Menjadi Muslim yang Lebih Baik, Lakukan 5 Hal Ini!

Seorang muslim yang baik, mereka adalah yang mampu menjadi manfaat bagi sesamanya. Namun, sebelum memberikan manfaat yang banyak untuk sesama ia juga harus mampu berdaya dan bebas merdeka untuk mengarahkan hidupnya. Sebelum Jadi Manfaat untuk Sesama di bulan Ramadan ini, berikut hal yang wajib seorang muslim persiapkan.

1.  Istiqomah dalam Beribadah

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS: Az-Zariyat : 56)

Manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah dan tunduk kepada aturan-Nya. Muslim yang baik adalah mereka yang bisa melakukan ibadah dengan aman dan nyaman, tanpa ada ancaman yang menyertainya. Serta yang terpenting adalah Istiqomah.

Sayangnya, tidak semua negara di dunia ini mendukung kebebasan muslim untuk beribadah. Seperti menggunakan hijab, menutup aurat, melaksanakan shalat di waktu dan tempat yang tepat, dsb. Bahkan saudara-saudara kita di Palestina misalnya, mendapatkan ancaman, tembakan, rudal saat mereka harus melaksanakan shalat di masjid.

Bersyukurlah, jika hari ini kita mendapatkan kemerdekaan untuk beribadah dengan tenang dan nyaman.

2.  Bersih dari Penyakit Hati

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain…(QS: Annisa : 32)

Menurut Rasulullah SAW, hati adalah raja. Jika baik hatinya baik pula perilaku dan amalan kita. Sebaliknya, jika raja dalam diri kita buruk, maka buruk pula akhlak kita.

Muslim yang siap untuk memberi manfaat adalah yang mampu membebaskan dirinya dari belenggu penyakit hati. Misalnya iri, dengki, sombong, dan merasa paling benar sendiri. Penyakit hati kadang tidak disadari dan diam-diam menggerogoti pahala kebaikan kita.

3.  Yakin untuk Memilih Jalan Kebaikan

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS: Al-Isra: 7)

Kenikmatan yang harus kita syukuri sepanjang hidup adalah saat kita memiliki kebebasan untuk memilih jalan kebaikan. Kita bisa menentukan arah mana yang akan kita tuju untuk memperbanyak pahala dan amal baik kita selama hidup.

Saat kita tidak memiliki kebebasan untuk memilih jalan yang baik, maka saat itu kita harus berjuang untuk keluar dari belenggunya. Belenggu bisa berasal dari diri sendiri atau tantangan eksternal.

4.  Terbebas dari Hutang dan Riba

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah: 275).

Allah tidak melarang seorang muslim untuk berhutang, namun hutang bisa membuat hidup tidak tenang dan menjadi penuh dengan beban. Apalagi hutang yang kita sendiri sulit atau tidak mampu membayarnya. Lebih-lebih jika hutang disertai juga dengan riba.

Seorang muslim yang siap untuk jadi manfaat akan tenang hidupnya, penuh kesyukuran dan jauh dari perasaan gelisah atau terancam, jika merdeka dari hutang dan riba. Untuk itu jauhilah hutang yang kita tidak bisa membayarnya dan jangan dekati riba agar hidup kita tidak terlilit atau terhimpit.

Hiduplah dengan apa adanya, sesuai kemampuan, dan tidak berlebih-lebihan.

5.  Kemampuan Secara Finansial

“Orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS: Al-Baqarah: 261)

Sering kali umat Islam salah kaprah soal finansial dan harta. Islam bukanlah agama yang mengajarkan kemiskinan, namun justru mengajarkan agar umatnya mandiri, berdaya, dan dapat berkontribusi besar untuk sosial.

Sebagai muslim, jika kita memiliki kemampuan maka berusahalah untuk merdeka secara finansial. Nantinya, kita bisa seperti para sahabat Nabi yang hidupnya tidak pernah takut kekurangan harta sehingga berapapun bahkan mayoritas hartanya bisa ia berikan untuk berzakat, sedekah, dan wakaf.

DOMPET DHUAFA

Bolehkah Perempuan Haid Wukuf di Arafah?

Bolehkah perempuan yang sedang haid melakukan wukuf di Arafah? Salah satu rukun haji yang harus dilakukan adalah wukuf di Arafah, wukuf di Arafah merupakan rukun yang sentral dalam ibadah haji. Sebagaimana hadits Riwayat Tirnidzi, Rasulullah SAW menyerukan:

الْحَجُّ عَرَفَةُ، مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعِ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ، 

Artinya: “Haji itu adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang telah datang untuk wukuf di Arafah pada malam sebelum terbit fajar, maka ia sungguh telah mendapati haji.” (HR.Tirmidzi 889)

Dalam penjelasannya, diterangkan bahwa inti dari haji dan sebagian besar rukun-rukunnya adalah wukuf di Arafah, karena haji tidak sah jika wukuf di Arafah terlewatkan. Hal ini juga sependapat dengan yang dikatakan oleh Syekh Izzuddin Abdul Salam yang mengatakan bahwa sahnya haji tergantung pada wukuf di Arafah. (Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfauri, Tuhfah al-Ahwadzi, juz 3, hal 540)

Namun kemudian terdapat pertanyaan, apakah boleh perempuan yang sedang haid melaksanakan wukuf di Arafah?

Untuk menjawab itu, perlu kiranya kita ketahui bahwa terdapat dua kewajiban utama dalam pelaksanaan wukuf di Arafah. Pertama, wukuf harus dilakukan pada waktu yang ditentukan, yaitu mulai dari tergelincirnya matahari pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga terbitnya fajar shadiq pada hari Nahar (10 Dzulhijjah). Kedua, wukuf harus dilakukan oleh orang yang dianggap ibadahnya (ahlan lil ‘ibadah). (Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, Kifayatul Akhyar, hal 214)

Sehingga seseorang tetap dikatakan telah melakukan wukuf meski ia hanya berada di wilayah Arafah sebentar saja, atau bahkan ketika ia hanya tidur di Arafah. Dengan begitu, maka perempuan yang sedang haid tidak terlarang untuk melakukan wukuf di Arafah. Ini karena dua kewajiban wukuf hanya mencakup batas waktu wukuf dan seseorang yang dianggap mampu untuk beribadah (ahlan lil ‘ibadah).

