Spirit Hijrah

Setidaknya ada tiga spirit yang memotivasi Nabi Muhammad dan para sahabat hijrah.

Hijrah bukan hanya perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun, sebuah aksi yang memiliki spirit dan tujuan tersendiri.

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya berhijrah dari Makkah menuju Madinah juga tidak lepas dari spirit dan tujuan khusus tersebut. Setidaknya ada tiga spirit yang memotivasi mereka hijrah.

Pertama, untuk menyelamatkan akidah atau keyakinan. Selama tinggal di Makkah, Nabi Muhammad selalu diusik, dizalimi, dihalang-halangi, diburu, bahkan pada puncaknya hendak dibunuh.

Dalam rangka menyelamatkan akidahnya ini, beliau rela meninggalkan tempat yang senyatanya sangat dicintai. Rasa cinta itu beliau ekspresikan dalam sebuah ungkapan, “Demi Allah! Wahai Kota Makkah, sesungguhnya engkau adalah tempat yang paling aku cintai. Kalau bukan karena pendudukmu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.” (HR Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad).

Namun, kondisi Kota Makkah ketika itu belum bersahabat dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sehingga, mau tidak mau beliau harus membawa risalah itu hijrah ke tempat lain sementara waktu, untuk kemudian kembali lagi dengan kondisi yang lebih baik dan lebih memungkinkan.

Kedua, kerelaan berkorban demi mempertahankan keyakinan. Hijrah bukan perkara yang mudah. Banyak pengorbanan yang harus direlakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat demi mempertahankan akidah tersebut.

Misalnya, yang harus dialami Abu Salamah dan keluarganya. Mereka harus berpisah karena ketika hendak berangkat diketahui oleh kabilahnya sehingga Abu Salamah terpaksa berangkat sendiri ke Madinah. Sedangkan istrinya, Ummu Salamah, dipaksa tinggal di Makkah.

Setiap hari Ummu Salamah berjalan ke dataran tinggi menangisi kepergian suaminya dari pagi hari sampai sore hari. Hal ini terjadi selama satu tahun. Akhirnya salah seorang dari kabilahnya merasa kasihan dan meminta pimpinan kabilah untuk melepaskannya agar bisa kumpul bersama suaminya.

Setelah dilepas, Ummu Salamah harus berangkat sendirian ke Madinah yang jaraknya sekitar 500 kilometer dengan medan yang sangat terjal. Ummu Salamah harus melewati pengunungan dan lembah tanpa ditemani seorang pun.

Beruntung ketika ia sampai di Tan’im bertemu dengan Usman bin Mazh’un yang ketika mendengar kisahnya langsung mengantarkannya sampai ke Quba’, setelah itu ia kembali lagi ke Makkah.

Begitu pun yang dialami Suhaib bin Sinan al-Rumi. Beliau harus rela menyerahkan semua kekayaannya kepada orang-orang kafir Quraisy agar bisa hijrah ke Madinah. Ketika Rasulullah mendengar kisahnya, beliau bersabda, “Beruntunglah Suhaib, beruntunglah Suhaib!”

Ketiga, untuk merawat dan meruwat kebaikan harus mencari lingkungan yang baik. Sesampainya di Madinah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya diterima dengan baik oleh orang-orang Anshar. Mereka diperlakukan seperti saudara sendiri sehingga orang-orang Makkah (Muhajirin) tidak canggung tinggal di Madinah, bahkan mereka merasa Madinah ibarat tanah kelahirannya sendiri.

Alhasil, mereka tidak hanya bisa mempertahankan keyakinannya, tetapi juga bisa melaksanakan semua ajaran agamanya dengan aman dan tenang. Demikian semestinya yang akan didapat orang-orang yang berhijrah.

Wallahu a’lam.

OLEH ABDUL SYUKKUR

KHAZANAH REPUBLIKA