Revolusi Akhlak Menuju Negeri Berkah dan Diridhoi

Revolusi Akhlak Menuju Negeri Berkah dan Diridhoi

Allah mencabut nikmat negeri Saba’ yang awalnya makmur dan damai berupa musibah dan kehancuran akibat kekufuran mereka

MEMBANGUN sesuatu itu tidak mudah dan tidak sederhana. Membangun itu memerlukan proses yang konstan (jangka panjang) dan tidak dengan cara instan.

Membangun tidak seperti membalik telapak tangan,  bim salabim, langsung jadi. Itulah sunnatullah fil kaun (hukum alam yang berlaku di jagat raya). Dalam membangun itu juga harus lebih utuh, seimbang.

Pujangga Arab mengatakan:

مَتَى يَبْلغُ البُنيانُ يومًا تَمامَه # اِذا كُنت تبنِيْه وَغَيْرُك يَهْدِمُ

فَلَوْ اَلْفُ بَانٍ خَلْفَهُم هادِمٌ كَفَى # فَكَيْف بِبَانٍ خَلْفَهُ اَلْفُ هَادِمٍ

Kapan bangunan bisa sempurna,

Bila kalian membangun, sedangkan selainmu merobohkan?

Jika ada seribu pembangun satu merobohkan, cukuplah sudah, bagaimana jadinya jika satu membangun seribu yang meruntuhkan ?

Pada peristiwa Uhud yang dipimpin langsung oleh qoidul mujahidin, imamul muttaqin, pertolongan Allah tidak jadi diturunkan karena pasukan tidak solid dan tidak disiplin. Ada sebagian yang menginginkan akhirat dan ada pula yang memburu dunia.

Sebagian ada yang niatnya suci, tapia da juga yang lain, yang motivasinya kotor.  Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُۥٓ   إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِۦ  ۖ حَتّٰىٓ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنٰزَعْتُمْ فِى الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِّنۢ بَعْدِ مَآ أَرٰىكُمْ مَّا تُحِبُّونَ  ۚ مِنْكُمْ مَّنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَّنْ يُرِيدُ الْأَاخِرَةَ  ۚ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ  ۖ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ  ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Dan sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu, tetapi Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang diberikan) kepada orang-orang mukmin.” (QS: Ali ‘Imran 3:152).

Oleh karena itu, pendiri negeri kita telah meletakkan rambu-rambu, memberi arah  pembangunan ke depan. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, demikian kutipan lagu Indonesia Raya.

Membangun itu mendahulukan mental sebelum fisik. Mensinergikan antara imtak dan iptek. Keduanya tidak perlu dipertetangkan. Sebab manusia tanpa ruh, ibarat mayat berjalan.

Karena itu, janganlah menjadi manusia instan. Jangan menjadi manusia yang ingin sukses tapi enggan bersulit-bersulit.

Jika ingin panen, maka kita tidak mau menanam. Dan jika ingin meraih cita-cita maka, kita harus rela memburunya.

Jika ingin menduduki kursi maka tidak bisa dengan jalan pintas. Dan jika ingin berkuasa, maka jangan pula dengan menghalalkan segala cara.

Karena yang demikian adalah karakteristik insan. Seseorang selalu dibentuk oleh lingkungan sosialnya  (nahnu ibnul biah).

Apa yang dirasakan oleh generasi pelanjut – baik maju dan mundurnya –  merupakan akumulasi (tumpukan) kontribusi positif dan destruktif para pendahulunya.

اِنّمَا الْاُمَمُ الاَخلاقُ مَا بَقِيَتْ # وَاِن هُمو ذَهَبَت اَخْلاقُهم ذَهَبُوا

(Sungguh, eksistensi sebuah negeri berbanding lurus dengan kualitas moral penduduknya, jika minus moralnya negeri tersebut akan hilang bersama waktu)

Sesungguhnya kemajuan yang dialami bangsa ini merupakan akumulasi kontribusi pendahulu kita pada masa yang silam. Oleh karena itu jangan menyederhanakan kebaikan sekalipun hanya berupa senyum, karena mentransfer aura positif pada lingkungan social itu dampaknya baik.

Demikian pula kehancuran, kehinaan, ketertinggalan suatu peradaban tidak terjadi sekaligus. Tetapi melalui proses yang panjang.

Sebagaimana kebaikan yang terakumulasi dalam kurun tertentu dan melahirkan kemajuan peradaban, akumulasi keburukan (destruktif) juga akan menggiring kepada sebuah kepunahan peradaban.

Oleh karena itu, jangan mendekati perbuatan zina, jangan mendekati harta anak yatim, jangan mendekati tindakan keji baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, demikianlah taujih rabbani dalam Al-Quran.

Penyakit yang menimpa kita juga tidak datang secara tiba-tiba, tetapi karena banyak pengaruh. Penyakit yang kita derita bisa karena efek pola makan, pola hidup, pola pikir yang kita terapkan dalam jangka waktu yang panjang.

Pendiri negeri ini kita ketika membangun pondasi Indonesia memunculkan rumusan istilah yang menggambarkan visi besar yang ingin diraihnya. Yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan mendapatkan ampunan dari yang Maha Pengampun). Istilah tersebut diserap dari Surat Saba (34). Nama sebuah negeri yang makmur dan sejahtera, dipimpin oleh seorang ratu yang sangat adil bernama Bilqis.

Kemakmuran Negeri Saba’

Dalam hadits Farwah bin Musaik, Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang Saba’ ? Apakah Saba’ itu ? Apakah ia adalah nama sebuah tempat ataukah nama dari seorang wanita ?” Beliau pun menjawab,

لَيْسَ بِأَرْضٍ وَلَا امْرَأَةٍ وَلَكِنَّهُ رَجُلٌ وَلَدَ عَشْرَةً مِنَ العَرَبِ فَتَيَامَنَ سِتَّةٌ وَتَشَاءَمَ أَرْبَعَةٌ

“Dia bukanlah nama suatu tempat dan bukan pula nama wanita, tetapi ia adalah seorang laki-laki yang memiliki sepeluh orang anak dari bangsa Arab. Enam orang dari anak-anaknya menempati wilayah Yaman dan empat orang menempati wilayah Syam.” (HR: Abu Dawud, no. 3988 dan Tirmidzi, no. 3222).

Dalam riwayat Ibnu Abbas ra. terdapat tambahan :

انّ رجلاً سَاَل رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم عَن سباٍ ماهو

اَرَجلٌ ام امراةٌ ام ارضٌ فقال :  بل هو رجلٌ ولد عشَرةً فسكن اليمن منهم ستّة وبالشام منهم اربعةٌ فامّا اليمانيّون فمَذْحِج والكِنْد والاَزْد والْاَشْعَريّون واَنمارٌ وحِمْيَرُ عَربًا كلّها وَاَمّا الشّامِيةُ فلخمٌ وجُذام وعامِلة وَغَسَّان

“Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ  tentang Saba, apakah itu ? apakah dia laki-laki atau perempuan atau bumi (nama negeri) ?. Beliau pun bersabda : Bahkan dia itu seorang laki-laki yang memiliki sepuluh anak, enam orang diantaranya tinggal di Yaman, dan empat lainnya tinggal di Syam. Mereka yang tinggal di Yaman adalah Madzhij, Kindah, Al Azd, Al-Asy’ariyyin, Anmar dan Himyar, semuanya bangsa Arab. Adapun mereka yang berada di Syam adalah Lakhm, Judzam, ‘Amilah dan Ghassan.” (HR: Ahmad, no. 2898).

Secara garis besar wilayah Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian, bagian Utara dan bagian Selatan. Arab bagian Selatan lebih maju dibandingkan Arab bagian Utara. Masyarakat Arab bagian Selatan adalah masyarakat yang dinamis dan memiliki peradaban, mereka telah mengenal kontak dengan dunia internasional karena pelabuhan mereka terbuka bagi pedagang-pedagang asing yang hendak berniaga ke sana.