Kendati demikian, terdapat keterangan mengenai beberapa adab yang dianjurkan untuk dipenuhi oleh seseorang yang melakukan wukuf di Arafah, yaitu sebagaimana keterangan dalam kitab al-Idlah:

السابعة: الأَفضلُ أن يكونَ مُسْتَقْبلاً لِلْقِبْلَةِ مُتَطهِراً سَاتِراً عَوْرَتَهُ فَلَوْ وَقَفَ مُحْدثاً أو جُنُباً أو حَائِضاً أوْ عَلَيْهِ نَجَاسَة أوْ مكشُوفَ الْعَوْرَةِ صَحَّ وقُوفُهُ وفَاتَتْهُ الفَضيلةُ

Artinya: “Kesunahan dan adab wukuf yang ketujuh: yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga jika seseorang wukuf dalam keadaan berhadast, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan” (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, hal 283)

Berdasarkan keterangan kitab tersebut, maka haid tidak menghalangi seseorang untuk melakukan wukuf. Karena suci dari hadats hanya merupakan adab, bukan syarat, walaupun itu berarti ia telah kehilangan keutamaan. Jika ia tidak takut kehilangan waktu wukuf, hendaknya ia menunggu dirinya suci.

Namun jika ditakutkan waktu wukuf segera habis, makai a boleh melakukan wukuf di Arafah meski dalam keadaan haid. Hal ini juga dikuatkan dengan keumuman hadits Rasulullah SAW, sebagai jawaban atas sayyidah Aisyah RA yang berada di Makkah sedang beliau dalam keadaan haid:

افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Artinya: “lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang haji, kecuali kamu tidak melakukan thawaf di Baitullah hingga kamu suci” (Muttafaqun ‘alaih)

Dilihat dari hadits tersebut, dapat dipahami bahwa ketika seorang perempuan sedang melakukan ibadah haji, namun ia dalam keadaan haid, maka dia boleh melakukan apa saja yang menjadi ritual haji, kecuali thawaf. Termasuk menunjukkan kebolehan dan keabsahan dalam melakukan wukuf di Arafah. Perempuan tersebut bisa melakukan ibadah yang diperbolehkan ketika haid seperti berdzikir, dan sebagainya selama ia wukuf di Arafah.

Demikian penjelasan mengenai hukum keabsahan wukuf di Arafah bagi perempuan haid. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshowab.

BINCANG SYARIAH

Peran Jama’ah Haji Era Belanda dalam Perubahan Sosial di Indonesia

Kepulangan jama’ah haji juga membawa dampak signifikan dalam bidang sosial dan politik, di antaranya membangkitkan perlawanan pada penjajah Belanda

DALAM sejarah Islam di Indonesia, jama’ah haji memiliki peran penting dalam pembaharuan dan penyebaran Islam. Terkait hal ini, Drs. H. Aqib Suminto di majalah Panji Masyarakat No. 373 mengulas bagaimana interaksi dan pengalaman jama’ah haji selama perjalanan ke

 Makkah berkontribusi pada perubahan sosial dan religius di tanah air.

Ulasan ia diterbitkan dengan judul “Pembaharuan Islam di Indonesia Peranan Haji Abad XIX”. Berikut ini adalah analisis lebih panjang dan mendalam berdasarkan data dari tulisan tersebut.

Ia mengawali artikelnya dengan kajian historis yang mengatakan bahwa para sarjana Barat berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia melalui India pada abad XIII.

Pendapat ini didukung oleh bukti arkeologis dan sejarah yang menunjukkan adanya hubungan antara kerajaan Pasai dengan dunia Islam internasional.

Marco Polo, seorang penjelajah dari Venesia, mencatat keberadaan kerajaan Islam Pasai pada tahun 1292. Namun, Islam yang datang melalui jalur ini masih sangat bercampur dengan adat dan budaya lokal, menghasilkan bentuk Islam sinkretis yang mencampurkan ajaran Islam dengan tradisi lokal.

Sinkretisme ini tampak jelas dalam praktik keagamaan yang ada di Nusantara pada masa itu. Meskipun masyarakat memeluk Islam, banyak dari mereka yang tetap menjalankan tradisi dan kepercayaan lokal.

Hal ini menyebabkan Islam yang dipraktikkan di Indonesia pada masa itu berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah, terutama dalam hal tauhid dan pemahaman dasar keislaman.

Peranan Haji dalam Pembaharuan

Perjalanan haji menjadi momen penting bagi umat Islam di Indonesia untuk berinteraksi langsung dengan pusat-pusat keislaman di

 Makkah dan Madinah.

Jama’ah haji yang kembali ke Indonesia membawa pemahaman Islam yang lebih murni dan otentik. Mereka memperoleh pengetahuan dari para ulama dan sarjana Islam di Tanah Suci, yang kemudian mereka sebarkan di Indonesia.

Dalam tulisannya, Aqib Suminto mencatat bahwa jama’ah haji sering kali menjadi agen pembaharuan di komunitas mereka. Mereka memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang mereka pelajari di

 Makkah dan Madinah, yang lebih sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks. Hal ini termasuk pemahaman yang lebih dalam tentang tauhid, syariat, dan ajaran Islam lainnya.

Kepulangan jama’ah haji juga membawa dampak signifikan dalam bidang sosial dan politik. Banyak dari mereka yang menjadi pemimpin masyarakat dan tokoh berpengaruh di daerah mereka.

Mereka menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapatkan selama haji untuk memperbaiki sistem sosial dan politik yang ada.

Sikap kritis dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam membuat mereka mampu melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Mereka mengajarkan pentingnya keadilan, kejujuran, dan integritas dalam pemerintahan dan kehidupan sosial. Hal ini berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih Islami dan berkeadilan.

Meskipun membawa perubahan positif, jama’ah haji juga menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Pemerintah kolonial Belanda sering kali melihat kegiatan haji sebagai ancaman potensial terhadap kekuasaan mereka.

Mereka khawatir bahwa interaksi dengan dunia Islam internasional akan membangkitkan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan.

Pada tahun 1859, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi jumlah jama’ah haji dengan alasan untuk mengontrol dan mengawasi mereka yang pergi haji.

Namun, langkah ini justru meningkatkan semangat dan tekad umat Islam untuk menunaikan ibadah haji, meskipun harus melalui jalur yang lebih sulit dan berbahaya.

Terkait hal ini, Dr. Deliar Noer dalam buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia” (1980: 30) juga mencatat;

“Bahaya lain yang dilihat Belanda pada Islam itu ialah sifat internasionalnya. Sifat ini di Indonesia tercermin dalam dua saluran: pertama dalam ibadah haji yang menyuruh penganut-penganut Islam dari seluruh bagian dunia untuk berkumpul di Makkah sekurang-kurangnya sekali setahun. Gambaran lain dari sifat internasional Islam itu terdapat pada kedudukan khalifah.”

Jadi, haji dianggap hal membahayakan oleh kolonial Belanda.

Lebih lanjut, Deliar juga menandaskan sekitar tahun 1804, pergerakan Paderi di Minangkabau yang dipicu oleh kedatangan pemimpin-pemimpin yang baru pulang dari  Makkah membawa pemikiran-pemikiran baru, menjadi hal yang perlu diwaspadai oleh Belanda.

Gerakan Paderi tersebut memang dimulai dengan kembalinya beberapa tokoh yang telah menimba ilmu di

 Makkah. Keyakinan bahwa orang-orang haji ini bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan Belanda di Nusantara mungkin diperkuat oleh kenyataan bahwa banyak pemberontakan di Indonesia dipimpin oleh mereka yang telah melaksanakan rukun Islam kelima.

Perlawanan terakhir yang signifikan dari penduduk Indonesia terhadap Belanda datang dari Aceh, wilayah di mana pada zaman kapal layar, orang-orang sering berkumpul selama berbulan-bulan sebelum berangkat ke Tanah Suci. Aceh juga menjadi tujuan pertama bagi mereka yang baru pulang dari ibadah haji.

Dalam sudut pandang kolonial, mereka dinilai membahayakan; tapi pada saat bersamaan mereka telah membawa dampak positif bagi pembaharuan Islam, penyebaran Islam, bahkan usaha konkret dengan semangat jihadnya untuk melawan penjajahan.

Senada dengan fakta tersebut, C. Poensen, scorang tokoh missionaris Kristen di Jawa Tengah pernah berujar:

“Tanah Arab bukan saja merupakan pusat untuk menyatukan jemaah-jemaah haji yang taat, melainkan juga pusat untuk menyatukan politisi-politisi dan pemimpin-pemimpin berbagai bangsa-bangsa Islam yang berkumpul di sana dan yang juga membicarakan kepentingan-kepentingan dan rencana-rencana politik mereka; di sanalah mereka tukar-menukar pendapat, dan jemaah-jemaah yang pulang pun dibekali dengan kitab-kitab yang meningkatkan perasaan agama dan kesadaran beragama—hal-hal yang harus dianggap mencurigakan bagi kepentingan jaminan keamanan dan ketertiban di kalangan orang-orang Islam yang berada di bawah pemerintahan Kristen.”

Sebagai tambahan data, bila dilihat secara historis, pembaharuan Islam di Indonesia memang sangat kental dengan pengaruh jamaah haji yang menimbah ilmu di

 Makkah.

Bahkan di antara mereka menjadi penyalur dari gerakan pembaharuan yang kala itu mencuat di Mesir. Di antara contohnya adalah KH. Ahmad Pendiri Muhammadiyah.

Terkait ia, Syafiq Mughni dalam buku “Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal” (1980: 7) mencatat;

“Pergerakan yang menyerukan faham kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah itu timbul pula di kalangan masyarakat Jawa. Faham itu dikembangkan oleh Ahmad Dahlan setelah perjalanannya ke Mekah pada tahun 1902 dan mendapatkan pengaruh dari ajaran salaf, sebagaimana hasil karya Muhammad Abduh dan Ibnu Taimiyyah, juga dari majalah Al-'Urwatul Wutsqa dan Tafsir Al-Manar, maka sejak tahun 1905 ia mulai mengemukakan fikiran-fikirannya yaitu kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pada akhirnya ia mengorganisasi gerakan tersebut dengan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.”

Gerakan Al-Irsyad dengan tokoh Syeikh Ahmad Syurkati, demikian juga Tuan A. Hassan dengan gerakan Persisnya, juga terpengaruh dengan gerakan-gerakan dari Mesir itu yang informasinya di antaranya didapat melalui majalah yang dikirim melalui jamaah haji atau memang bersinggungan langsung dengan yang pernah menimba ilmu saat di

 Makkah.

Dari beberapa keterangan tersebut, jelaslah bahwa peran jama’ah haji dalam pembaharuan Islam di Indonesia. Mereka tidak hanya membawa pemahaman ajaran Islam, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam bidang sosial dan politik.

Pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh selama haji membantu memperkuat ortodoksi Islam dan mengurangi pengaruh sinkretisme di Indonesia.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dari pemerintah kolonial, jama’ah haji terus berjuang untuk menunaikan ibadah haji dan membawa perubahan positif bagi masyarakat Indonesia.

Peran mereka dalam pembaharuan Islam di Indonesia pada abad XIX menunjukkan betapa pentingnya perjalanan haji yang tak terbatas pada sisi ritual tapi juga memperkuat dan menyebarkan ajaran Islam yang lebih murni dan otentik.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

22 Jamaah Haji Indonesia yang Ditangkap Polisi Arab Dibebaskan

Jamaah haji harus memperhatikan kelengkapan dokumen.

