Sudah Benarkah Tawakal Kita?

Sudah Benarkah Tawakal Kita?

Tawakal memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, Allah kaitkan dengan ibadah sebagaimana di dalam firman-Nya,

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِۗ

“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123)

Allah Ta’ala jadikan tawakal ini sebagai sebab untuk mendapatkan kecintaan-Nya. Ia berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Al-Imran: 159)

Para rasul adalah orang terdepan dan pemimpin manusia dalam hal tawakal kepada Allah Ta’ala. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata,

رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَاِلَيْكَ اَنَبْنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

“Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal, hanya kepada Engkau kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Nabi Syuaib ‘alaihissalam juga pernah berkata,

وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ

“Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Tawakal adalah kunci utama terwujudnya keinginan, harapan, dan impian. Karena Allah Ta’ala berjanji akan mencukupi mereka yang bertawakal kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.(QS. At-Talaq: 3)

Hakikat tawakal yang benar

Lalu, bagaimanakah tawakal yang benar itu?

Hakikat tawakal yang benar adalah dengan menjalankan sebab-sebab yang ada dengan tetap menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Yakin bahwa segala sesuatu berada di bawah kehendak-Nya. Jika Allah berkehendak, maka akan Allah wujudkan dan kabulkan. Dan jika Allah tidak berkehendak, maka hal tersebut tidak akan terwujud dan tidak akan dikabulkan.

Mukmin yang benar, tidak akan memasrahkan urusannya secara total hanya kepada sebab saja (bekerja keras dan meyakini bahwa kesuksesannya hanya bisa diraih dengan kerja kerasnya sendiri) tanpa campur tangan Allah Ta’ala.

Mukmin yang benar juga tidak hanya berpangku kepada takdir Allah Ta’ala dan meremehkan usaha serta kerja keras. Mukmin yang benar memiliki sikap pertengahan dan bijaksana. Ia akan berusaha menjalani sebab-sebab yang ada, bekerja keras, lalu memasrahkan semua hasilnya kepada Allah Ta’ala.

Allah memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan menjalani langkah-langkah (sebab) yang ada. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman,

وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهٖ عَدُوَّ اللّٰهِ وَعَدُوَّكُمْ وَاٰخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْۚ لَا تَعْلَمُوْنَهُمْۚ 

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 60)

Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik teladan dalam hal menjalankan sebab dan bertawakal kepada Allah Ta’ala. Keseimbangan dan sikap pertengahan beliau ini terlihat jelas dalam perjalanan hijrah beliau ke Madinah.

Lihatlah bagaimana sempurnanya rencana beliau? Bagaimana hati-hatinya beliau hingga keluar untuk menemui Abu Bakar di waktu yang tidak biasa agar manusia tidak melihatnya?

Bahkan, beliau menyewa orang yang ahli dan berpengalaman di dalam mengetahui peta jalan dan padang pasir untuk membantunya keluar dari kota Makkah, meskipun orang tersebut adalah seorang musyrik. Beliau rencanakan segala sesuatunya dengan cermat dan cerdik.

Semua itu beliau lakukan dengan kondisi yakin bahwa Allah Ta’ala akan menolongnya dan membantunya!

Bahkan, beliau juga pernah bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَىٰ اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rezeki (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana seekor burung diberi rezeki. Ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164 dan Ahmad no. 205)

Burung yang notabene tidak memiliki akal saja, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kisahkan pergi di pagi hari dan pulang di sore hari untuk mendapatkan makanan. Lalu, bagaimana halnya dengan kita yang berakal?! Tentu saja berusaha dan mengambil sebab seharusnya sudah mengakar kuat pada diri kita.

Salah dan keliru bila ada yang mengira bahwa makna tawakal adalah berserah diri total kepada Allah Ta’ala, tanpa perlu berusaha dan mencari sebab untuk mencapai tujuan. Ingin sukses dan memiliki harta, namun yang ia lakukan hanya berdoa kepada Allah tanpa bekerja. Sungguh ini adalah anggapan yang keliru.

Buah manis bertawakal dengan benar

Tawakal yang benar akan menentramkan jiwa dan menstabilkan keadaan. Dengan rasa tawakal ini pula seorang mukmin bisa berlepas diri dari bergantung dan mengandalkan orang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

وَمَا رَجَا أَحَدٌ مَخْلًوْقًا أَوْ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ إِلَّا خَابَ ظَنُّهُ فِيْهِ

“Tidaklah seseorang itu berharap kepada makhluk atau menggantungkan dirinya kepadanya, kecuali ia akan kecewa kepadanya.” (Al-Fatawa, 10: 257)

Siapa yang memasrahkan seluruh urusannya kepada Allah Ta’ala, maka sungguh ia akan mendapatkan seluruh keinginannya.

Lihatlah bagaimana Nabi Zakaria ‘alaihissalam, meskipun ia telah mencapai usia yang sangat tua dan istrinya tervonis mandul, namun Allah berikan kepada mereka anak yang sangat mulia, anak yang kelak akan menjadi salah satu Nabi utusan Allah Ta’ala.

Lihat juga bagaimana ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di lembah tandus yang tidak ada air maupun tumbuhan apapun. Lalu, Allah takdirkan anaknya ini menjadi seorang nabi yang mulia, nabi yang sangat berbakti kepada kedua orangtuanya.

Sungguh semua itu, tidak lain karena besarnya tawakal mereka kepada Allah Ta’ala. Tingkat keimanan yang susah dijangkau oleh kita semua di masa sekarang. Imam Fudhail rahimahullah pernah mengatakan,

لَوْ يَئِسْتَ مِنَ الخَلْقِ لَا تُرِيْد مِنْهُمْ شَيْئًا لَأَعْطَاكَ مَوْلَاكَ كُلُّ مَا تُرِيْدُ

“Jika engkau berhenti berharap dari makhluk dan tidak menginginkan apapun dari mereka, maka Tuhanmu akan memberikanmu apapun yang engkau inginkan.”

Maka, gantungkanlah keinginanmu hanya kepada Allah Ta’ala, berharaplah kepada-Nya, serahkan seluruh urusanmu kepada-Nya, berhentilah terlalu mengharapkan sesuatu dari makhluk dan jangan bergantung kepada mereka.

Ketahuilah wahai saudaraku, jika pengharapan dan tawakal kita kepada Allah Ta’ala menguat, dan doa-doa yang kita panjatkan itu penuh dengan ketulusan dan keseriusan; maka sungguh harapan kita tak akan tertolak.

Allah Ta’ala berfirman,

اَمَّنْ يُّجِيْبُ الْمُضْطَرَّ اِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْۤءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاۤءَ الْاَرْضِۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗقَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ

“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.” (QS. An-Naml: 62)

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81583-sudah-benarkah-tawakal-kita.html