Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Perintah Pertama dan Wasiat Terakhir (Bag. 1)

Wasiat terahir juga berisi tentang tauhid

Betapa pentingnya tauhid ini, sampai-sampai para Nabi ‘alaihish shalatu wassalaam menjadikan tauhid sebagai wasiat penting mereka sebelum meninggal dunia. Hal ini tentunya menunjukkan perhatian mereka yang sangat besar terhadap masalah tauhid. Karena perhatian seseorang itu bermacam-macam, namun semua itu dapat diketahui dari wasiat apa yang mereka katakan menjelang akhir hidupnya kepada orang-orang yang akan ditinggalkannya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah pembagian harta, maka berarti harta-lah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah masalah jabatan dan kekuasaan, maka berarti itulah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ؛ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), ’Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.’ Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya,’Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132-133)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menceritakan kisah Nabi Nuh ‘alaihi salaam,

إِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ نُوحاً صلى الله عليه وسلم لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَالَ لاِبْنِهِ إِنِّى قَاصٌّ عَلَيْكَ الْوَصِيَّةَ آمُرُكَ بِاثْنَتَيْنِ وَأَنْهَاكَ عَنِ اثْنَتَيْنِ آمُرُكَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَإِنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ لَوْ وُضِعَتْ فِى كَفَّةٍ وَوُضِعَتْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فِى كَفَّةٍ رَجَحَتْ بِهِنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ كُنَّ حَلْقَةً مُبْهَمَةً قَصَمَتْهُنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فَإِنَّهَا صَلاَةُ كُلِّ شَىْءٍ وَبِهَا يُرْزَقُ الْخَلْقُ وَأَنْهَاكَ عَنِ الشِّرْكِ وَالْكِبْرِ

“Sesungguhnya ketika Nabi Nuh hendak meninggal dunia, beliau berkata kepada anaknya, ’Sesungguhnya aku akan menyampaikan wasiat kepadamu. Aku memerintahkanmu kepada dua hal dan melarangmu dari dua hal. Aku memerintahkan kepadamu (untuk bersaksi bahwa) tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Karena sesungguhnya jika langit dan bumi yang tujuh diletakkan pada sebuah daun timbangan dan kalimat ‘laa ilaaha illallah’ diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka akan lebih berat daun timbangan ‘laa ilaaha illallah’. Dan seandainya langit dan bumi yang tujuh itu sebuah cincin, maka kalimat ‘laa ilaaha illallah’ akan membuatnya terbelah. Sedangkan (kalimat) ‘Subhanallah wa bihamdihi’ [Maha Suci Allah dan segala puji untuk-Nya] adalah doa segala sesuatu dan dengannya para makhluk diberi rizki. Dan aku melarangmu dari syirik dan kesombongan’.” (HR. Ahmad no. 6583. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 6295)

Tauhid pula yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang detik-detik akhir kehidupannya. Jundub bin ‘Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika lima hari sebelum beliau wafat,

إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah untuk memiliki seorang kekasih di antara kamu. Karena bahwasannya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seorang umatku sebagai kekasih, niscaya Abu Bakar-lah yang aku jadikan sebagai kekasih. Ketahuilah, bahwasannya umat-umat sebelummu telah menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, jangan kalian jadikan kubur-kubur sebagai masjid. Aku melarang kalian dari perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 1216)

Dan bukti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah beliau mengulangi lagi wasiat tersebut menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. ‘Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Ketika Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika dalam kondisi seperti itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 1215)

Nabi menyampaikan larangan tersebut lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Allah Ta’ala ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa tauhid adalah masalah yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka benarlah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Bahkan para ulama seluruhnya bersepakat bahwa yang pertama kali diperintahkan kepada seorang hamba adalah dua kalimat syahadat. Maka tauhid inilah yang pertama kali memasukkan seseorang ke dalam Islam, dan yang terakhir kali mengeluarkan seseorang dari dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116, shahih)

Maka, tauhid inilah yang merupakan kewajiban pertama sekaligus terakhir.

Melihat hadits tersebut, penulis teringat pada sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, dalam kitab Tarikh Baghdad (10/335). Berikut ini kisah tersebut.

Abu Ja’far At-Tusturi mengatakan, ”Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar-Razi yang sedang berada dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al-Munzir bin Syadzan, dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin men-talqin-kan Abu Zur’ah dengan mengajari hadits talqin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan ’laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162 dan 2164)

Namun mereka malu dan takut kepada Abu Zur’ah untuk men-talqin-kannya. Lalu mereka berkata, ”Mari kita menyebutkan haditsnya (dengan sanadnya/ jalur periwayatannya).”

Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, ”Adh-Dhahak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Kemudian Muhammad tidak meneruskannya.

Abu Hatim kemudian mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua terdiam.

Kemudian Abu Zur’ah yang sedang berada dalam sakaratul maut mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih bin Abu ’Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al-Hadhramiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, (beliau berkata) Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.

Marilah kita merenungkan kisah Abu Zur’ah rahimahullah di atas. Beliau menutup akhir nafasnya dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan haditsnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang berada dalam sakaratul maut.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk dapat beribadah hanya kepada-Nya di sepanjang hidup kita serta menutup hidup kita di dunia ini di atas tauhid. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati kita untuk tetap konsisten di jalan ilmu dan amal shalih.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50984-perintah-pertama-dan-wasiat-terakhir-bag-2.html