Sebanyak 22 jamaah calon haji (Calhaj) Indonesia dari 24 orang yang ditangkap aparat kepolisian Kerajaan Arab Saudi beberapa waktu lalu dinyatakan tidak bersalah. Hal ini disampaikan Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Yusron B Ambany. 

Dia mengatakan, pihaknya mendampingi proses pemeriksaan 24 orang yang sebelumnya ditangkap di Masjid Bir Ali, Madinah, Selasa (28/5/2024). Namun, sopir dan pemilik busnya ditahan di Madinah, yaitu MH dan JJ. 

Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata dia, 22 orang  ini merupakan jamaah yang ingin melaksanakan ibadah haji dengan biaya sebesar Rp 25-150 juta kepada koordinatornya. 

“Mereka sudah diproses oleh Kejaksaan Saudi. Hasil dari pemeriksaan, 22 orang dibebaskan,” ujar Yusron saat dihubungi, Kamis (29/5/2024).

Dia mengatakan, 22 orang jamaah itu saat ini masih berada di Arab Saudi dan statusnya masih belum melaksanakan ibadah haji. Karena tidak menggunakan visa haji, mereka pun disarankan untuk pulang ke Tanah Air. 

“Skema yang banyak ditawarkan paket haji Furuda dan macam-macam, faktanya mereka bukan dapat visa haji tetapi visa ziarah,” ucap dia.  

Yusron menjelaskan, pemerintah Arab Saudi saat ini terus berusaha memperbaki penyelenggaraan ibadah haji dan menciptakan inovasi baru dalam pelayanan. 

“Artinya adalah, tasreh menjadi sangat penting untuk mempersiapkan berapa orang yang harus dilayani, sampai ulama Saudi menyatakan bahwa haji tanpa tasreh itu dosa, Menteri Haji sudah bilang barang siapa berhaji tanpa tasreh haji, hajinya tidak sah,” kata dia. 

Masuknya haji ilegal ke Makkah dampaknya sangat besar. Karena itu, saat ini pemerintah Arab Saudi juga sudah memperketat akses masuk dari Madinah ke

 Makkah. Aparat kepolisian Arab Saudi menggelar razia di beberapa titik. 

“Dampaknya sangat besar. Kalau misalnya ada 100 ribu atau 200 ribu haji gelap akan ganggu ibadah haji secara keseluruhan,” jelas Yusron.

Sebelumnya, 24 orang jamaah pemegang visa non haji asal Indonesia diamankan aparat kepolisian Kerajaan Arab Saudi, Selasa (28/5/2024) pukul 12.00 Waktu Arab Saudi (WAS). Mereka diamankan setelah kedapatan tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen perhajian ketika Miqat di Bir Ali, Madinah. 

Saat diamankan, petugas haji yang selesai melaksanakan Shalat Dzuhur melihat ada keganjilan. Pasalnya, pada jam-jam tersebut tidak ada jadwal kedatangan jamaah haji Indonesia ke Bir Ali untuk mengambil Miqat.

Petugas pun langsung mengecek ke dalam bus. Ketika ditanya, mereka mengaku jamaah haji furoda. 

Karena jamaah Furoda bukan bagian dari kuota jamaah Indonesia, maka petugas tidak langsung menanyakan kelengkapan dokumen. “Kami tanya, mereka jawab jamaah furoda sehingga kami tidak tanya, apa dibawa apa tidak (dokumen-dokumen). Tapi informasi dari Masyariq mereka pakai visa umroh,” ujar Kepala Sektor PPIH Bir Ali, Aziz Hegemur di Madinah, Rabu (29/6/2024). 

IHRAM

Jamaah Haji Dilarang Bentangkan Spanduk dan Bendera di Kawasan Masjid

Jamaah haji merupakan tamu Allah.

Oleh Muhyiddin dari Arab Saudi

Kementerian Agama (Kemenag) RI kembali mengingatkan kepada calon jamaah haji (calhaj) Indonesia untuk mengindahkan sejumlah larangan yang telah ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Di antaranya adalah tidak membentangkan spanduk dan bendera, khususnya di Kawasan Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram  Makkah

“Jamaah dilarang membentangkan spanduk atau bendera yang menunjukkan identitas personal atau kelompok tertentu di dalam maupun di luar kompleks masjid,” ujar anggota Tim Media Center Kemenag, Widi Dwinanda beberapa waktu lalu.

Pemerintah Arab Saudi melarang keras pengibaran spanduk, bendera, atau penanda penanda tersebut, termasuk membentangkan bendera merah putih sekalipun. Tidak hanya itu, dia juga mengingatkan agar calhaj Indonesia untuk tidak merokok di sembarang tempat. 

“Jamaah dilarang merokok di kawasan masjid dan tempat tertentu yang ditetapkan otoritas setempat, karena merokok di area terlarang bisa menjadi masalah serius bagi jamaah, di antaranya akan dikenakan denda yang cukup besar oleh pihak berwenang,” ucap Widi. 

Selanjutnya, Widi juga mengingatkan kepada calhaj Indonesia untuk tidak berkerumun lebih dari lima orang. Menurut dia, askar masjid tidak akan segan membubarkan kerumunan tersebut karena berpotensi mengganggu pergerakan jamaah lainnya.

“Saudi menerapkan aturan ketat bagi jamaah yang ketahuan berkerumun lima orang atau lebih dalam jangka waktu yang lama,” kata Widi. 

Sedangkan kepada ketua kloter, perangkat kloter, serta para kelompok bimbingan ibadah haji dan umroh (KBIHU), Kemenag mengimbau agar terus memberikan edukasi kepada jamaahnya perihal ketentuan-ketentuan yang dutetapkan oleh pemerintah Arab Saudi.

