Saat Gerhana Tidak Terlihat, Shalat Gerhana atau Tidak?

Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana tidak dilaksanakan kecuali ketika melihat langsung fenomena gerhana matahari atau bulan. Baik itu gerhana total maupun gerhana sebagian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

(1). “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Maka jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir)” (HR. Bukhari dan Muslim)

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

(2). “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika kalian telah melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah” (HR. Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 901)

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

(3). “Jika kalian telah melihat kedua gerhana, yaitu gerhana matahari dan bulan, maka bersegeralah menunaikan shalat” (HR. Bukhari no.1047)

Penentuan shalat gerhana tidak boleh dilaksanakan atas dasar petunjuk ahli falak semata.

Kalimat “Jika kalian telah melihat” menunjukkan bahwa shalat gerhana itu hanya diperuntukkan bagi orang yang langsung dapat melihatnya, bukannya ikut-ikutan shalat ketika seseorang tidak dapat melihatnya secara langsung dengan hanya berpatokan bahwa itu telah terjadi di tempat lain.

Imam an-Nawawi berkata :

“Jika gerhana matahari tertutup dengan awan mendung, padahal dapat diperkirakan (dengan hisab) bahwa akan terjadi gerhana maka “Tetap Tidak Boleh” melaksanakan shalat sampai benar-benar yakin (dapat dilihat langsung dengan mata)”. Lalu beliau menukilkan pernyataan ad-Darimi dan ulama lainnya, dimana mereka berkata : “Shalat gerhana tidak boleh bersandar atas dasar perhitungan ahli falak” (Raudhatut Thalibin 1/596)

Pernyataan serupa juga dinukilkan oleh Ibnu Muflih al-Hanbali dalam Kitab al-Furu’ ketika menulis permasalahan shalat gerhana. (lihat al-Furu’ 27/109)

Pendapat ini juga dikuatkan oleh ulama Madzhab Maliki, yaitu apabila gerhananya tidak jelas atau terlihat hanya sedikit saja dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya ahli falak/astronomi, maka tidak disunnahkan untuk melaksanakan shalat.

Muhammad Ulaisy al-Maliki berkata :

“Disunnahkan melaksanakan shalat khusuf ketika mengalami gerhana, baik secara total maupun sebagiannya saja, selama gerhananya tidak terlalu kecil sehingga tidak ada yang dapat melihatnya kecuali ahli astronomi/hisab saja” (sumber: fatwa.islamweb.net)

Permasalahan ini juga pernah ditanyakan kepada Syaikh Utsaimin, yaitu apa hukum shalat gerhana ketika gerhana tertutup dengan awan mendung, sementara surat kabar sudah mengumumkan akan terjadi gerhana. Lalu beliau menjawab :

لا یجوز أن یصلي اعتماداً على ما ینشر في الجرائد، أو یذكر بعض الفلكیین، إذا كانت السماء غیماً ولم یر الكسوف؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤیة، فقال عليه الصلاة والسلام: «فإذا رأیتموهما فافزعوا إلى الصلاة»، ومن الجائز أن الله تعالى یخفي هذا الكسوف عن قوم دون آخرین لحكمة یریدها

“Shalat gerhana tidak boleh bersandar kepada berita yang tersebar di koran-koran atau perhitungan para astronom. Jika langit mendung maka tidak ada shalat gerhana. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan penglihatan mata. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian melihat terjadinya gerhana, maka segeralah shalat”. Suatu hal yang mungkin terjadi, Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain karena suatu hikmah yang Dia inginkan”.

Adapun mengumumkan kepada masyarakat tentang shalat gerhana sebelum terjadinya, maka saya memandang “Tidak Boleh Mengumumkannya”, karena apabila diumumkan mereka akan bersiap-siap, seakan-akan shalat ini seperti shalat yang diharapkan (dinantikan), sebagaimana mereka menantikan shalat Ied. Jika demikian, maka ketika gerhana datang mereka melakukan shalat karena persiapan bukan karena ketakutan.

Namun apabila gerhana itu terjadi secara tiba-tiba, timbullah rasa khawatir dan takut yang ini tidak akan didapatkan kecuali bagi orang yang ‘aalim (Majmu’ Fatawa wa Rasail 16/300).

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا

“Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti” (QS. Al-Israa’ [17]: 59)

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu” (QS. Fusshilat [41]: 53)

Sehingga shalat gerhana tidak disunnahkan kecuali ketika melihat langsung peristiwa gerhana matahari atau bulan. Tidak boleh berpatokan pada ilmu falak atau ahli astronomi, karena illat atau sebab adanya hukum shalat tersebut adalah ketika menyaksikan gerhana secara langsung dengan mata telanjang. Sedangkan ilmu falak hanya sebagai alat bantu untuk mempermudah dalam proses menyaksikan gerhana.

Inilah sunnahnya Rasul, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dst yang sudah semestinya dilakukan oleh kaum muslimin.

Wallahul Muwaffiq
(Ustadz Najmi Umar Bakkar)