Bekerjalah, Agar Kita jadi Mulia!

Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa bekerja keras merupakan pekerjaan yang terhormat dan mulia daripada mengemis atau meminta-minta

Hidayatullah.com | MANUSIA diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai makhluk yang paling mulia di permukaan bumi ini. Dan semulia-mulia manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi;

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (Riwayat Bukhari).

Hadits ini seakan mengatakan ukuran kemuliaan seseorang bisa dilihat dari sejauhmana nilai manfaat dirinya bagi orang lain. Semakin dia bermanfaat kepada orang lain berarti semakin tinggi kemuliaan pada dirinya.

Sebaliknya, derejat kemuliaan seseorang menurun kalau tidak punya nilai manfaat atau malah menjadi beban bagi yang lainnya. Karena itu, Islam menekankan agar setiap Muslim bekerja sehingga menghidupi dirinya sendiri dan tidak menjadi beban orang lain.

Islam memandang bekerja itu mulia. Suatu hari Nabi Muhammad ﷺ melihat tangan sahabatnya, Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari melepuh.

Nabi ﷺ bertanya apa penyebabnya. Dengan jujur Sa’ad menyatakan bahwa penyebabnya adalah akibat kerja keras untuk menghidupi keluarganya.

Mendengar jawaban Sa’ad itu, dengan spontan Rasulullah ﷺ meraih tangan Sahabatnya itu lalu diciumnya. Sikap Rasulullah ﷺ ini menunjukkan kepada kita bahwa bekerja keras itu merupakan pekerjaan yang terhormat dan mulia.

Terlebih bila kerja itu digunakan untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Islam dengan tegas menyatakan bahwa bekerja itu mendapatkan nilai pahala.

Sebab, bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam Islam, bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Rasulullah ﷺ sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri sebagaimana yang dilakukan terhadap Sa’ad.

Diampuni Dosanya

Orang yang berusaha mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya ataupun kebutuhan anak dan istri, maka dikategorikan jihad fi sabilillah.

Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah. Rasulullah ﷺ pernah bersabda;

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan Nabi Dawud ‘alaihissalam dahulu memakan makanan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072).

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ

“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR: Ibnu Majah).

Bahkan ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, Allah mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ اَمْسَى كَالًّا مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ اَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ

“Barangsiapa yang pada waktu sore (malam hari) merasa lelah karena pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) pada saat itu diampuni dosa baginya.” (HR Thabrani)

Dengan bekerja, seseorang tidak akan tergantung kepada orang lain. Bahkan banyak orang yang bekerja keras kemudian bisa membantu orang lainnya.

Orang seperti ini berarti mengamalkan sabda Rasulullah ﷺ, “Tangan yang di atas, itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah tangan yang memberi dan tangan yang di bawah adalah tangan yang meminta-minta.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Nabi Muhammad ﷺ serta para Sahabat adalah pekerja keras. Bahkan, beberapa Sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus bertempur dengan musuh-musuh Islam.

Islam juga memandang bekerja mencari nafkah sebagai salah satu bentuk ibadah dan sekaligus rasa syukur kepada Allah. Ini diterangkan dalam firman Allah:

يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

“Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah! Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS: Saba’ [34]: 13)

Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina.

Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah. Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda;

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul ﷺ bersabda,

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR: Bukhari).

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu anhu dari Nabi ﷺ

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Salah seorang dari kalian mengambil tali kemudian membawa satu ikat kayu bakar yang dibawa di atas punggungnya kemudian dia jual, yang dengannya Allah cukupkan dia dari meminta-minta maka itu lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, bisa jadi mereka memberi atau tidak.” (HR: Bukhari).

Islam mengajarkan kepada kita untuk bekerja agar terhindar dari kemiskinan. Sebab, kemiskinan itu sangat dekat dengan kekufuran.*/Bahrul Ulum

HIDAYATULLAH