Calon jamaah Indonesia yang telah diberangkatkan pada gelombang pertama saat ini masih berada di Madinah. Setelah sembilang hari berada di Madinah, mereka akan menuju Makkah pada 23 Mei 2024 mendatang untuk melaksankan puncak Haji 2024. Widi pun mengimbau kepada calon jamaah Indonesia untuk tetap menjaga kesehatan. 

“Jamaah menjelang keberangkatan ke kota

 Makkah untuk umroh wajib, jamaah haji agar bersiap diri dengan menjaga kesehatan, memperhatikan asupan makanan dan gizi yang cukup. Dan prioritaskan ibadah wajib dan membatasi ibadah sunah yang akan menguras ketahanan fisik,” jelas Widi. 

Selain itu, Kemenag juga mengingatkan bahwa jamaah haji bila ingin beribadah di Masjid Nabawi untuk tetap memperhatikan hal-hal berikut, yaitu mencatat nama dan nomor hotel, memberitahu dan mencatat nomor kontak petugas PPIH di hotel, serta tetap mengenakan identitas pengenal, terutama gelang jamaah. 

“Jangan tukar menukar gelang dengan jamaah lainnya dan pergi serta pulang secara berkelompok. Jangan sungkan juga untuk meminta bantuan petuags selama di Asrama haji, dalam penerbangan hingga di Tanah suci. Petugas haji Indoensia akan siap siaga membantu dan melayani jamaah haji,” kata Widi.

IHRAM

Kesalahan dalam Membaca Al-Fatihah yang Menyebabkan Salat Tidak Sah

Membaca Al-Fatihah adalah rukun dalam setiap rakaat salat, baik salat wajib maupun sunah, baik dibaca secara keras (jahr) maupun lirih (sir), bagi imam, orang yang salat sendirian, dan makmum. [1]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.[2]

Dalam riwayat lain disebutkan,

لا تجزي صلاة لا يقرأ فيها الرجل بفاتحة الكتاب

Tidak sah salat yang tidak dibacakan Al-Fatihah di dalamnya.[3]

Selain itu, hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan hadis riwayat Bukhari,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat.[4]

Salat tidak sah tanpa bacaan Al-Fatihah

Salat tidak sah, kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Hal ini ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Qudamah rahimahullah yang mengatakan,

قراءة الفاتحة واجبة في الصلاة، وركن من أركانها، لا تصح إلا بها في المشهور عن أحمد، نقله عنه الجماعة، وهو قول مالك، والثوري، والشافعي وروي عن عمر بن الخطاب، وعثمان بن أبي العاص وسعيد بن جبير – رضي الله عنهم أنهم قالوا: لا صلاة إلا بقراءة فاتحة الكتاب

Membaca Al-Fatihah adalah wajib dalam salat dan merupakan rukun salat yang (salat itu) tidak sah tanpanya. Ini adalah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, yang juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i. Diriwayatkan pula dari Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berkata, ‘Tidak ada salat, kecuali dengan membaca Al-Fatihah.’[5]

Kemudian beliau melanjutkan,

ومن ترك تكبيرة الإحرام، أو قراءة الفاتحة – وهو إمام أو منفرد … بطلت صلاته

Barangsiapa yang meninggalkan takbiratul ihram atau bacaan Al-Fatihah, baik sebagai imam atau salat sendirian, … maka salatnya batal.[6]

Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan,

وقراءة الفاتحة للقادر عليها فرض من فروض الصلاة وركن من أركاتها ومتعينة لا يقوم مقامها ترجمتها بغير العربية ولا قراءة غيرها من القرآن، ويستوي في تعينها جميع الصلوات فرضها ونقلها جهرها وسرها، والرجل والمرأة والمسافر والصبي، والقائم والقاعد والمضطجع، وفي حال شدة الخوف وغيرها سواء في تعينها الإمام والمأموم والمنفرد

Membaca Al-Fatihah bagi yang mampu adalah wajib dan rukun dalam salat. Tidak ada yang dapat menggantikannya, baik dengan terjemahannya dalam bahasa selain Arab maupun dengan membaca ayat Al-Qur’an lainnya. Kewajiban ini berlaku untuk semua salat, baik wajib maupun sunah, jahr maupun sir, laki-laki maupun perempuan, musafir maupun anak-anak, berdiri, duduk, maupun berbaring, baik dalam keadaan takut maupun tidak. Kewajiban ini juga berlaku bagi imam, makmum, dan orang yang salat sendirian.[7]

Kesalahan yang membatalkan bacaan Al-Fatihah

Membaca Al-Fatihah batal karena beberapa kesalahan, yang mengakibatkan batalnya satu rakaat atau salat secara keseluruhan. Berikut ini kesalahan-kesalahan tersebut yang disarikan dari kitab Tajwidul Fatihah alladzi La Yahsunu Jahluhu [8]:

Pertama: Menghilangkan salah satu huruf dari huruf-hurufnya. Al-Fatihah terdiri dari 120 huruf.

Kedua: Menghilangkan tasydid (syaddah) dari huruf-huruf yang seharusnya dibaca dengan tasydid. Al-Fatihah memiliki 14 huruf yang dibaca tasydid.

Peringatan: Sebagian orang tidak menghilangkan syaddah, tetapi membacanya dengan lemah dan ringan. Terdapat dua pendapat mengenai apakah salat batal karena kesalahan ini.

Ketiga: Mengganti satu huruf dengan huruf yang lain. Hal ini terbagi menjadi dua:

Bagian pertama: Jika huruf diganti dengan huruf lain dan huruf pengganti tersebut terdapat dalam bacaan lain yang sahih dan tetap, maka salat tidak batal. Bacaan-bacaan yang termasuk dalam kategori ini terbatas pada berikut ini:

Pertama: Mengganti huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) menjadi ‘sin‘ tidak membatalkan salat, karena penggantian dengan ‘sin‘ merupakan bacaan yang sahih dalam qiraah sab’ah, yaitu qiraah Qunbul dari Ibnu Katsir (الصراط => السراط), (صراط => سراط).

