Adab Berpolitik bagi Pemimpin dan Penguasa

Percaturan politik Indonesia saat ini menghadapi tantangan baru yang kita sebut sebagai krisis global. Krisis global ini mencerminkan kemunduran adab berpolitik yang sebenarnya. Saat pesta demokrasi berlangsung biasanya praktik-praktik licik yang kita kenal dengan istilah serangan Fajar atau money politic nyaris selalu mewarnai kebiasaan berpolitik di Indonesia.

Money Politic, seperti disampaikan Latipah Nasution (2017), terjadi pada saat pengusungan calon yang dilakukan partai dan pada saat pencarian dukungan langsung dari rakyat. Dalam hal ini rakyat dibayar, disuap, untuk memilih calon tertentu. Dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya tidak lagi dalam kehendak bebas, kesadaran akan bangsa dan negara, maupun dalam pengendalian penuh atas dirinya.

Sikap yang demikian ini bertentangan dengan prinsip dasar negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, kejujuran, dan keadilan dengan menjamin prinsip perwakilan, akuntabilitas dan  legitimasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keterlibatan masyarakat dalam pemilu merupakan hal yang mutlak. Hak masyarakat sangat mendasar dan asasi sifatnya. Hal ini diamini, sebagaimana dimuat dalam Universal Declaration of Human Right 1948 yang telah dijamin juga dalam konvenan dan turunannya, terlebih dalam Convenan on Civil and Political Rights and on Economic, Cultural and social Rights atau yang lumrah disebut dengan International Bill of Human Rights. Dengan demikian, praktik money politic perlu dihilangkan karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum yang harus didasarkan pada nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

Hal ini tidak boleh dibiarkan. Prinsip demokrasi dan keadilan dalam pemilu yang demokratis, jujur, bersih, bebas dan adil tersebut harus dilestarikan dalam pesta demokrasi kita hari ini dan seterusnya agar kita tidak jatuh pada tindakan pidana dalam pemilu.

Pemahaman keliru akan jatuh pada praktik yang keliru pula. Sebagai konsekuensi logisnya, calon pemimpin yang akan dipilih masyarakat bukan lagi pada persoalan kesesuaian dengan pilihan hati rakyat, di mana para calon pemimpin ini harus mampu menjalankan roda pemerintahan dengan bersih dan adil, melainkan diukur berdasarkan kacamata besaran “Serangan Fajar”. Sebabnya, tidak jarang yang banyak memenangi pesta pemilihan tersebut biasanya dari mereka yang melakukan politik uang.

Memilih Pemimpin yang Adil

Pemilihan pemimpin/penguasa ini penting sekali agar bisa mengatur hubungan masyarakat ke arah yang lebih menjanjikan. Disamping itu, tugas seorang pemimpin juga berat. Oleh karenanya, peran negara hadir sebagai isyarat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang ideal untuk mewujudkan masyarakat yang harmunis, makmur dan sejahtera.

Namun demikian, untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera itu ternyata tidaklah mudah. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang siap kontributif buat rakyatnya. Agar memperoleh pemimpin yang adil dan baik tersebut pemilihan pemimpin harus dilakukan dengan hati nurani yang bersih bukan karena dorongan hawa nafsu yang datang dari luar.

Coba kita perhatikan, setiap kali pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan, di antara sebagian calon legislatif saling unjuk program terbaiknya kepada masyarakat baik dilakukan menggunakan baleho yang dipajangkan di pinggir jalan raya maupun janji secara langsung. Tetapi hampir melupakan–untuk tidak mengatakan sama sekali tidak melakukan–janji-janjinya tersebut.

Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan tersebut bukanlah karakteristik pemimpin ideal dan bukan adab berpolitik sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. Pendidikan ideal dimaksud adalah mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik, bersih, jujur dan amanah. Dengan demikian, kriteria seorang pemimpin yang baik itu tidak diukur sesuai besaran “Serangan Fajar” yang dikeluarkan, akan tetapi tergantung pada kemampuannya memberikan yang terbaik bagi negaranya.

Pemimpin yang adil seperti telah dijelaskan tadi tentu berpotensi terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Sebaliknya, negara akan menghadapi ancaman besar manakala para pemimpin tersebut lalai menjalankan tugasnya. Perhatikan kriteria seorang pemimpin yang digambarkan Rasulullah sebagai berikut.

عدل السلطان يوماً واحداً أحب إلى الله من عبادة سبعين سنة

Artinya:

Tindakan adil seorang penguasa satu hari saja lebih disukai oleh Allah daripada beribadah selama tujuh tahun.

Menurut Al-Ghazali, menjadi seorang pemimpin adil itu di sisi Allah SWT sangat mulia. Dari saking mulianya bahkan lebih besar pahalanya daripada orang yang ahli beribadah selama tujuh tahun. Namun demikian, seorang pemimpin yang tidak jujur dan adil tersebut bisa jadi menjadi ancaman. Bahkan, ia di sisinya mendapatkan ancaman yang tiada taranya.

Al-Ghazali dalam kitabnya al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Mulk menghadirkan sebuah dialog interaktif antara Khalifah Harun Ar-Rasyid dan al-Abbas ketika mengunjungi al-Fudhail bin Iyadh. Dalam pertemuan itu, Khalifah ingin meminta nasihat al-Fudhail. Sampai di depan rumahnya, mereka mendengar al-Fudhail tengah membaca Alquran surat al-Jatsiyah ayat 21:

ام حسب الذين اجترحوا السيات ان نجعلهم كالذين امنوا وعملوا الصالحات

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh?”.

Dari cerita tersebut, pesan moral yang dapat kita petik hikmahnya adalah tentang konsekuensi yang bakal diterima kelak di akhirat. Para penguasa yang tidak adil dalam menjalankan tugas-tugasnya di akhirat nanti dia akan mendapatkan balasannya.

Oleh sebab itu, jadilah pemimpin yang memiliki adab berpolitik yang baik, bersih, jujur, amanah dan adil terhadap rakyatnya melalui prosedur pemilihan yang juga dibenarkan.

BINCANG SYARIAH