububiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya, maka itu mengandung tauhid uluhiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29 oleh al-Fauzan).

Demikian catatan yang bisa kami rangkum dalam kesempatan ini dengan kemudahan yang Allah berikan. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahul muwaffiq.

***

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69896-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-7.html