Kedua: Membaca huruf ‘shad‘ pada kata (الصراط، صراط) dengan samar-samar (الإشمام) karena ini adalah bacaan Imam Hamzah.

Ketiga: Mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب – الضالين) menjadi ‘zha‘ (ظ), khusus bagi mereka yang kesulitan membedakan keduanya dan sulit mengucapkan huruf ‘dhad‘.

Bagian kedua: Jika huruf yang diganti dengan huruf lain dan tidak ada bacaan lain yang sahih, maka salat menjadi batal karena Al-Fatihah adalah rukun salat, sehingga harus dibaca dengan lengkap.

Huruf-huruf yang memiliki bacaan lain yang sahih adalah yang telah disebutkan sebelumnya. Selain tiga huruf tersebut, tidak boleh ada penggantian huruf. Contohnya, jika seseorang mengganti huruf ‘dhad‘ menjadi ‘dal‘ sehingga berbunyi (ولا الدالين) seperti yang diucapkan sebagian orang non-Arab, atau mengganti huruf ‘dhad‘ pada kata (المغضوب) menjadi ‘dzal‘ (ذ), maka salatnya tidak sah. Begitu pula dengan huruf-huruf lainnya.

Keempat: Mengganti harakat (tanda baca) dengan harakat yang lain.

Hal ini terbagi menjadi dua:

Bagian pertama: Jika perubahan harakat mengubah makna, maka salat menjadi batal. Contohnya, jika fathah pada kata (أنعمتَ) diganti menjadi dammah (أنعمتُ), maka maknanya akan berubah total sehingga salat menjadi batal.

Bagian kedua: Jika perubahan harakat tidak mengubah makna, maka salat tidak batal, meskipun tidak seharusnya dilakukan karena termasuk mengubah kitab Allah. Contohnya, jika kasrah pada huruf shad dalam kata (الصِّراط) diganti menjadi fathah, menjadi  (الصَّراط). Begitu juga jika membaca kata (يومِ) dengan fathah menjadi (يومَ).

Keabsahan salat orang yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan benar

Setelah kita mengetahui jenis-jenis kesalahan yang dapat membatalkan salat, perlu diketahui bahwasanya orang yang salah dalam membaca Al-Fatihah, jika dia salah karena tidak mampu, maka salatnya tetap sah.

Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya,

Ayah saya adalah seorang yang buta huruf dan tidak bisa membaca atau menulis. Beliau rajin salat di masjid, tetapi tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan baik. Apakah salatnya diterima?

Beliau menjawab,

“Ajarilah beliau, agar beliau bisa belajar (membaca Al-Fatihah dengan benar). Jika beliau tidak mampu, salatnya tetap sah berdasarkan firman Allah,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’ [9]

Namun, dia tetap harus diajari Al-Fatihah dan berusaha keras untuk mempelajarinya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Maka, anak-anaknya dan orang lain harus mengajarinya. Dia harus belajar dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal dan memahami Al-Fatihah.

Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, mengeluhkan bahwa dia tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali. Nabi ﷺ bersabda,

قل: سبحان الله، والحمد لله، ولا إله إلا الله، والله أكبر، ولا حول ولا قوة إلا بالله

Ucapkanlah, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah.”

Kalimat ini dapat menggantikan Al-Fatihah bagi yang tidak mampu. Barangsiapa tidak mampu membaca Al-Fatihah, hendaklah membaca tasbih ini. Namun, dia tetap wajib berusaha mempelajarinya karena Al-Fatihah adalah rukun salat dan merupakan surat yang agung dalam Al-Qur’an.

Al-Fatihah mudah untuk dipelajari dengan izin Allah. Oleh karena itu, wajib untuk mempelajarinya. Jika tidak memungkinkan untuk menghafalnya, maka bacalah apa yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, Subhanallah, walhamdulillah, wa lailahaillallah, wallahu akbar, wa lahaula walaquwwata illa billah ketika berdiri dalam salat, saat membaca bacaan salat. Namun, dia tetap harus berusaha keras untuk mempelajari Al-Fatihah dan ayat-ayat lain yang mampu dibacanya.” [10]

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang kesalahan dalam membaca Al-Fatihah yang menyebabkan batalnya salat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendirikan salat sebagaimana yang Dia cintai dan ridai.

Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

12 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Sumber: https://muslim.or.id/95241-kesalahan-dalam-membaca-al-fatihah-yang-menyebabkan-salat-tidak-sah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Rasulullah SAW Melarang Kita Melaknat Orang yang Maksiat

Bagi setiap orang muslim khususnya laki-laki, setiap minggunya yaitu pada hari Jumat mereka akan mendapat ajakan dari khatib untuk bertakwa. Karena memerintahkan takwa merupakan salah satu rukun khatbah Jumat. Allah Swt sendiri memerintahkan setiap orang beriman untuk bertakwa sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 7:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.”

Kemudian, apa maksud dari makna takwa itu sendiri?  Menurut Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam kitab Rawa’iut Tafsir karangan Ibnu Rajal al-Hambali, beliau mengatakan:

ليس تقوى الله بصيام النهار، ولا بقيام الليل، والتخليط فيما بين ذلك، ولكن تقوى الله ترك ما حرم الله، وأداء ما افترض الله، فمن رزق بعد ذلك خيرا، فهو خير إلى خير

“Takwa kepada Allah itu bukan lah puasa di siang hari dan qiyamul lail dan hal-hal yang seperti  itu. Akan tetapi takwa kepada Allah adalah meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah. Maka barang siapa yang mendapatkan rezeki setelah melakukan hal tersebut, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan yang lain”. 

Dalam redaksi penjelasan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau lebih mendahulukan meninggalkan apa yang dilarang daripada apa yang diperintahkan. Karena menjauhi larangan Allah Swt itu lebih berat daripada menjalankan perintahnya, meskipun pada hakikatnya keduanya sama-sama melaksanakan apa yang difirmankan oleh Allah Swt.

