wali Allah

Salah Memahami Hadits Tentang Wali Allah

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz 

Soal:

Orang-orang sufi berdalil dengan hadits:

ولئِن سألَني لأعطينَّهُ

“Jika ia (wali Allah) meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memberinya” (HR. Al Bukhari).

bahwa Allah bersatu dengan para walinya (akidah wihdatul wujud). Karena dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Allah menjadi pendengarannya dan penglihatannya*).

Jawab:

Ini adalah bentuk kejahilan mereka (kaum sufi). Yang benar, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

لئِن سألَني لأعطينَّهُ ولئنِ استعاذني لأعيذنَّهُ 

“Jika ia (wali Allah) meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya” (HR. Al Bukhari). 

Maksudnya, ia mendapatkan taufik untuk menjalankan yang benar. Sebagaimana disebutkan dalam lafadz yang lain: 

كُنْتُ سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها

“Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, pukulan tangannya, dan langkah kakinya” 

Maksudnya, ia melakukan semua perbuatannya dengan taufik dari Allah dan hidayah dari Allah. Inilah tafsiran hadits tersebut.

Dan tentu saja, pendengaran seseorang, penglihatan dan perbuatannya itu terjadi atas ketetapan Allah. Namun di sini maksudnya, ia mendapatkan petunjuk dan taufik dari Allah. Ini perkara yang biasa bagi orang Arab, dan bentuk gaya bahasa orang Arab. Oleh karena itulah, dalam riwayat lain lafadznya: 

فبي يسمع 

“ia mendengar dengan (taufik dari) Aku”, untuk menafsirkan makna hadits. 

Namun orang-orang sufiyah mereka jahil dan menyimpang, mereka tidak memahami hal ini. Nas’alullah as salaamah wal ‘afiyah.

Sumber: website resmi Syaikh Abdul Aziz bin Baz, url: https://bit.ly/3mS7u7U 

*) lafadz lengkap dari hadits adalah sebagai berikut. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ قالَ: مَن عادَى لي ولِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وما تَرَدَّدْتُ عن شيءٍ أنا فاعِلُهُ تَرَدُّدِي عن نَفْسِ المُؤْمِنِ، يَكْرَهُ المَوْتَ وأنا أكْرَهُ مَساءَتَهُ

“Allah ta’ala berfirman: Barangsiapa yang memerangi wali-Ku, maka ia mengumumkan perang terhadap-Ku. Dan ketika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku, maka tidak ada yang paling Aku cintai melebihi perkara-perkara yang Aku wajibkan kepadanya. Dan ketika seorang hamba senantiasa melakukan amalan-amalan sunnah, maka aku semakin mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, maka Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, pukulan tangannya, dan langkah kakinya. Jika ia meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Jika ia minta perlindungan kepadaku, akan Aku lindungi. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti Aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman. Dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya” (HR. Bukhari no. 6502).

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id