Sementara orang-orang Arab Utara adalah mereka yang terbiasa dengan kerasnya kehidupan padang pasir, mereka kaku dan lugu karena kurangnya kontak dengan dunia luar. Tentu saja geografi kerajaan Saba’ sangat mempengaruhi bagi kemajuan peradaban mereka.

Kerajaan Saba’  memiliki bala tentara yang kuat. Hal itu bisa pahami dari perbincangan petinggi negeri untuk membalas kiriman surat dari Nabi Sulaiman yang diantarkan burung Hud-hud.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قَالُوا نَحْنُ أُولُوا قُوَّةٍ وَأُولُوا بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِى مَاذَا تَأْمُرِينَ

“Mereka menjawab, “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.”” (QS. An-Naml 27: Ayat 33).

Nege Saba’ juga dikenal dengan hasil alamnya yang melimpah, orang-orang pun banyak berhijrah dan bermitra dengan mereka. Perekonomian mereka begitu menggeliat hidup dan sangat dinamis.  Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang kemakmuran kaum Saba’ dalam firman-Nya.

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun, di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS. Saba’: 15)

Kedua kebun tersebut sangat luas dan diapit oleh dua gunung di wilayah Ma’rib. Tanahnya pun sangat subur, menghasilkan berbagai macam buah dan sayuran.

Qatadah dan Abdurrahman bin Zaid rahimahumallah mengisahkan, apabila ada seseorang yang masuk ke dalam kebun tersebut dengan membawa keranjang di atas kepalanya, ketika keluar dari kebun itu keranjang tersebut akan penuh dengan buah-buahan tanpa harus memetik buah tersebut. Abdurrahman bin Zaid menambahkan, di sana tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga, kalajengking, dan ular (Tafsir ath-Thabari, 20: 376-377).

Menurut al-Qusyairi, penyebutan dua kebun tersebut tidak berarti bahwa di Saba’ kala itu hanya terdapat dua kebun itu saja, tapi maksud dari dua kebun itu adalah kebun-kebun yang berada di sebelah kanan dan kiri lembah atau di antara gunung tersebut. Kebun-kebun di Ma’rib saat itu sangat banyak dan memiliki tanaman yang bervariasi (Fathul Qadir, 4: 422).

Yang membuat tanah di Ma’rib menjadi subur adalah pusaka nenek moyang mereka berupa bendungan monumental Ma’rib atau juga dikenal dengan nama bendungan ‘Arim, bendungan yang panjangnya 620m, lebar 60m, dan tinggi 16m ini mendistribusikan airnya ke ladang-ladang penduduk dan juga menjadi sumber air di wilayah Ma’rib.

Dalam buku-buku tafsir mencatumkan nama Ratu Bilqis sebagai pemrakarsa dibangunnya bendungan ini. Ratu Bilqis berinisiatif mendirikan bendungan tersebut lantaran terjadi perebutan sumber air di antara rakyatnya yang mengakibatkan mereka saling bertikai bahkan saling membunuh.

Dengan dibangunnya bendungan ini, orang-orang Saba’ tidak perlu lagi khawatir akan kehabisan air dan memperebutkan sumber air, karena bendungan tersebut sudah menjamin kebutuhan air mereka, mengairi kebun-kebun dan memberi minum ternak mereka.

Kehancuran Negeri Saba’

Sebelum Ratu Bilqis masuk Islam, kaum Saba’ menyembah matahari dan bintang-bintang. Setelah ia memeluk Islam, maka kaumnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam yang didakwahkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.

Sampai kurun waktu tertentu, kaum Saba’ tetap mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun dengan bergulirnya waktu, mereka kembali ke agama nenek moyang mereka, menyembah matahari dan bintang-bintang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus tiga belas orang rasul kepada mereka (dalam Tafsir Ibnu Katsir, 6: 507), akan tetapi mereka tetap tidak mau kembali ke agama monotheisme, mentauhidkan Allah  dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun. Allah pun mencabut kenikmatan yang telah Dia anugerahkan kepada mereka,

فَأَعْرَضُوْا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ العَرِمِ

“Tetapi mereka berpaling, maka kami datangkan kepada mereka banjir al-‘arim.” (QS: Saba’: 16)..

Penyebab kehancuran bendungan tersebut tentu saja adalah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akibat dari penduduk Saba’ yang kufur akan nikmat Allah terhadap mereka. Namun, Allah menciptakan suatu perantara yang bisa diterima oleh logika manusia agar manusia lebih mudah untuk merenungi dan mengambil pelajaran.

Di dalam buku-buku tafsir disebutkan, seekor tikus yang lebih besar dari kucing sebagai penyebab runtuhnya bendungan Ma’rib. Subhanallah! Betapa mudahnya Allah menghancurkan bendungan tersebut, meskipun dengan seekor makhluk kecil yang dianggap eremah, tikus.

Sebab lain yang disebutkan oleh sejarawan adalah terjadinya perang saudara di kalangan rakyat Saba’ sementara bendungan mereka butuh pemugaran karena dirusak oleh musuh-musuh mereka (at-Tahrir wa at-Tanwir, 22 : 169), perang saudara tersebut mengalihkan mereka dari memperbaiki bendungan Ma’rib. Allahu a’lam mana yang lebih benar mengenai berita-berita tersebut.

Bendungan ini hancur sekitar tahun 542 M. Setelah itu, mereka hidup dalam kesulitan, tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh subur di tanah mereka tidak lagi menghasilkan buah seperti sebelum-sebelumnya dan Yaman saat ini termasuk salah satu negeri termiskin dan terkering di Jazirah Arab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَىْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَىْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ

“Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Asl dan sedikit pohon Sidr.” (QS: Saba’ 34 : 16).

Dalam firman-Nya yang lain

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا قَرۡيَةٗ كَانَتۡ ءَامِنَةٗ مُّطۡمَئِنَّةٗ يَأۡتِيهَا رِزۡقُهَا رَغَدٗا مِّن كُلِّ مَكَانٖ فَكَفَرَتۡ بِأَنۡعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلۡجُوعِ وَٱلۡخَوۡفِ بِمَا كَانُواْ يَصۡنَعُونَ } { وَلَقَدۡ جَآءَهُمۡ رَسُولٞ مِّنۡهُمۡ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ ٱلۡعَذَابُ وَهُمۡ ظَٰلِمُونَ

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nahl: 112 – 113).

Kalau kita renungkan kisah kaum Saba’ dengan perenungan yang mendalam, tentu saja kita menemukan suatu ibrah kengerian, bagaimana sebuah negeri yang teramat sangat subur, lalu menjadi negeri yang kering dan tandus. Allah mengabadikan kisah kaum Saba’ ini di dalam Al-Quran dan memberi nama surat yang memuat kisah mereka dengan surat Saba’.

Hal ini tentu saja dimaksudkan agar manusia senantiasa mengingat-ingat apa yang terjadi kepada kaum ini. Demikian pula negeri kita, Indonesia, yang disebut sebagai jamrud katulistiwa.

Karena itu Ibn Mas’ud ra menyatakan bahwa kehidupan dunia ini akan berjalan baik, menghasilkan kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat, jika ditopang lima kelompok (pilar) orang yang memiliki akhlaqul karimah:

“Tegaknya urusan dunia itu (karena ditopang) oeh lima pilar utama yaitu: Ilmunya para ulama, adilnya para penguasa, kepemurahannya orang kaya, doanya orang-orang fakir, dan jujurnya para pegawai.” (HR. Ibn Mas’ud).*/Sholeh Hasyim

HIDAYATULLAH