Sedangkan keimanan seseorang itu tidak lah bisa selalu stabil, pasti adakalanya pasang surut dalam menjalankan ketakwaan. Seperti apa yang dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam kitab al-Ibanah bahwa iman (ketakwaan seseorang) itu berupa ucapan dan tindakan,  (adakalanya) bisa bertambah dan berkurang.

Untuk itu, tidak sepatutnya bagi seseorang untuk menjelek-jelekan muslim ketika telah melakukan maksiat. Perbuatan maksiat atau kesalahan itu memang wajib dihindari dan dibenci, tetapi tidak dengan orangnya. Karena hanya para nabi dan rasul Allah Swt-lah yang maksum atau terbebas dari maksiat.

Rasulullah saw pun melarang seorang muslim melaknat muslim yang lain karena berbuat maksiat. Dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin bahwa terdapat seorang sahabat yang bernama Nu’aiman, sahabat ini terkadang datang kepada Rasulullah saw dan beliau langsung menghukum perbuatan maskiat yang telah dilakukan Nu’aiman tadi.

Nu’aiman ini merupakan seorang sahabat yang unik, bisa dikatakan bahwa dia merupakan sahabat yang paling konyol. Diceritakan dalam kitab Tarikh Madinah Dimasyq karangan Imam Abul Qasim Ali asy-Syafi’i, suatu waktu Nu’aiman memberikan hadiah berupa minuman kepada Rasulullah saw yang dia beli sebelumnya. Rasulullah saw dan sahabat yang lain pun menikmati pemberian hadiah tersebut.

Setelah minumannya habis, datanglah penjual minuman tersebut untuk menagih uangnya karena belum dibayar. Rasulullah pun kaget, karena tiba-tiba ditagih oleh penjual tadi.

“Bukankah engkau memberikan hadiah ini kepada aku?” tanya Rasulullah saw kepada Nu’aiman.

“Wahai Rasulullah, sungguh tidak ada uang yang aku miliki, dan sungguh aku sangat ingin engkau menikmati hadiah dariku?”, jawab Nu’aiman.

Mendengar jawaban dari Nu’aiman, Rasulullah saw tidak marah. Akan tetapi malah tertawa. Kemudain beliau meminta kepada sahabat lain untuk iuran membayar kepada penjual tadi.

Kemudian di lain waktu, dia datang kepada Rasulullah saw dan dia dihukum lagi dengan cambukan karena melakukan perbuatan maksiat. Kemudian ada sahabat lain yang terheran dengan Nu’aiman, karena sering melihat kejadian Nu’aiman datang kepada Rasulullah saw, lalu dia dihukum karena telah berbuat maksiat. Karena sahabat tadi merasa kesal kepada Nu’aiman, kemudian dia melaknat Nu’aiman.

Mendengar perkataan orang tersebut, Rasulullah saw malah marah,

لا تلعنه فإنه يحب الله ورسوله

“Janganlah kau melaknat dia, karena sesungguhnya dia mencitai Allah dan utusan-Nya”.

Ada komentar menarik dari Imam al-Ghazali dari kejadian diatas. Beliau mengatakan bahwa meskipun Nu’aiman melakukan maksiat, tapi bukan berarti cintanya dia kepada Allah dan utusan-Nya akan hilang. Memang betul cinta dia belum mencapai level sempurna, akan tetapi tidak akan sampai menghilangkan cintanya Nu’aiman.

وقد قال بعض العارفين : إذا كان الإيمان في ظاهر القلب أحب الله تعالى حباً متوسطاً، فإذا دخل سويداء القلب أحبه الحب البالغ

“Sebagian orang ahli ma’rifat berkata: ketika iman masih berada di luar hati, maka Allah mencintainya dalam kadar yang sedang. Maka ketika imannya sudah masuk ke dalam relung hati, Allah akan mencintainya dengan cinta yang lebih”.

Selain itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah juga berkata bahwa seseorang tidak boleh merasa lebih baik dari orang lain.

 فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

“Keyakinanmu bahwa engkau lebih baik dari yang lain merupkan murni kebodohan. Sudah sepatutnya engkau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik dari engkau dan memiliki keutamaan di atas engkau.”

Dari pelajaran kisah diatas, seorang muslim harus menghindari untuk mengolok-olok muslim lain yang bermaksiat. Perbuatannya harus dibenci, akan tetapi orangnya tidak boleh dibenci apalagi dilaknat. Karena hanya Allah Swt lah yang tahu kapan hidayah akan datang kepada seseorang. Bahkan bisa saja ketika orang tersebut sudah murni bertaubat, dia bisa lebih baik daripada orang lain yang mengolok-oloknya.

Alif.id

Resmi Norwegia, Irlandia dan Spanyol Beruntun Mengakui Negara Palestina

Norwegia, Irlandia dan Spanyol secara resmi mengakui eksistensi negara Palestina dalam langkah terkoordinasi lewat pengumuman yang disampaikan secara beruntun.

Diawali oleh Norwegia, Perdana Menteri Jonas Gahr Støre dalam pidatonya mengatakan “tidak akan ada perdamaian di Timur Tengah apabila tidak ada pengakuan” terhadap eksistensi negara Palestina.

“Dengan mengakui Palestina sebagai sebuah negara, Norwegia mendukung rencana perdamaian Arab,” kata Støre seperti dilansir Radio France Internationale Rabu (22/5/2024).

Pada hari yang sama Perdana Menteri Simon Harris membuat pengumuman pengakuan resmi Irlandia terhadap eksistensi negara Palestina.

Harris mengatakan langkah itu dimaksudkan untuk membantu mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui solusi dua-negara.

Dalam pidato di depan anggota parlemen, hari Rabu ini Perdana Menteri Pedro Sánchez mengatakan Spanyol akan mengakui secara resmi Palestina sebagai sebuah negara pada 28 Mei 2024.*

HIDAYATULLAH

Dalil Wajib Ibadah Haji

Salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan adalah haji. Dalam Alfiqhul Islmai wa Adillatuhu disebutkan bahwa haji adalah sengaja pergi ke Baitullah dalam rangka melaksanakan ibadah tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Nah berikut ini penjelasan tentang dalil wajib ibadah haji.

