Al-’aql: Pembeda Haq dan Bathil

Mari kembali kepada fitrah, mari gunakan pikiran kita agar layak menjadi manusia yang mampu membedakan benar haq dan bathil

Hidayatullah.com l DALAM Al-Quran disebutkan, kita pernah mengakui sebuah pengakuan sekaligus perjanjian besar, boleh disebut dengan mitsaq yaitu pengakuan seluruh manusia bahwa penisbatan Allah sebagai Rabb, Allah berfirman; Apakah Saya –Allah- benar benar Tuhanmu? (Al-Araf: 172) (Alastu bi robbikum?), seraya kita menjawab: Ya Kami setuju serta bersaksi (qolu; bala syahidnaa) inilah kejadian sebelum Allah memberikan eksistensi di dunia ini (‘alam ruh). Pada saat itu manusia dalam wujud ruh yang mampu berbicara –bernalar- (an-nafs an-nathiqoh).

Pengakuan ini adalah deklarasi mutlak bahwa fitrah manusia adalah mengakui Allah sebagai Rabb, atas pengakuan inilah manusia dilahirkan secara suci-bersih (fitrah); Rasulullah ﷺ bersabda; 

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?”(HR: Bukhari).

Menelaah kembali hadits ini, manusia diciptakan secara fitrah (suci), namun yang menjadikan Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah faktor orang terdekatnya yaitu orang tua, atau ada potensi manusia yang menjauhkan dari fitrahnya itu.

Kelahiran manusia di bumi ini seperti yang Allah firmankan dalam QS at-Tiin. “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan” (Laqod kholaqnaa al-Insan fi Ahsani taqwiim).

Bahwa manusia telah diciptakan Allah dengan sebaik-baiknya termasuk di dalamnya kemampuan berbicara dengan nalar (nuthq) yang Allah ilhamkan kepada manusia sebagai pembeda entitas mahluk lainnya (hewan-tumbuhan) dengan istilah, “Manusia adalah hewan yang bernalar” (dzu nuthq)” atau al-insan hayawan nathiq, dalam hal ini bukan berarti manusia itu adalah hewan yang dipersepsikan dalam teori Darwin (baca; teori evolusi), namun bahasan ini lebih condong bahwa esensi dalam diri manusia terdapat sifat hewani, secara bersamaan manusia juga dilebihkan kemampuan berbicara dengan nalar (dzu nuthq).

Sekaligus dengan nalar inilah, sifat hewani manusia bisa ditekan. Ini membuktikan bahwa manusia mempunyai dimensi ruhiah yang tak terlihat, namun sangat kentara secara ekspresi lahiriah (dapat dilihat dan didengar) namun wujudnya tidak nyata, boleh disbut itu adalah akal (‘aql).

Akal (‘aql) secara etimolog mempunyai arti pengikatan, maksud dari pengikatan disini adalah akal (‘aql) berfungsi untuk mengikat objek ilmu (‘ilm) yang didapatkan. Akal (‘aql)adalah suatu substansi ruhiah yang memungkinkan untuk mengenali kebenaran dan mampu membedakan antara benar (haq)dan salah (bathil), sedangkan proses dari aktivitas akal (‘aql) dapat dikatakan sebagai berpikir (fikr).

Asal mula asasi dari akal (’aql) yang diberikan Allah kepada manusia mempunyai daya utama, yaitu usaha untuk menemui kebaikan –daya untuk memilih- (ikhtiyar) suatu upaya untuk memilih untuk mencapai kebaikan (khayr). Karena akal (‘aql) sejatinya akan menuntun manusia ke jalan yang benar serta pembeda baik (haq) dan buruk (bathil).

Namun secara bersamaan, akal (‘aql) membutuhkan bimbingan yang lebih tinggi darinya yaitu wahyu atau informasi yang valid (khabar shadiq) yang final dari Allah yang disyarah oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dari wahyu, akal (‘aql) akan mempunyai daya pembeda (furqon) antara benar (haq) dan salam (bathil), kemudian diproses dalam aktifitas berpikir (fikr), pada tahap selanjutnnya, dituangkan meliputi basic belief, pikiran (fikroh), perkataan (qaul), perbuatan (‘amal) dan mengkristal menjadi pola kehidupan (minhajul hayah). 

Sehingga hal ini mampu membedakan antara haq dan bathil, karena sudah jelas mana petunjuk dan penyesat (…qod tabayyana ar-rusyd minal ghayy… al-Baqarah: 256). Mampu meningkatkan daya furqon (pembeda) dengan pedoman al-Qur’an sebagai wahyu (khabar shadiq), karena al-Qur’an bukan sekadar bacaan namun sejatinya untuk meningkatkan nalar salim yang tajam (…al-Qur’an huda li an-naas wa bayyinati min al-huda wa al-furqon [dalam al-Baqarah: 185]).

Dengan menginsyafi kembali makna fithrah (suci) yang disabdakan Rasulullah ﷺ, maka seyogyanya kita ingat kembali asal kita yaitu suci dan bersih. Namun karena kezaliman (zhulm) manusia sendiri-lah kita menjadi kotor sehingga perlu di-tazkiyah jiwanya dengan ibadah (‘ibadah).

Kemudian, menyadari kembali bahwa kita pernah bersaksi kepada Allah sebagai Rabb seluruh alam maka perlu disadari dengan hati tulus sejauh mana konsisten (istiqomah) dan adil (‘adl) dalam memegang janji (mitsaq) itu ( dalam al-‘Araf: 172). Dan wajib direnungi pula, dimanakah posisi kita sekarang berada, apakah masih dalam status hamba yang mengabdi (‘abd) dengan penuh hidmat (khidmah) secara ikhlas (mukhlisina lahu ad-diin: Surah al-Bayyinah)  berserah diri (thouhan) kepada-Nya atau posisi kita menjadi hamba yang terpaksa (karhan)?.

Lebih jauh, kita mampu merekonstruksi –membina- secara rapi dengan tertib (maratib) bangunan-bangunan ilmu dalam Islam yang diterima oleh akal (‘aql) bersumber dari wahyu (khabar shadiq) kemudian diproses dalam aktivitas pikiran (fikr). Meningkat lebih tinggi, cakap digunakan sebagai pandangan hidup terhadap dunia nyata (syahadah) dan ghaib (ghaybah) serta mampu membedakan benar (haq) dan salah (bathil) dalam skup teoris (qoidah) sekaligus praksis (amaliyah).

Kembali pada fitrah

Penutup, sebagai pesan dari penulis, maka mari kembali kepada fitrah manusia dengan mengingat perjanjian agung (mitsaq), berpikirlah (fikr) selayaknya manusia (insan) yang berakal (‘aql-‘aqil) seutuhnya, senantiasa berproses untuk mencari kebaikan (khayr) dengan upaya (ikhtiyar) sepenuh hati, serta mampu membedakan benar (haq) dan salah (bathil) dengan panduan informasi final dari Allah (khabar shadiq) yaitu wahyu bukan dengan nafsu. 

Sedangkan, jika berlandaskan nafsu maka sudah pasti menggiring kepada kezaliman (zhulm) dan kesesatan (dhollun). Selanjutnya dalam tahap teknis,  mampu mengoperasionalkan proses aktivitas akal yaitu berpikir (fikr) untuk panduan kehidupan (minhajul hayah) dengan pandangan hidup Islam (ru’yatul lil-Islam) yang akhir berujung pada kebahagiaan (sa’adah) abadi di akhirat kelak. Amin. Wallahu ‘Alam Bi Showab.*/ Alvin Qodri Lazuardy

HIDAYATULLAH