Cara Cerdas Ali bin Abi Thalib Selesaikan Kasus Ibu Menolak Anaknya

Seorang pemuda dari kalangan Anshor mengadukan ibunya kepada Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Namun, wanita itu menolak mengakui pemuda tersebut sebagai anaknya. Ia justru menuduh pemuda itu berdusta dan menuduhnya berzina.

Amirul mukminin meminta pemuda itu membawakan bukti, namun ia tak memilikinya. Sementara wanita yang diakui sebagai ibunya itu membawa beberapa saksi wanita. “Wanita itu belum menikah, pemuda itulah yang berdusta dan secara tidak langsung menuduh wanita baik-baik telah berzina,” kata mereka hampir seragam.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu yang kebetulan lewat, menyaksikan peristiwa itu. “Apa yang terjadi?” tanyanya.

Setelah orang-orang menceritakan peristiwa itu, Ali kemudian memanggil semua saksi wanita. Ia meminta klarifikasi kepada mereka. Namun, wanita itu tetap menolak mengakui pemuda tersebut sebagai anaknya.

Lantas Ali memanggil pemuda itu. “Ingkarilah ia sebagai ibumu sebagaimana ia mengingkarimu sebagai anaknya.”

“Wahai putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia itu benar-benar ibuku.”

“Ingkarilah ia sebagai ibumu. Aku akan menjadi ayahmu, Al Hasan dan Al Husain akan menjadi saudaramu.”

“Baiklah kalau begitu, aku mengingkarinya sebagai ibuku.”

Ali mendekati wali wanita itu. “Bolehkah aku memutuskan terkait wanita ini?”

“Boleh, putuskan saja wahai menantu Rasulullah.”

“Wahai seluruh yang hadir di sini, bersaksilah. Sesungguhnya aku menikahkan pemuda ini dengan wanita tersebut. Keduanya adalah orang lain, bukan mahramnya,” kata Ali lantang.

Lalu Ali memanggil pelayannya, Qanbar, disuruhnya membawa sekantong dirham. Setelah dihitung, jumlahnya 480 dirham. Uang itu menjadi mahar pernikahan mereka.

“Gandenglah tangan istrimu, jangan kau kembali kepada kami sampai ada bekas pernikahan,” kata Ali sebelum meninggalkan mereka.

 

“Wahai ayah Al Hasan,” kata wanita itu. “Demi Allah, ini adalah dosa. Aku tidak bisa menikah dengannya. Dia itu sebenarnya anakku.”

Semua orang kaget mendengar pengakuan wanita tersebut. Sejak tadi ia menolak mengakui pemuda tersebut anaknya bahkan bersikeras mengatakan pemuda itu berdusta.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Ali.

Wanita itu pun membuka rahasianya. “Aku dinikahkan dengan pria negro, lalu mengandung anak ini. Ketika pergi berperang, suamiku terbunuh. Lalu kubawa anak ini ke Bani Fulan hingga ia tumbuh besar di sana. Sejak itu aku tak mengakuinya sebagai anak.”

“Aku adalah ayahnya Al Hasan. Pertemukan pemuda ini dengan ibunya, sambungkan garis nasabnya,” demikian kecerdasan Ali mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik.

Kisah cara cerdas Ali bin Abi Thalib ini diabadikan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam buknya Ath Thuruq al Hukmiyyah fi as Siyasay asy Syar’iyyah.

Dan bukan kali ini saja Ali membantu Khalifah Umar. Saat ada wanita yang mengaku berzina dengan seorang pemuda tampan dan membawa bukti bekas perzinaan, semua orang tidak bisa tidak untuk mengakui perkataan wanita tersebut. Namun, dengan kecerdasan yang dianugerahkan Allah, Ali bisa mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi dan menyelesaikan kasus itu. Semoga kita bisa mengetengahkan kisahnya pada kesempatan yang akan datang.

 

BERSAMA DAKWAH

Kisah Ali bin Abi Thalib Bongkar Modus Wanita yang Mengaku Dizinai

Kisah Ali bin Abi Thalib ini menunjukkan betapa jenius kecerdasannya menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di Madinah. Dengan izin Allah, tentunya.

Seorang wanita datang menghadap Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sambil berteriak histeris.

“Laki-laki itu telah menodai kehormatanku, ini bukti perbuatannya” kata wanita itu sambil menunjuk pakaiannya, di seputar organ rahasianya.

Umar meminta bantuan para wanita untuk memeriksa bukti tersebut.

“Pada badan dan bajunya ada bekas air m*ni,” kata para wanita itu setelah melihat bekas cairan kental pada baju dan paha si pelapor.

Umar lantas mendatangkan pemuda Ansor yang dituduh wanita tersebut. Namun sebelum dijatuhi hukuman, ia membela diri menyatakan tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan kepadanya.

“Wahai Amirul Mukminin, periksalah dengan teliti kasus ini. Demi Allah, aku tidak berzina. Aku juga tidak menyukainya. Dia menggodaku tetapi aku menjaga kehormatanku.”

“Wahai Abul Hasan, apa pendapatmu terkait kasus ini?” tanya Umar kepada Ali setelah mendengar perkataan pemuda itu.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengamati bekas air m*ani yang menempel pada baju wanita tersebut. Ia minta disediakan air mendidih. Lantas dituangkannya air panas itu ke baju tersebut. Apa yang terjadi? Apa yang tadinya disebut bekas air bukti perzinaan itu menjadi beku. Setelah beku, diambilnya, dicium baunya, lantas dicicipinya.

“Ini putih telur,” simpul Ali.

Setelah terbongkar kebohongannya, Ali mendesak wanita itu mengungkapkan tipu muslihatnya.

“Sebenarnya aku yang menyukai pemuda tersebut. Aku mendekatinya, namun tak mampu menaklukkannya. Maka aku membuat rencana ini. Kuoleskan putih telur pada baju dan sekitar pahaku. Kemudian aku kemari untuk mengadukan pemuda tersebut.”

 

Demikian kasus yang ditangani Ali bin Abi Thalib ini berakhir dengan cemerlang. Dengan izin Allah, pemuda yang tak bersalah itu selamat dari hukuman.

Kisah yang diabadikan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya Ath Thuruq al Hukmiyyah fi as Siyasay asy Syar’iyyah ini bukan satu-satunya kisah Ali bin Abi Thalib membantu Khalifah Umar bin Khattab memutuskan perkara pelik.

Sebelumnya telah dikisahkan, seorang pemuda dari kalangan Anshor mengadukan ibunya kepada Khalifah Umar. Namun, wanita itu menolak mengakui pemuda tersebut sebagai anaknya. Ia justru menuduh pemuda itu berdusta dan menuduhnya berzina.

Amirul mukminin meminta pemuda itu membawakan bukti, namun ia tak memilikinya. Sementara wanita yang diakui sebagai ibunya itu membawa beberapa saksi wanita yang menyatakan bahwa ia belum menikah dan pemuda itulah yang berdusta dan secara tidak langsung menuduh wanita baik-baik telah berzina.

Perselisihan itu berakhir ketika Ali meminta pemuda itu mengalah. Sebagai gantinya, ia akan menjadi ayah angkat bagi pemuda tersebut.

Setelah pemuda tersebut mau mengalah, Ali menikahkannya dengan wanita yang mengadukannya. Pihak wali wanita setuju. Namun, wanita itu mengiba.

“Wahai ayah Al Hasan,” kata wanita itu. “Demi Allah, ini adalah dosa. Aku tidak bisa menikah dengannya. Dia itu sebenarnya anakku.”

Semua orang kaget mendengar pengakuan wanita tersebut. Sejak tadi ia menolak mengakui pemuda tersebut anaknya bahkan bersikeras mengatakan pemuda itu berdusta.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Ali.

Wanita itu pun membuka rahasianya. “Aku dinikahkan dengan pria negro, lalu mengandung anak ini. Ketika pergi berperang, suamiku terbunuh. Lalu kubawa anak ini ke Bani Fulan hingga ia tumbuh besar di sana. Sejak itu aku tak mengakuinya sebagai anak.”

“Aku adalah ayahnya Al Hasan. Pertemukan pemuda ini dengan ibunya, sambungkan garis nasabnya,” pungkas Ali.

Masih banyak kisah Ali bin Abi Thalib lainnya yang tak kalah menarik. Semoga lain kesempatan kita bisa menyajikannya.

 

BERSAMA DAKWAH

“Saat Kebohongan tentang Ali bin Abi Thalib Terungkap”

Bagi sebagian kalangan Islam, terutama SyiahRafidhah, sosok khalifah keempat dari  khulafaur rasyidin, yakni Khalifah Ali bin Abi Thalib, sering digambarkan secara tidak tepat, bahkan tidak jujur.

Mereka beranggapan bahwa sepupu dan menantu Rasulullah SAW ini adalah orang yang paling berhak menggantikan Rasulullah SAW setelah wafat. Karena itu, mereka tidak mengakui kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khatab, maupun Khalifah Utsman bin Affan.

Buku Biografi Ali bin Abi Thalib yang ditulis oleh Prof Dr Ali Muhammad ash-Shalabi ini merupakan buku sejarah yang begitu lengkap dan komprehensif dalam mengupas rekam jejak Ali bin Abi Thalib.

Sebagai seorang sejarawan, Ash-Shalabi mampu menceritakan secara detail, runut, dan mengalir dengan bahasa yang mudah dipahami mengenai sosok Ali bin Abi Thalib.

Selain itu, sebagai ahli hadis ash-Shalabi juga mampu mengungkap hadis-hadis daif dan maudhu (palsu) yang berhubungan dengan Ali bin Abi Thalib, terutama hadis-hadis yang berkaitan dengan kepemimpinan pascawafatnya Rasulullah SAW.

Dengan kemampuannya yang brilian tersebut, ash-Shalabi mampu mengungkap kebohongan-kebohongan dan kekeliruan paham serta keyakinan dari kelompok Syiah Rafidhah yang bersikap berlebih-lebihan terhadap Ali bin Abi Thalib, bahkan menempatkannya seolah-olah seperti Tuhan.

Ash-Shalabi mampu menghadirkan fakta-fakta sejarah yang begitu terang benderang  berdasarkan sumber-sumber yang jernih, yang terbebas dari segala syubhat dan kepentingan-kepentingan kelompok yang berusaha memecah belah akidah kaum Muslimin. Terutama, soal baiat dan kepemimpinan pascawafatnya Rasul.

Penulis menegaskan bahwa Ali merupakan sosok pemimpin yang petunjuk, ucapan, dan perbuatannya banyak diikuti oleh kaum Muslimin dalam kehidupan mereka.

Perjalanan hidupnya menjadi sumber kekuatan iman, lurusnya kasih sayang, dan sahihnya pemahaman beragama.

“Kita dapat belajar dari sosok Ali mengenai fikihnya dalam berinteraksi dengan sunah-sunah Rasulullah dan petunjuk-petunjuk terbaiknya, kedekatannya dengan Alquran dan mengikuti  petunjuk Rasul-Nya, pentingnya rasa takut kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, mencari apa yang ada di sisi-Nya demi kesuksesan dunia dan akhirat, dan pengaruh dari nilai-nilai ini semua dalam kehidupan umat Islam dan kebangkitan mereka, serta peran mereka dalam mendukung dan mengemban misi peradaban.”

Secara keseluruhan buku ini terdiri atas tujuh bab, yakni Ali bin Abi Thalib selama di Makkah, prestasi terpenting Ali bin Abi Thalibrentang waktu Hijrah sampai Perang Ahzab, prestasi terpenting Ali bin Abi Thalib rentang waktu antara Perang Ahzab dan wafatnnya Nabi, dan Ali bin Abi Thalib pada masa para khalifah. Selain itu, landasan perekonomian dan peradilan pada masa Ali bin Abi Thalibserta sebagian ijtihad fikihnya, pembagian wilayah pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dan Perang Jamal, Shifin, dan Tahkim.

 

Judul : Biografi Ali bin Abi Thalib

Penulis : Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi

Penerbit : Pustaka Al-Kautsar

Cetakan    : I, Desember 2012

Tebal : xxxii+712 hlm

Sumber : Biografi Ali bin Abi Thalib

Pidato Ali bin Abi Thalib di Hari Wafatnya Khalifah Abu Bakar

HUBUNGAN Khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib dikenal sangat erat.  Dalam kitab Nahjul Balaghah, kitab yang diyakini kumpulan pidato Ali, dikatakan bahwa Ali memuji Abu Bakar dan Umar sebagai Khalifah.

Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi mengutip pidato Ali bin Abi Talib Radhiallahu Anhu di saat meninggalnya Khalifah Umar Bin Khatab;

“Allah merahmatimu wahai Abu Bakar. Engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam. Orang yang paling ikhlas dalam beriman. Orang yang paling kuat keyakinan. Orang berada yang paling mulia dan orang yang paling melindungi Rasul Allah. Orang yang dekat dengan Rasul Allah akhlaknya,  kemuliaannya,  petunjuknya dan karakternya. Semoga Allah memberimu pahala kebaikan atas Islam,  Rasul Allah dan kaum muslimin. Engkau membenarkan Rasul Allah saat orang-orang mengingkari. Engkau mendarmakan hartamu saat orang-orang lain kikir. Engkau berdiri bersamanya saat orang-orang lain diam. Allah menamakanmu Shiddiqan (yaitu yang datang dgn membawa kebenaran dan dia membenarkan. Mereka adalah orang-orang yangmuttaqun). Orang-orang menginginkan Muhammad dan Muhammad menginginkanmu. Demi Allah engkau adalah benteng Islam dan siksaan bagi kaum kafirin. Hujjah-mu tidak menurun dan nalarmu tidak melemah. Dirimu tidak pernah takut. Engkau bagaikan gunung yang tidak goyah oleh hembusan badai. Engkau seperti halnya sabda Rasul : “Badanmu lemah namun kukuh dalam perintah Allah. Engkau adalah orang yang rendah hati namun mulia dihadapan Allah. Mulia di muka bumi dan besar di hadapan kaum muslimin. Tidak seorangpun di hadapanmu berambisi dan tidak seorangpun meremehkan. Orang yang kuat di hadapanmu lemah sampai engkau mengembalikan hak orang lain dari padanya. Orang yang lemah di hadapanmu kuat sampai engkau mengembalikan haknya. Semoga Allah tidak menjauhkan pahalamu atas kami dan tidak pula Allah menyesatkan kami setelah kepergianmu..”

Semoga Allah meridhoi Amirul Mukminin,  Ali bin Abi Thalib r.a. dan Amirul Mukminin,  Abu Bakar Shiddiq r.a. (Dikutip dari buku ‘Mawaddah Ahlu Al-Bait ‘inda Ahli Al-Sunnah’ oleh Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi).*

 

sumber: Hidayatulah