Menurut pendapat yang kuat, haji diwajibkan pada tahun sembilan Hijriyah. Para ulama sepakat bahwa haji diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan ijma ulama.

Di antara dalil yang dijadikan dasar kewajiban haji oleh para ulama adalah surah Ali Imran ayat 97 berikut;

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَا عَ إِلَيْهِ سَبِيلًۭا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِ نَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya; “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

Menurut Imam Ibnu Kastir, ayat di atas merupakan dalil yang dijadikan dasar kewajiban haji oleh kebanyakan ulama. Sebagian ulama lain menjadikan surah AlBaqarah ayat 196 sebagai dasar kewajiban haji.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian karena Allah.”

Sementara itu, hadis yang dijadikan dasar kewajiban haji adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah;

 بُنِىَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ اَنْ لآ اِلَهَ اِلاَّ اﷲُ٬ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اﷲِ٬ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءِ الزَّكاَةِ ٬ وصَوْمِ رَمَضَانَ ٬ وَحِجِّ الْبَيْتِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً

“Islam dibangun atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadan dan melakukan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana.”

Selain hadis di atas, terdapat pula hadis-hadis lain yang menjadi dasar kewajiban haji. Oleh karena itu, seluruh ulama sepakat tentang kewajiban haji. Mereka juga sepakat bahwa siapa pun yang mengingkari kewajiban haji dihukumi keluar dari Islam karena kewajiban haji sudah jelas berdasarkan Alquran, hadis, dan ijma ulama.

Demikian dasar dan dalil wajib haji pada surah Ali Imran ayat 9. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Cerita Petugas Haji Setiap Hari Temukan Ratusan Jamaah Nyasar di Nabawi

Mayoritas jamaah yang nyasar adalah lansia dan mengalami demensia.

Laporan Jurnalis Republika Karta Raharja Ucu dari  Madinah

“Tas saya tadi simpan di depan ketika sholat Isya. Karena padat sekali, saya berdiri dan lupa ambil. Sekarang entah di mana.”

Kalimat demi kalimat diceritakan seorang jamaah asal Medan, Rus Rahman. Pria 74 tahun ini mengaku kehilangan tas di Masjid Nabawi, Kamis (24/5/2024) malam. Repotnya, Rus tidak membawa kartu identitas dan tidak tahu jalan pulang.

Beruntung beliau memakai gelang sehingga saat saya diamanahi untuk menolongnya, saya bisa mendeteksi di mana beliau menginap. Lucunya, setelah ditelusuri ketua kloter, ternyata tas Bapak Rus ada di dalam kamar hotel dan tidak dibawa ke masjid.

Bapak Rus bukan satu-satunya jamaah yang nyasar dan tidak tahu jalan pulang ke hotel. Di lain waktu, saya bertemu dengan Bapak Arfan asal Halmahera, Maluku.

Pria berusia 68 tahun ini nyasar lebih dari dua kilometer dari hotel tempatnya menginap. “Saya tara tahu hotel tempat saya menginap,” ucap dia saat bersalaman dengan saya.

Pensiunan Pegawai Negeri Sipil ini tertinggal dan terpisah dari rombongannya usai Sholat Ashar. Setelah diantar ke hotel, beliau pun bertemu dengan istrinya yang sudah menunggu di hotel.

Ee kemarin kau hilang, sekarang hilang juga,” ucap sang istri di lobi hotel.

Setiap hari ada ratusan jamaah yang nyasar di Masjid Nabawi. Biasanya mereka kesulitan kembali ke hotel karena terpisah dari rombongannya setelah sholat fardhu.

Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi di sektor khusus Masjid Nabawi selama Selasa (21/5/2024) sore hingga Rabu (22/5/2024) Waktu Arab Saudi, mencatat ada 109 jamaah yang kesulitan kembali ke tempat penginapannya. Tujuh puluh jamaah di antaranya harus diantarkan oleh petugas, sementara sisanya dijemput jamaah satu rombongan atau ketua kloter.

Diakui Kepala Sektor Khusus Masjid Nabawi PPIH Arab Saudi Surnadi persoalan jamaah yang tersasar menjadi insiden paling sering ditemui petugas haji di Masjid Nabawi. Namun, semua itu bisa diselesaikan dan semua jamaah bisa pulang ke hotel.

Persoalan jamaah nyasar memang menjadi konsentrasi Petugas Penyelenggara Haji Indonesia (PPIH) Arab Saudi 2024, sehingga untuk mengantisipasinya ditempatkan petugas-petugas khusus di seluruh sektor. Tugas mereka nantinya membantu dan mengantarkan jamaah pulang ke hotel.

Mayoritas jamaah yang tersasar adalah lansia di atas usia 65 tahun. Alasannya tertinggal dari jamaah, tidak membawa gelang, atau yang paling parah demensia.

Saat berbincang dengan Kepala Seksi Layanan Lansia, Disabilitas, dan PKP3JH (Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama Pada Jamaah Haji) Dokter Leksmana Arry Chandra, dia mengungkapkan tidak sedikit jamaah lansia yang mengalami demensia ketika di Tanah Suci. Baik itu lupa nama, keluarga, atau bahkan merasa masih berada di kampung halamannya.

Pemicu demensia menurut dokter yang sehari-hari bertugas di Kantor Daker

 Madinah ini, dipicu dua hal yakni faktor sosial atau psikososial, dan faktor pribadi atau psikilogis. “Selain itu juga dipicu oleh faktor biologis.”

Banyak kasus jamaah nyasar di Masjid Nabawi membuat Kepala Perlindungan Jamaah AKBP Ahmad Hanafi mengimbau agar selalu pergi dan pulang dari masjid bersama rombongan. Jangan pula lupa selalu membawa kartu identitas dan gelang.

“Jangan lupa itu,” katanya.

IHRAM