menjaga lisan

Saatnya ‘Me-lockdown-kan’ Lisan

KITA sering mendengar, “Jaga lisan dan jaga lidah saat bicara“. Itulah sepenggal nasihat yang sering kita dengar untuk mengingatkan agar kita selalu hati-hati dalam bicara. Tidak asal bunyi. Ada ungkapan: lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan lebih sakit dibanding dengan pedang.

Islam telah mengajarkan pada umatnya agar senantiasa menata ucapan dan diamnya  –atau meminjam istilah lockdown yang lagai banyak dilakukan di seluruh dunia sehubungan virus corona- sehingga dapat meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih kesalamatan dari sikap diam yang diambilnya.

Rasulullah ﷺ  mengingatkan akibat buruk dari lidah, dan inilah yang sangat beliau khawatirkan. Dari Sufyan bin Abdillah RA, ia berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau ﷺ menjawab, “Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah ﷺ  menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi).

Ketika Rasul ﷺ  ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau menjawab, “Dosa lidah dan kemaluan.” (HR Tirmidzi).

Dan, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sabda Nabi ﷺ , “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).

Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya sekedar menjaga hubungan baik dengan antarsesama. Tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan aqidah.

Ustadz Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah Arbain Tarbawiyah, menyebutkan empat syarat perkataan yang mengandung manfaat.

Pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang melatarbelakanginya, yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohan, menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskannya dalam kesalahan dan fitnah.

Karenanya, perkataan seorang Muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang jernih dan memiliki tujuan yang pasti, sehingga selamat dari kesalahan dan dapat menunjukkan kecerdasan dan keimanannya.

Disebutkan dalam atsar, “Lidah seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila hendak berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan akan bicara, jika mendatangkan bahaya akan menahan diri. Sedangkan akal orang yang jahil berada di belakang lidahnya, ia selalu berbicara tentang semua hal yang terpampang di depannya.”

Kedua, hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat sehingga mendatangkan manfaat yang besar. Perkataan yang tidak tepat waktu dan tempat, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya dan fitnah. Karenanya, seorang Muslim hendaknya memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan. Disebutkan dalam atsar, “Setiap situasi dan kondisi memiliki perkataan tersendiri.”

Ketiga, hendaknya perkataan diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan kapasitasnya hanya mengurangi manfaat dan pengaruhnya, juga dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkan. Dalam atsar, “Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan.”

Keempat, memilih kata yang hendak diucapkan. Karena lidah adalah identitas seseorang, maka hendaknya ia memilih kata-kata yang tepat dan mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA, Nabi ﷺ  berkata, “Aku kagum dengan ketampananmu.” Ia bertanya, “Apa ketampanan seorang lelaki, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Lidahnya.”

Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan. Pertama, tidak banyak bicara atau diam.  Rasul ﷺ  bersabda, “Barangsiapa yang diam pasti selamat.” (HR Tirmidzi).

Kedua, mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat. Sabda Nabi ﷺ , “Barangsiapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya.” (HR Ibnu Dunya).

Ketiga, berkata yang baik. Nabi ﷺ  bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).

Keempat, takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah ada di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaklah takut kepada Allah, Allah mengetahui apa yang diucapkannya.” Ketahuilah, bahwa setiap ucapan yang keluar dari lidah akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawaban.

Allah SWT berfirman

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS: Qaf [50] : 18).

Dr Musthafa Dieb al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, menambah etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara.

Pertama, seorang muslim hendaknya berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna di antaranya ghibah, namimah, dan mencela orang lain.

Kedua, tidak banyak bicara. Karena banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi ﷺ , ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi).

Ketiga, wajib bicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.

Jika setiap kita dapat me-lockdown lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu-domba, dan hasutan, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.*

Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH