Apakah Berhenti Kerja Berarti Kurang Bersyukur?

Pertanyaan:

Saya seorang Muslimah. Saya berniat untuk berhenti dari tempat kerja yang sekarang karena ingin lebih dekat dengan keluarga. Tapi saya berpikir berarti saya termasuk tidak bersyukur karena dahulu untuk mendapatkan pekerjaan ini susah. Sekarang ketika pekerjaan sudah didapatkan saya malah berhenti. Jadi, apakah saya dikatakan tidak bersyukur ustadz?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Pertama, berhenti dari pekerjaan itu perkara muamalah yang hukum asalnya mubah. Ibnul Qayyim mengatakan:

والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم

“Hukum asal akad dan muamalah adalah sah kecuali terdapat dalil yang membatalkannya atau mengharamkannya” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/259).

Oleh karena itu, sah-sah saja dan boleh Anda berhenti dari tempat kerja Anda sekarang. Karena tidak ada dalil yang melarang orang untuk berhenti bekerja di suatu tempat.

Kedua, berhenti bekerja di suatu tempat tidak dikatakan tidak bersyukur. Karena syukur adalah memuji Allah atas nikmat yang didapatkan dan menggunakannya untuk ketaatan. Ibnul Qayyim rahimahullah :

الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة

“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).

Para ulama mengatakan bahwa rukun syukur ada dua:

1. Memuji Allah ta’ala dan mengakui bahwa nikmat yang didapatkan adalah dari Allah ta’ala.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, ia berkata,

مُطِرَ النَّاسُ على عهدِ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ أصبحَ منَ النَّاسِ شاكرٌ ومنهم كافرٌ قالوا هذهِ رحمةُ اللَّهِ وقالَ بعضُهم لقد صدقَ نوءُ كذا وكذا

“Ketika itu hujan turun di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, lalu Nabi bersabda, ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata, ‘Inilah rahmat Allah.’ Orang yang kufur nikmat berkata, ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.73).

2. Menggunakan nikmat Allah untuk ketaatan bukan untuk maksiat

Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Ali Imran: 123).

Maka rasa syukur itu ditunjukkan dengan ketakwaan.

Orang yang tidak mengakui nikmat Allah, tidak memuji-Nya atas nikmat yang diberikan atau menggunakan nikmat dari-Nya untuk bermaksiat, itulah orang yang tidak bersyukur.

Adapun melakukan muamalah yang dibolehkan syariat, tidak dianggap keluar dari syukur. Sebagaimana jika Allah ta’ala memberikan kita nikmat berupa kendaraan, bukan berarti dianggap tidak bersyukur jika menjual kendaraan tersebut. Jual-beli dibolehkan dalam syariat, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun melakukan jual-beli.

Ketiga, jika niat Anda keluar dari pekerjaan untuk lebih dekat dengan keluarga, justru ini perkara yang baik dalam pandangan syariat. Karena tempat terbaik bagi wanita adalah di rumahnya. Sehingga ia jauh dari berbagai gangguan dan juga tidak menjadi fitnah (godaan) bagi para lelaki di luar. Allah ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan tinggal-lah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33)

Ibnu Katsir menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim 6/408)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

المرأةُ عورةٌ ، فإذا خرَجَتْ اسْتَشْرَفَها الشيطانُ

Wanita adalah aurat. Jika ia keluar, setan memperindahnya” (HR. At-Tirmidzi no. 1173, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Ibunda Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan:

لو أدرك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما أحدث النساء لمنعهن كما منعت نساء بني إسرائيل

Andai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengetahui apa yang diperbuat para wanita, sungguh ia akan melarang para wanita (pergi ke masjid) sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil dahulu” (HR. Bukhari no. 831, Muslim no. 445).

Maka, niat Anda untuk lebih banyak di rumah dan membersamai keluarga adalah niat yang baik, sesuai dengan bimbingan Allah dan Rasul-Nya, sehingga perlu untuk diusahakan. 

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42809-apakah-berhenti-kerja-berarti-kurang-bersyukur.html